'Terkadang kamu harus melepaskan demi mendapatkan ketenangan ataupun kebahagiaan, pengorbanan itu dibutuhkan.'
***
"Hai!" Seorang pria seumuran mendatanginya dengan senyuman aneh.
"Wa'alaikumussalam!" jawab Farah ketus. Gadis itu kembali fokus dengan Al-Qur'an di tangannya.
"Eh, iya. Assalamu'alaikum." Pria itu menggaruk tengkuknya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Farah lirih.
Pria itu duduk disebelahnya. Farah melirik orang disampingnya, ia sedikit menjauh dari pria itu. Murajaahnya sembari menunggu waktu Zuhur di teras masjid kini terganggu dengan kehadiran pria yang tak dikenalnya.
"Ayyu khidmah? Ada yang bisa dibantu?" Farah menutup mushafnya, melihat kearah pria itu.
Farah menatap pria itu dari atas ke bawah, penampilannya sama seperti santri-santri disana, dengan celana kepler hitam, baju koko putih dan peci hitam dikepalanya.
Pria itu berdecak, "Tolong, ngomongnya ga usah pake Bahasa Arab. Lagian ga ada ustadz dan ustadzah disini, jadi ga bakal kena tegur," pintanya.
Farah mengangguk, memperhatikan sekeliling. Para santri masih fokus dengan hafalannya, jarang ada yang mengobrol, karena jika ketahuan hukuman akan menanti, biasanya dihukum dengan hafalan tambahan.
"Nih," pria itu menyodorkan lipatan kertas pada Farah.
"Apa itu?"
"Ya kamu liat sendirilah kalau ini kertas."
Farah memutar bola matanya jengah, "Maksud aku itu surat, daftar belanjaan, struk belanja, atau apa?" Farah memperjelas pertanyaannya.
Pria itu terkekeh, "Pantas saja kamu jadi idola disini, ternyata kamu beneran unik, ya? Lain dari yang lain."
"Terserah kamu," jawab Farah cuek. Gadis itu kesal karena waktu murajaahnya terganggu dengan kehadiran pria itu.
Pria itu menghela nafas, "Ini surat," katanya.
"Surat apa?"
"Surat administrasi keuangan!"
"Hah?"
"Ya nggalah! Ini tu surat, surat cinta." Pria itu menaik turunkan alisnya.
"Dari siapa?" tanya Farah.
"Your future!"
"Udah nih ambil," sambung pria itu.
Farah tampak bingung dan canggung untuk menerima surat itu, tapi ia penasaran dengan isi didalamnya. Akhirnya, dengan sedikit keraguan Farah menerima sodoran kertas itu.
"Untuk aku? Ga salah orang, nih?" tanyanya memastikan.
"InsyaaAllah ngga. Jangan dibaca sama orang lain ya itu suratnya," pinta pria itu.
Pria itu beranjak dari sana setelah memberikan surat itu.
"Eh tunggu!" Suara Farah menghentikan langkah pria itu.
"Mau kemana?" sambung Farah.
"Sambung murajaah, nanti hukumannya double kalau ketahuan ga murajaah terus duduk berdua sama kamu disini," jelasnya.
Pria itu membalikkan tubuhnya, ingin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Eh tunggu-tunggu!" Lagi-lagi suara Farah membuat langkah pria itu terhenti.
Dia berbalik, "Apa lagi?" tanyanya kesal.
"Ini bukan dari kamu, kan?" Farah sedikit mengangkat lipatan kertas ditangannya.
"Bukan," jawabnya singkat.
Pria itu menggelengkan kepalanya lalu pergi dari sana. Sementara Farah masih memperhatikan lipatan kertas ditangannya, ia enggan untuk membukanya. Ketika tangannya sudah siap untuk membuka kertas itu...
Farah mengurungkan niatnya, suara azan Zuhur terdengar ditelinganya, suara yang ia kenal. Farah langsung bangkit, tak lupa ia menyimpan surat itu disela-sela mushafnya.
Semua melaksanakan sholat Zuhur dengan khidmat. Setelah selesai sholat, sekarang waktunya istirahat dan makan siang. Beberapa santri memilih untuk kembali ke asramanya terlebih dahulu, sementara yang lainnya langsung ke ruang makan untuk membantu mempersiapkan hidangan.
Farah bersama Cut dan beberapa santri asrama Fatimah binti Muhammad berjalan beriringan menuju asrama, obrolan pun terdengar selama perjalanan.
