Tepat dihari ketiga, hari terakhir matsamah tentunya. Lagi-lagi mereka mendapat tantangan dari kakak-kakak kelasnya, kali ini para murid X IPA 1 mendapat tugas untuk meminta tanda tangan dari kakak dan abang senior yang terkesan 'galak'.
"Jangan Fathur, deh. Dia terlalu keras orangnya kasihan mereka nanti." Terdengar diskusi Bang Putra dengan Kak Mayang.
"Udah gapapa, lagian Fathur juga ga bakalan ngapa-ngapain mereka, kok." Kak Mayang meyakinkan.
Bang Putra tak berkomentar apapun lagi. Akhirnya Farah dan kelompoknya ditugaskan untuk meminta tanda tangan seorang abangan kelas yang bernama 'Fathur', katanya sih dia sangat kasar orangnya.
Mereka berenam, termasuk Farah dan Ghali yang beriringan berjalan didepan menulusuri hampir setiap penjuru sekolah, mencari abangan kelas yang bernama Fathur itu.
"Kurang kerjaan kali minta-minta tanda tangan gini. Untuk apa, coba?" gerutu gadis bernama Tika yang berjalan dibelakang Farah.
"Anggap aja kita fans mereka," sahut Ghali, matanya sibuk melihat kesana dan kemari mencari sosok Fathur.
"Kita? Fans mereka?" Farah tertawa sinis, "Ngga kali."
Ghali yang selalu tertawa kecil melihat setiap gerak-gerik Farah kinipun melakukan hal yang sama, mungkin pria itu mulai menyukai gadis disebelahnya.
"Eh-eh," Ghali menghentikan langkahnya dan langkah mereka semuapun ikut terhenti. "Itu Bang Fathur bukan, sih? Coba liat tuh bet namanya," tuturnya sambil memperhatikan pria yang berjalan kearah mereka.
Farah menyipitkan matanya, mencoba membaca bet nama abangan kelas itu.
"Eh iya bener tuh Bang Fathur!"
Beberapa dari mereka saling tatap dan tersenyum senang, itu artinya tugas terakhir mereka selesai dan mereka bisa duduk santai didalam kelas.
Antusias sekali mereka berlari menghampiri pria itu. "Bang Fathur, ya?" tanya Ghali memastikan, tepat saat mereka berada dihadapan pria yang kini tampak bingung.
"Kenapa emangnya?" tanya pria dihadapan mereka.
"Bang, boleh minta tanda tangan, ga?"
"Kalian ini kenapa, sih? Belum juga kenal udah asal minta tanda tangan. Ga mau, ah!" Bang Fathur hendak berjalan meninggalkan mereka.
"Bang jangan gitu dong, kami disuruh Bang Putra sama Kak Mayang untuk minta tanda tangan Abang," kata Tika menghentikan langkah Bang Fathur.
"Eh denger ya, Dek! Kalau aku bilang gak mau ya berarti aku ga mau, ga ada yang bisa maksa!"
Pria itu berjalan lenggang meninggalkan para Adik kelasnya yang tak berdaya itu.
"Bang!"
Suara itu membuat Bang Fathur menghentikan langkahnya, menoleh kebelakang. Farah pemilik suara itu berjalan santai kehadapannya.
"Abang ini kok kayaknya sombong kali, sih? Kami cuma minta tanda tangan Abang bentaran doang, ga sampai lima menit dan tangan Abang ga bakalan pegel, itu juga ga buat abang rugi!"
"Eh anak baru, kamu tau apa sih, hah?!"
"Aku tau, kalau disini ada abangan kelas yang sombong dan merasa hebat, padahal dia ga ada apa-apanya!" Tanpa rasa takut Farah saling bertatapan tajam dengan pria itu.
"Kamu berani, ya!" Bang Fathur mengangkat tangannya hendak memukul gadis dihadapannya.
"FATHUR, JANGAN!!"
Tampak Bang Fatih dengan tangan yang memegang tangan Bang Fathur, menahan tangannya agar tak memukul Farah.
Bang Fathur melepaskan tangannya yang dipegang Bang Fatih. "Ni orang ga ada sopannya tau, gak?! Berani kali dia ngomong gitu sama Abang kelasnya!" Bang Fathur menatap Farah tajam.
"Abangan kelas itu seharusnya jadi contoh yang baik untuk adik-adik kelasnya. Kalau abang kelasnya kayak gini gimana adik kelasnya bisa terima?!"
Gadis pemberani itu sepertinya belum jera juga walau nyaris ditampar oleh abangan kelasnya.
"Lagian kami udah minta baik-baik kok ke Abang. Tapi abangnya aja yang lagak sombong, apa sih yang abang banggain disini?" sambung gadis itu.
"Eh kamu itu cuma anak yang baru tiga hari disini, tau apa kamu soal aku? Baru juga kenal."
"Iya emang kita baru kenal, Bang. Tapi sekali jumpa sama Abang yang kayak gini, aku tau kalau Abang perlu dididik lagi."
"Farah, udah!" Tegas Bang Fatih.
