Gemuruh petir tambah menggelegar. Sedikit demi sedikit, petir tergantikan oleh turunnya hujan dengan tanpa sungkan turun ke jalan. Banyak di luar sana orang-orang yang basah kuyup ada yang sebagian mengenakan payung, ada yang mengenakan jas hujan. Di markas pusat, di lantai bawah, Ofelia membicarakan soal pemuda yang mengincar Kinara bersama Baru dan yang lain.
"Berarti Srikandhi harus lebih melindunginya," kata Arimbi.
"Kita sebagai patner lain juga harus ikut melindunginya, dong," timpal Orion."Jika saja dia tertangkap, bisa bahaya. Pastinya si pemimpin gila itu menginginkan kekuatan dari Kinara."
"Sejak awal ya dia memang mengincar kekuatan dari Kinara. Walau tujuannya kita enggak tahu, mungkin saja, kan?"
"Bagaimana Orion yang dijadikan pelindung bagi Kinara?"
"Hei, Bang, aku bukan Lakon-nya."
"Tapi kamu bisa melindunginya," kata Cavan."Kamu Spirit. Pasti Spirit seperti kalian juga memiliki sebagian sihir."
Orion malas."Aku usahakan, deh," katanya.
"Apa sebaiknya kita duluan yang menyerang mereka sebelum mereka menyerang kita duluan?" saran Cavan, yang menyeduh teh hangat ke dalam cangkir. Meletakkan di atas meja, menyeruput tehnya pelan.
"Menyerang duluan, katamu?"
"Kalau mereka menyerang duluan, kita harus mengamankan Kinara dulu. Kalau kita menyerang duluan ke markas mereka, apa enggak berbahaya?"
"Itu menambah pergerakan mereka dengan mudah untuk menangkap Kinara!"
Semua terdiam.
"Kita prioritaskan Kinara dulu," kata Arimbi."Orion, kamu harus melindunginya. Ini tugas buat kamu."
"Aku tahu."
"Bagaimana kalau kita tanyakan orang yang bernama Bradja itu?"
"Bradja?"
"Siapa dia?"
"Orang dari kelompok itu," tambah Baru.
"Kamu enggak apa-apa? Bertanya sama dia berarti sama saja menawarkan Kinara padanya!"
"Karena Kak Kinara habis..." terlintas kejadian saat Baru melihat Kinara menolong Bradja. Dia tidak melanjutkan perkataannya.
"Kinara habis kenapa?"
"Mau ditangkap, heh?" Orion meneruskan.
"Ya..."
"Aku tahu kalau bakal jadi begini," kata Arimbi.
Mereka semua selesai berunding. Alangkah baiknya, Kinara dibawa pulang. Namun, di sisi lain, Kinara yang sudah betah tinggal di sana enggan untuk pulang. Duplikat Larasati memberitahu bahwa Arjuna telah siuman dan membuat Orion merasa lega dan senang tak terkira. Arjuna juga menyusul ke markas keesokan harinya. Mereka menyambutnya antusias terutama Orion.
"Kamu enggak sadar lama sekali," kata Orion.
"Maaf, Tuanku," jawab Arjuna,"di mana cewek cerewet itu?"
"Cewek cerewet? Maksud kamu Srikandhi?"
"Dia sedang keluar bersama Kinara dan Cavan yang mengawasinya.
"Kenapa kamu mengijinkannya untuk pergi? Terus, kenapa kamu enggak menyuruh Orion saja?"
"Rencana untuk bertemu dengannya kita lakukan secara diam-diam," bisik Kinara.
"Aku juga berpikiran seperti itu! Tapi, dia kok belum nongol-nongol?"
"Entahlah. Aku kira dia datang hari ini."
"Tapi, kalau enggak ada kejadian kayak kemarin, dia enggak bakal nongol!"
"Kalian itu lagi bisikin apa, sih daritadi?" tanya Cavan yang berada di belakang mereka.
"Ah, itu..." mereka berdua langsung membisu."Anu, Bang, kami..." Kinara melihat sekeliling. Melihat ada kedai es krim selain es krim yang dikunjungi mereka kemarin sebelum teror tiba."Kami mau beli es krim," ringisnya.
Cavan melihat kedai es krim yang dilihat Kinara."Kalian mau es krim? bukannya kalian sudah ditraktir kemarin sama Arimbi?"
"Kami mau, Bang," tutur Srikandhi."Boleh, kan? Daripada harus di markas terus... Membosankan... Terus panas..."
"Bolehlah."
Mereka berdua bernapas lega. Untung, rencana mereka tidak terbongkar. Cavan mengajak mereka ke kedai es krim. Kedai es krim itu hanya beberapa penyihir yang membeli. Seperti kemarin, mereka mengantri—bukan mereka, tetapi Cavan. Mereka berdua duduk di bangku yang dinaungi payungi agar tidak kepanasan. Di sela enaknya duduk, tidak terduga, Kinara mengaduh.