"Cut," panggil Farah.
Gadis disebelahnya menoleh pada Farah. "Iya?"
Mereka memasuki kamar, tidak ada Haura didalamnya entah kemana gadis itu. Farah segera menyimpan mukenah yang sudah dilipatnya, lalu meletakkan mushaf Al-Qur'an diatas lemari yang tingginya sama dengan tinggi gadis itu.
Farah berjalan mendekati ranjang Cut. "Di pesantren ini sering kirim-kiriman surat gitu ga, sih?" tanya Farah yang kini sudah duduk di tepi kasur Cut.
Cut yang baru selesai menyimpan mukenahnya menoleh pada Farah. "Emang kenapa? Ada yang ngirimin kamu surat, ya?"
"Ngga, aku nanya aja. Kan biasanya gitu kalau anak pesantren suka kirim-kiriman surat, disini gitu juga ga?" tanya Farah lagi.
Cut tampak berfikir, "Mungkin," jawabnya ragu.
"Ya kamu tau sendiri aku ini apalah, mana ada yang ngirimin surat!" Cut tertawa kecil.
"Udah ah, yuk ke dapur, udah demo nih cacing dalam perut!" Cut menarik tangan Farah ikut dengannya keluar kamar. Farah hanya diam saja tak berkomentar.
Tiba waktunya untuk makan siang bersama. Seperti biasanya, saat makan tidak ada yang berbicara, membuat suasana menjadi hening. Mereka mengedepankan adab untuk tidak berbicara saat makan.
Setelah selesai makan, diberikan waktu beberapa menit sebelum melanjutkan pembelajaran di kelas lagi. Farah dan Cut tidak menunggu waktu lama, mereka langsung mengambil buku Hadits dan Ushul Fiqih lalu membawanya ke ruang kelas. Banyak santri yang menghabiskan waktu selesai makan didalam kelas, sembari mengulang pelajaran.
Waktu terus berjalan, hingga tak terasa waktu Ashar telah tiba. Setiap kelas menutup pertemuan hari ini, mereka langsung menuju masjid beramai-ramai.
Sholat Ashar telah selesai, sekarang waktunya para santri mengantri untuk menyetorkan hafalan. Tanpa terkecuali, jika ketahuan melanggar aturan tidak setor hafalan maka hukuman akan menantinya.
Menyetorkan hafalan pada beberapa ustadz dan ustadzah yang hari ini bertugas, selebihnya akan berkeliling ke setiap sudut pesantren untuk mencari santri yang nakal. Ya, begitulah tugas lain para pengajar disaat pergantian jam.
"Huh," Farah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Gadis itu hanya seorang diri di kamar, Haura yang sejak pagi hanya sesekali dilihatnya, sementara Cut masih mengantri untuk menyetor hafalannya. Sekarang waktunya Farah untuk istirahat sejenak, mengistirahatkan tubuh, otak, juga hatinya.
Mata yang tadinya terpejam kini terbuka saat ia mengingat sesuatu, gadis itu langsung bangun dan mengambil surat yang ia letakkan didalam mushafnya. Farah penasaran dengan isi surat itu, ia berniat akan membacanya sekarang.
Tampak selembar kertas dari buku tulis dengan tinta hitam diatasnya, tulisan yang tidak terlalu bagus, tapi masih bisa dibaca. Sorot mata Farah melihat pada bagian atas surat itu, ia akan membacanya dari atas. Tentu saja!
Beberapa menit berlalu, itu bukan surat yang panjang. Farah membacanya hingga dua kali memastikan ia tidak salah baca. Selama membaca surat itu, hatinya terasa tak karuan, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Abhi," lirihnya.
Farah beranjak dari kasur, meletakkan surat itu didalam lemarinya. Gadis itu sedikit berlari keluar dari asrama. Tujuannya adalah pria itu, dan Farah tau harus mencarinya dimana.
Pandangannya menatap kagum pada pria yang sedang mengajar tilawah di masjid seperti biasa. Suara indahnya terdengar ditelinga Farah, membuat hatinya sedikit tenang walaupun masih terasa tak karuan seperti saat membaca surat itu.
"Permisi," suaranya menghentikan langkah pria yang hendak bergabung ke depan.
"Iya?" Pria itu menoleh pada Farah.