Gadis itu terdiam, membalas tatapan tajam dari abangan kelasnya yang sombong itu. Setau mereka Bang Fathur adalah anak dari kepala sekolah, mungkin itu yang membuatnya merasa punya kuasa di sekolah itu.
"Kalau dia laki-laki aja tadi udah habis kubuat!" kata Bang Fathur geram, pria itu menatap Farah kesal.
"Fathur udah, tenang. Lagian mereka cuma minta tanda tangan kamu aja, hal sepele. Ayolah kita udah dewasa, masa iya pemikiran kita kalah dewasanya sama adikan kelas?" Bang Fatih mencoba memberi pemahaman pada pria seangkatannya.
Cukup lama Bang Fatih membujuk Bang Fathur, hingga akhirnya Fathur menyerah dan memberikan tanda tangannya pada mereka. Setelah itu dia langsung pergi darisana.
"Bang maaf, ya..." titah gadis itu lembut sebelum Bang Fathur benar-benar pergi.
Hal yang tak terduga hadir, Bang Fathur sedikit tersenyum mendengar penuturan itu dari Farah, manis.
Gadis itu mengerjapkan matanya dua kali memastikan bahwa ia tak salah lihat. Sesaat kemudian Bang Fathur benar-benar sudah tidak ada dihadapannya.
"Makasih ya, Bang. Maaf juga udah ngerepotin."
"Kamu ini kenapa berani kali sih ngomong gitu ke Fathur? Dia bisa berbuat nekat kayak tadi sama kamu, loh."
"Farah kesel aja liatnya, Bang. Mentang-mentang anak kepala sekolah seenaknya aja memperlakukan orang, sombong, Farah ga suka." Gadis itu menjelaskan seperti anak kecil.
"Lain kali jangan gitu lagi, ya. Fathur sebenarnya mudah luluh hatinya kalau kita ngomong baik-baik ke dia. Buktinya tadi kamu berhasil buat dia senyum, jarang-jarang loh dia mau senyum walaupun sedikit ke cewek." Bang Fatih tersenyum kecil.
"Iya dong, mana bisa Bang Fathur ga senyum sama cewek cantik." Lagaknya membanggakan diri.
Bang Fatih tertawa, "Iya-iya Abang akui kamu memang cantik."
***
"Hei!"
Suara itu membuat Farah menoleh kebelakang. Tampak seorang pria seumurannya berjalan menghampirinya sambil menggendong tas ransel berwarna hitam dipunggungnya.
"Mau pulang bareng?" Pria itu menawarkan.
"Ga usah aku bisa pulang sendiri, kok."
"Pulang sendiri naik apa kamu? Kalau dijemput orang tua itu namanya bukan pulang sendiri!" Akbar tertawa.
"Hehee iya itu maksudnya."
Kelas mereka bersebelahan, kenal karena kejadian dihari pertama matsamah. Nomor WhatsApp beberapa anak X IPA 2 yang tertera dihalaman terakhir bukunya, Farah mencoba menghubungi salah satu. Nomor yang asal dipilihnya itu ternyata adalah nomor Akbar. Malam itu juga mereka mulai asik berbalas pesan. Muhammad Akbar Al-Zaid, putra sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya laki-laki, Mumtaz yang sebaya dengan Nafsah, dan Zidan yang lebih tua setahun dari Adhwa.
"Rumah kamu dimana?" tanya Farah saat keduanya berjalan hendak keluar gerbang sekolah.
"Diatas bumi dibawah langit."
Farah menatap pria yang berjalan beriringan disampingnya. "Samalah ya kita kalau gitu."
"Eh beda, aku dibelahan bumi timur dan kamu dibelahan bumi barat, namun suatu saat kita akan bertemu dalam akad."
"Aneh." Farah tersenyum simpul.
"Oh iya kamu pulang naik apa, Bar?" tanya Farah.
"Sepeda,"
"Sepeda? Masih jaman sekarang ke sekolah naik sepeda?"
"Motor."
Farah mengernyit. "Sepeda apa motor?"
"Keduanya."
"Kamu ke sekolah bawa sepeda sama motor? Gimana tuh?"
"Ish bukan, Farah. Maksud aku sepeda motor, kereta." Jelas Akbar dengan tawa kecil mengiringi ucapannya.
Farah tertawa kecil, "Iya-iya aku tau."
"Besok ikut aku ke rumah ya, sekalian kenalan sama bunda," kata Akbar.
"Mau ngapain?"
"Jangan banyak tanya, pokoknya besok ikut aku pulang ke rumahku dulu. Oke, ga ada penolakan."
"Tap--"
"Kamu udah dijemput,tuh. Dah!" Akbar melambaikan tangannya, tersenyum kemudian berjalan menuju parkiran.
Abi menghampiri Farah dengan motornya. "Siapa itu?" tanya Abi.
"Temen Farah, Bi. Besok Farah diundang ke rumahnya." Gadis itu naik keatas motor.
"Ngapain?"
"Liat aja besok ngapain," jawab Farah asal.
"Jangan aneh-aneh," kata Abi yang terkesan tegas.
"Ngga aneh-aneh kok, Bi. Palingan macem-macem." Gurau Farah.
♡♡♡