"Kenapa?"
"Aduh, kebelet pipis nih," kata Kinara seraya memegangi perutnya tidak tahan.
"Ya, sudah kalau kebelet. Ke belakang sana," pinta Srikandhi.
"Tungguin, ya," Kinara berdiri langsung berbalik ke belakang mencari toilet. Di belakang kedai, ternyata di ada dua toilet di sana. Tak ada satu pun orang. Kinara memasuki salah satu toilet. Beberapa menit selesai dengan buang air kecilnya, ia keluar. Saat akan kembali, mendengar seseorang tengah memanggilnya.
"Kinara."
Kinara menoleh. Dilihatnya seseorang di belakang tidak jauh dari arah toilet. Toilet di sana di desain pada umumnya. Ada lorong untuk ke sana. Namun dirinya memilih jalan yang terdekat. Seseorang yang memanggilnya itu ia seperti mengenalnya. Dari postur tubuhnya yang tinggi nan gagah namun pakaian yang dikenakannya ganti. Corak beda dan warna ungu-gelap mendominasi. Dari atas dan bawah. Salah satu lengannya terdapat lengan pendek diiringi terusan berwarna hitam.
"Bradja!" tanggap Kinara berlari menghampirinya."Ngapain kamu di sini?"
Bradja berpikir, gadis ini sangat senang bertemu dengannya.
"Anu, mumpung aku di sini," ekspresi Kinara berubah."Apa kamu tahu siapa pemimpin dari kelompokmu, Kelompok Vadhala?"
"Untuk apa menanyakan Tuan Albert?"
"Namanya Albert?" kata Kinara."Aku hanya ingin tahu. Kenapa dia mengincarku lama?"
"Seperti dugaanku," kata Bradja."Dia menginginkanmu."
"Apa kamu ke sini untuk mengincarku?" tanya Kinara.
"Tidak."
"Terus?"
"Aku ingin bertemu denganmu," Bradja mengalihkan pandangan ke arah lain. Ada semburat merona di pipinya.
"Untuk apa bertemu denganku? Ah, jangan bilang..." Kinara meraih tangannya."Kamu kesakitan lagi?"
Bradja hanya melirik.
"Uum, kemarin kambuh lagi..." akunya.
"Maaf, aku boleh tanya? Kenapa di tanganmu ini ada tanda kutukan?"
"Beliau yang menanamkannya padaku."
"Kenapa begitu? Aku pernah melihat teman wanita sesama anggota kelompokmu mati gosong gara-gara sebuah tanda di tengkuknya."
Bradja menyibakkan kerudung dari bajunya. Memperlihatkan sebuah tanda yang berbeda persis di tengkuknya."Lihat, tanda yang kumiliki berbeda dengan miliknya."
Kinara mencoba melihatnya. Saking tingginya pemuda itu, ia mencoba berjinjit. Bradja, segera membungkukkan badannya ke bawah agar gadis di dekatnya bisa melihat lebih dekat.
"Apakah bisa hilang?" Kinara menurunkan kedua kakinya.
"Aku tidak tahu," kata Bradja."Dia memberikan tanda kutukan ini bahwa aku memiliki sihir yang kuat."
"Jadi, kamu kesakitan gara-gara ini?"
"Aku sudah terbiasa menahan rasa sakitnya."
"Tapi, kalau begini terus, kamu kesakitan terus!"
Tiba-tiba terdengar sebuah ledakan hebat dari arah depan.
"Suara apa itu?"
"Terjadi ledakan lagi?!" Kinara segera berlari namun Bradja menghentikannya.
"Tunggu, Kinara," sanggahnya.
"Ada apa?"
"Dengarkan aku," Bradja segera menjelaskan panjang dan lebar, membuat Kinara terkejut."Jadi ini ulah temanmu?"
"Aku harus mengamankanmu."
"Srikandhi bagaimana?"
"Srikandhi?"
"Dia Lakon-ku dan Bang Cavan..." Kinara menghentikan ucapannya.
Bradja mengajaknya untuk keluar melihat keadaan. Beberapa pengunjung ada yang tertimbun reruntuhan bangunan kedai. Es krim yang ada di setiap wadah di etalase kaca yang dingin, hancur dan tumpah tidak keruan. Petugas kedai juga ikut tertimbun. Cavan dan Srikandhi berhasil keluar dari timbunan. Mereka selamat.
"Ledakan lagi?!"
Cavan melihat di sekitarnya asap menyeruak menutupi. Muncul sosok wanita dengan tubuh tinggi dan langsing. Tidak sama dengan kemunculan Dacitya.