"Bisa tolong panggilkan Abhi? Ada yang ingin saya bicarakan dengannya," pinta Farah.
"Baik, tunggu sebentar."
Tampak pria tadi berjalan kedepan, mendekati Abhi, dia membisikkan sesuatu ditelinganya. Abhi mengangkat kepalanya, pandangannya terarah pada Farah yang berjarak ±5 meter darinya.
Abhi membisikkan sesuatu pada pria itu, Farah menyipitkan matanya. Bukannya Abhi, tapi malah pria itu yang kembali lagi menghampirinya.
"Afwan. Abhi ga mau diganggu," kata pria dihadapan Farah.
"Tapi--"
"Saya permisi." Pria itu langsung pergi dari hadapannya.
Farah tak akan pergi sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan, menunggu Abhi sampai selesai menjadi pilihannya sekarang. Farah memilih duduk di teras masjid sambil memperhatikan orang berlalu-lalang.
"Farah? Ngapain disini?"
Farah mendongak, senyumannya mengembang saat melihat wanita yang sudah beberapa hari ini tidak dilihatnya. Farah langsung berdiri dan memeluk Ily singkat.
"Kamu baru sampai?" tanya Farah.
Ilyana mengangguk, "Tadi Ily nak ke asrama, terus liat Farah duduk kat sini sendiri jadi Ily samperin deh." Ily tersenyum.
"Oh ya, gimana perjodohan kamu? Lancar? Calon suami ganteng gak?" tanya Farah antusias.
"Awalnya dia tak nak dijodohkan dengan Ily, Ily pikir dia dah ada perempuan lain. Tapi alhamdulillah selang beberapa hari akhirnya dia terima perjodohan tu." Ily tersenyum manis. Sepertinya dia bahagia.
"Alhamdulillah," ucap Farah dengan senyuman manisnya.
"Ily bersyukur sangat dia terima perjodohan tu. Sebab, Ily dah lama ada rasa ke dia, dia tu kawan kecil Ily di Indonesia," jelas Ily.
"Bagus deh kalau gitu. Yaudah, kamu ke asrama aja dulu sana beres-beres, aku ada urusan disini." Farah tersenyum.
"Oke!" Ily melambaikan tangan pada Farah lalu gadis itu berjalan menuju asrama.
Farah kembali duduk ditempatnya tadi. Memikirkan perkataan Ily, penjelasannya mirip dengan seseorang yang dikenalnya, atau mungkin Ily dijodohkan dengan...
Farah menepis pikirannya barusan, ia berniat untuk tidak ikut campur dalam urusan orang lain. Ia hanya ingin menemui dan berbicara pada Abhi saat ini, tidak selain itu.
Kepala Farah menoleh kebelakang, sepertinya Abhi masih mengajar didalam. Gadis itu menghela nafas. Ia tau kalau biasanya Abhi akan keluar untuk mengambil wudhu lagi beberapa menit sebelum Maghrib.
"Kenapa masih disini?"
Suara itu mengangetkan Farah, gadis itu menoleh kebelakang. Ia langsung berdiri saat mendapati sosok Abhi yang ternyata sudah berada dibelakangnya entah sejak kapan.
"Ada yang mau aku tanyain," kata Farah tanpa basa-basi.
"Saya lagi ga nerima pertanyaan dari siapapun. Kamu udah tau semuanya, mau nanya apa lagi? Lebih baik kamu balik ke asrama dan bersiap-siap sholat Maghrib, pergilah." Perintah Abhi.
Farah mengernyit, "Aku udah nunggu lama-lama disini tapi akhirnya malah diusir? Kok kamu gitu, sih? Aku salah apa?" Sepertinya Farah tak terima mendapat perlakuan Abhi barusan.
"Maaf, Farah. Tapi tolong, jangan ganggu saya lagi, saya mau fokus belajar, sebentar lagi ujian."
"Alasan! Aku tau bukan itu sebabnya, iyakan?"
"Terserah kamu saja. Permisi." Abhi melewatinya, pria itu pergi ke toilet.
Farah terpaku disana, memikirkan apa alasan Abhi mengirim surat itu dan kenapa? Sikapnya semakin lama semakin dingin pada Farah, ia tak habis pikir. Tak ada pilihan lain selain mengikuti maunya Abhi. Farah meninggalkan tempat itu dengan rasa kecewanya.
"Maaf Farah," lirih Abhi dari balik tembok toilet.
♡♡♡