And I can't be falling for somebody new
If I can't
Forget about the past
Forget what we had.
—Teo Glacier, Close With Desires
• • •
"ADIT, kamu tahu nggak?"
"Tahu, kok. Saya memang jahat."
Zoe mengangguk setuju. Adit memang jahat. Bisa-bisanya dia mengajak Zoe ke Museum Barberini karena ia memiliki dua tiket masuk yang seharusnya ia berikan untuk Sia. Bisa-bisanya Adit mengajak Zoe untuk menggantikan sosok Sia. Bisa-bisanya, dalam artian, dia menjadikan Zoe sebagai bayang-bayang Sia. Maksud Zoe, mengapa Adit harus mengajak dirinya? Ayolah, dia masih punya Sephia, adiknya, yang bisa dia ajak kapan saja.
Apalagi, Zoe juga sudah pernah mengunjungi museum itu di semester awal kuliah. Museum yang bisa ditempuh sekitar lima belas menit dari kampus itu memang menarik dan ramai.
"Kenapa nggak Sephia aja yang kamu ajak?"
Zoe bersungut. Jika begini maksud sebenarnya, Zoe akan menolak. Zoe juga ingin mengobrol bersama Alfred, karena Zoe sangat rindu Alfred. Sialnya ponsel Zoe lowbat, perempuan itu belum memberi kabar pada Alfred.
"Sephia nggak mau," jawab Adit apa adanya.
"Kamu nggak akur sama Sephia?"
Bukan tanpa alasan, Zoe sering melihat Sephia misuh-misuh ketika Adit mengunjungi apartemennya. Sephia juga paling tidak suka membicarakan Adit sejak pertama kali Zoe berkenalan dengan Adit. Sejauh ini, tidak ada informasi yang bersifat pribadi terkait Adit yang Sephia bicarakan pada Zoe, paling sebatas Adit sedang menempuh pendidikan S2 jurusan Data Science di kampus yang sama.
Zoe sampai tercengang mendengar hal itu, sudah setahun lebih ia dan Adit satu kampus namun tak sekalipun mereka pernah bertemu. Walau berbeda gedung, setidaknya mereka masih bisa berpapasan, bisa di kantin, parkiran, atau perpustakaan. Bahkan sekali saja Zoe tidak pernah menyaksikan Adit dan Sephia bertemu di kampus, selayaknya kakak beradik yang akur.
Adit menusuk kentang rebus yang disajikan bersama schnitzel daging ayam dengan garpu. Setelah puas jalan-jalan di museum, akhirnya Adit menunaikan syarat dari Zoe; jangan biarin yang diperut kelaparan.
Adit mengunyah perlahan, setelahnya dia membalas, "Saya akur kok, cuma butuh waktu saja."
"Waktu?"
"Iya, saya sama Sephia baru bertemu kembali sejak sepuluh tahun," tutur Adit, membuat kerutan di dahi Zoe semakin dalam.
Gelagat Adit menafsirkan kebingungan. Sejurus kemudian Adit meletakkan alat makan yang digunakan, kini ia menopang dagu berlagak sedang memikirkan soal-soal rumit, bahkan kedua alisnya hampir menyatu.
"Gini ...," jeda Adit, dia melipat kedua tangan di meja. "Orang tua kami memilih untuk bercerai. Saya dengan Ayah dan Sephia dengan Bunda. Sebelum menikah, Ayah saya asli Jerman, akhirnya Ayah saya membawa saya ke Jerman. Jadi, kami akhirnya bertemu kembali saat Sephia memilih untuk berkuliah di Jerman."
"Sor–"
Zoe hendak melayangkan kata maaf, namun Adit segera menyergah. "No, kamu tidak usah minta maaf. Orang tua kami berpisah baik-baik. Ayah yang kelewat santai dan Bunda yang sangat ambisius, perpaduan sifat yang awalnya mereka bisa saling memahami tapi lama-lama jengah juga. Dulu Ayah seorang pekerja kantoran yang biasa saja, saking biasanya karir Ayah hanya berjalan di tempat. Kalau Bunda seorang dokter spesialis jantung yang punya banyak ambisi."
Zoe menunduk, memainkan jemarinya yang saling bertaut. Apa pantas obrolan mereka sudah sedalam ini? Apa pantas Adit sangat leluasa menceritakan terkait keluarganya kepada Zoe yang bahkan Sephia saja tidak pernah menceritakan tentang keluarganya kepada Zoe?
Belum lagi ada sesuatu yang mengganjal di benak Zoe sejak mengamati tatapan kosong Adit di museum tadi. Apa ada maksud tersembunyi dari penculikan Adit hari ini? Apa ada hubungannya terkait Sia dan bunga daisy tadi pagi? Padahal tadi pagi, secara tidak sengaja, Zoe mendengar pembicaraan Adit dan Sia melalui telepon yang terkesan masih baik-baik saja karena Adit memaklumi kesibukan Sia. Kenapa di hari yang sama, hubungan mereka sudah kandas? Ya Tuhan, semua pertanyaan itu berseliweran di kepala Zoe.
"Kamu ... putus sama Sia karena aku, ya? Karena ... bunga daisy kesukaan Sia tertukar dengan punyaku?"
Adit menghela napas panjang. "Tidak, Sia tidak mungkin marah hanya karena saya tidak memberikan bunga daisy kesukaannya."
"Beneran? Serius? Aku jadi nggak enak," ujar Zoe sambil menunduk, piring kosong dengan noda makanan menjadi pandangan renungannya.
"Iya, Zoe. Tidak usah dipikirkan."
Adit mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menyimpannya di atas meja. Mengetuk layarnya, ternyata tidak ada apa-apa, lalu ia mematikan kembali layar ponselnya. Begitu terus sampai tiga kali. Meski Adit tidak berbicara, Zoe tahu kalau lelaki itu sedang menunggu sesuatu.
"Zoe, sudah selesai? Ayo, pulang."
Zoe mengangguk, lalu bangkit. Tapi suara dentingan ponsel Adit menarik atensi Zoe, secara responsif perempuan itu menilik sumber suara. Layar ponsel Adit menyala, menampilkan display picture foto seorang perempuan yang sedang memegang buket bunga, di jari manis tangan kanan gadis itu masih bertengger cincin yang persis seperti milik Adit.
Itu telepon dari Sia.