"Ah, maaf, aku berlebihan, ya?"
"Siapa?" Cavan mencoba berdiri."Mau mengincar Kinara lagi?" tanpa basa-basi.
Dia tertawa."Hahaha. Ayolah, aku hanya bersenang-senang... Jika itu berkenan."
"Tidak ada yang berkenan untukmu," sahut Cavan. Dari kedua tangannya yang disihir muncul sebuah bilah pedang mirip pedang Katana.
"Mau melawanku?"
Cavan tidak tinggal diam, melompat tinggi bersalto dengan gesit dan berpindah tempat di belakangnya. Merentangkan kedua pedangnya. Gadis berambut panjang berwarna merah itu menoleh sekejap. Terjadilah ledakan lagi menggelegar. Srikandhi mencoba berdiri. Dia segera beralih ke belakang. Tidak jadi karena Kinara sudah menyusulnya bersama Bradja.
"Kina—hei, kamu sama siapa?"
"Dia Bradja," Kinara memberitahu, apa yang terjadi?"
"Seseorang menyerang lagi. Kayaknya dari Kelompok Vadhala."
"Benar, apa katamu," kata Kinara menatap Bradja.
"Kita harus, pergi dari sini."
"Orang-orang di kedai harus kita tolong dong! Jangan main pergi sendiri!"
"Bagaimana?" Kinara masih menatap Bradja.
Bradja mengangguk. Mereka bertiga beranjak, segera menolong orang-orang yang terluka, membawa ke tempat aman. Cavan masih berhadapan dengan gadis itu. Dia melompat menjauh dari serangannya. Melancarkan sihir angin-nya.
"Whole of The Wind!" Cavan merapalkan mantra.
Sihir angin-nya muncul, membentuk sebuah lubang masing-masing, lalu lubang angin itu membentuk sebuah pusaran angin yang besar. Si gadis melindungi mukanya dengan kedua lengannya. Sulur dari bunga mawar yang panjang, membentuk sebuah dinding layaknya sebagai pelindung yang kokoh untuk melindungi diri.
"Extra Wall Rose!"
"Dia melindungi dirinya? Berarti bunga mawar itu adalah Lakon-nya," gumamnya. Dia merentangkan dua katana-nya kembali. Melompat ke sana—menebasnya dengan beberapa tebasan, merangsek masuk.
"Dia bisa masuk ke dinding sulur Mawarku?!" Dia merentangkan tangan, memerintahkan sulur bunga mawarnya menyerang Cavan. Cavan menghindar, menjejakkan kakinya ke sulur yang bergerombol, menyerang gadis itu.
"Tidak akan!" serunya, melindungi diri dengan lebih banyak sulur bunga mawar.
Cavan tidak goyah seraya merapalkan mantra kembali. Namun sulur bunga mawar di belakangnya menyerangnya seakan membaca gerakannya.
"Masa...?"
Dia melompat bersalto lagi untuk menghindar. Berlari segesit mungkin lalu menghindar lagi. Menjejakkan kakinya.
"Dia tetap ngotot untuk melindungi dirinya. Kalau aku tidak bisa menyerangnya duluan, Kinara bisa cepat ketangkap kalau begini!"
"Sesulit itu kah melawanku, Tampan?" sahut gadis itu. Dia masih berlindung di dalam sulur-sulur bunganya."Oh, ya, aku memang ingin menangkap gadis lemah itu."
"Aku enggak akan membiarkan kamu mengambil Kinara!"
Tidak ada suara. Di belakangnya salah satu sulur bunga mawar membentuk menyerupai tombak lancip, melesat ke arahnya. Cavan menoleh, menghindar, tetapi sulur itu berhasil menyabet tengkuknya hingga mengeluarkan darah. Dia menjejakkan kaki memegangi tengkuknya.
"Kamu tangguh juga, ya?"
Serangannya hanya sekejap, pikirnya.
Sulur tombak itu melesat lagi ke arahnya. Cavan dengan dua pedangnya membelahnya menjadi beberapa bagian. Tanpa disadarinya sulur-sulur di sekelilingnya ikut dan berubah menjadi tombak.
"Kok bisa...?!"
Cavan merapalkan mantra. Mengatupkan mulut, dan mengeluarkannya seperti semburan angin."Hembusan Angin!" Sihir anginnya mengenai sulur-sulur itu.
Tidak goyah, sulur-sulur itu tetap tidak terpental. Cavan menjejakkan kaki di jalan. Sia-sia saja sihir yang dikeluarkan. Satu sulur pelan-pelan mengarah padanya. Menusuk dadanya dari belakang.
Jleeb!
Mulut Cavan mengeluarkan darah segar.
"Apa yang...?"
"Kamu lengah," ucap gadis itu di balik sulur-sulurnya."Pertahananmu
payah."