Nara membuka matanya tepat pukul delapan pagi. Kemudian, ia berjalan menuju balkon kamarnya untuk menghirup udara segar. Setelah lima menit berdiri, gadis itu kembali masuk ke kamarnya dan membalas pesan yang masuk.
Rencananya, Nara akan bertemu dengan calon penerbit yang akan menerbitkan bukunya. Mereka sudah berjanji untuk bertemu sekitar pukul satu siang. Gadis itu sangat tidak sabar. Kesempatan yang selama ini ditunggu, akhirnya datang juga.
Nara sudah sampai di kantor penerbit bersama bundanya. Gadis itu merasa sangat gugup.
"Bun, Nara gugup," ucapnya.
Wanita paruh baya yang ada disampingnya, tersenyum manis lalu membelai rambut Nara. "Semangat! Bunda yakin, Nara pasti bisa!"
Nara membalas ucapan bundanya dengan anggukan kepala.
"Nanti kalau sudah selesai, telepon bunda, ya? Bunda mau ke supermarket sebentar."
"Siap!"
Gadis itu mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam kantor penerbit. Tak dapat dipungkiri, detak jantung Nara bertambah cepat ketika melihat banyak buku yang terpajang disana. Semuanya masih terasa mimpi.
"Halo, kamu Bukit Senja, ya?" ucap salah seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Nara mengangguk.
"Perkenalkan, saya Echa. Saya yang akan menjadi editormu jika kamu berkenan untuk terbit."
Nara tersenyum. "Salam kenal, Kak. Saya Nara."
"Yuk ke ruangan."
Nara mengangguk lagi sembari mengikuti langkah kaki wanita di depannya. Sesampainya di ruangan, Nara masih merasa gugup. Detak jantungnya masih terus berdetak cepat.
"Ra, kita ngobrol pakai bahasa santai aja, ya? Anggap aja temanmu."
Nara mengangguk.
"Jadi, gue udah baca beberapa bab awal dan gue sangat tertarik sama tokoh perempuannya. Gue lanjut baca sampai ending, dan ternyata lebih jatuh cinta lagi. Menurut gue, cara penyampaian lo dalam menulis dua tokoh ini sangat unik. Itu adalah hal yang menjadi pertimbangan gue untuk terbitin naskah ini."
Nara tersenyum. Ia bahagia karena Echa memberi kesan baik kepada novel yang ditulisnya.
"Jadi, lo bersedia untuk terbit?"
Mendengar pertanyaan itu, Nara terdiam seketika. Ekspresi wajahnya berubah menjadi ragu.
"Masih ragu, ya?"
Nara mengangguk. "Gue baru pertama kali ditawari terbit, Kak. Jadinya masih ragu."
Echa tersenyum. "Nggak papa, itu wajar, kok. Apa yang membuat lo ragu?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya lalu mengangkat kedua bahunya. "Sebenernya, gue nggak tahu jawabannya, Kak. Rasa ragu itu muncul begitu aja."
"Gue tebak, ini pasti kisah nyata?"
"M-maksudnya?" ucap Nara kelabakan.
"Yang lo tulis itu terjadi di dunia nyata, kan? Makanya, lo ragu terbit karena takut suatu saat nanti akan terbongkar?"
Nara hanya diam saja. Gadis itu tidak menjawab lagi.
"Gue bisa jamin, semuanya nggak bakal terbongkar. Cukup kita berdua aja yang tahu."
Mendengar jawaban itu, membuat hati Nara sedikit tenang.
"Tapi... lo masih menggunakan nama Bukit Senja?"
Gadis itu mengangguk mantap. "Nggak papa, kan, Kak?"
Echa tersenyum. "Nggak papa banget! Gue jelasin tentang kontraknya, ya."
Nara memperhatikan Echa yang sedang menjelaskan secara detail terkait dengan kontrak. Sesekali, gadis itu tersenyum. Ia teringat tentang sosok itu. Sedang apakah dia sekarang? Apakah sosok itu bahagia ketika mendarat di Australia? Berbagai pertanyaan muncul di benak Nara.
"Gimana? Masih ragu?"
"Nggak. Gue mau terbit, Kak," jawabnya.
Jawaban Nara itu membuat bibir Echa mengulas senyum indah. "Makasih ya, Ra."
Nara mengangguk.
"Okay, kita urus kontraknya hari ini. Setelah itu, lo kirim sinopsis naskah ini ya? Semuanya, dari awal sampai akhir."
Gadis itu mengangguk lagi. "Setelah itu?"
"Lo tunggu aja. Setelah baca sinopsis, gue bakal baca naskahnya dari awal sampai akhir terus revisi. Oh iya, jangan lupa beri tahu pembaca lo kalau novel ini mau terbit. Nanti juga bakal ada promosi dari penerbit juga."
Nara tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya. Dengan cepat, gadis itu membuka aplikasi Wattpad dan memberitahu pembacanya bahwa "You (B)" akan segera terbit.
“Nggak sabar baca respon mereka," ucapnya dalam hati.
***
Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari ini, Nara tidak ada kegiatan apapun. Sinopsis yang dikirimnya dua hari lalu belum mendapat jawaban. Gadis itu sedikit cemas, tapi ia berisaha berpikir positif. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan.
Nara beranjak dari kasurnya menuju lantai dasar rumahnya. Disana, sudah ada bundanya yang sedang memasak. Aroma lezat tercium hingga membuat perut gadis itu berbunyi.
"Selamat pagi, bun!" sapanya.
Wanita itu membalas dengan senyuman. "Pagi juga anak bunda. Gimana, tidurnya nyenyak?"
Nara mengangguk. "Nyenyak sih, tapi Nara khawatir sama sinopsis novel."
"Bunda yakin, karya kamu pasti bagus, Ra."
Nara menjawabnya dengan anggukan kepala.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Nara berjalan menuju taman belakang rumahnya. Tak lupa, gadis itu membawa buku biru kesayangannya. Ia membuka tepat dibagian lukisan yang dilukisnya beberapa bulan yang lalu. Bibir gadis itu menciptakan seulas senyum yang indah. Nara memejamkan matanya seraya mengingat-ingat tentang sosok itu.
"Bagaimana kabar lo? Baik-baik aja, kan?" tanyanya dengan menatap langit.
Langit hari ini berwarna biru, bersih tanpa awan. Nara terus memandangi langit itu. Ia menyukai langit biru, bahkan, gadis itu berharap suatu saat nanti akan bisa menjelajahi langit sampai ke ujungnya.
"Kita terpisah sangat jauh, kan? Berbeda negara dan juga benua. Gue kangen sama lo. Gue kangen nulis sambil lihat sosok lo seperti SMA dulu. Tapi, gue yakin. Meskipun jarak kita jauh, setidaknya, kita masih berada di satu langit yang sama."
Setelah mengucapkan itu. Nara tersenyum manis. Cara mencintainya tergolong unik. Ia tidak ingin sosok tersebut mengetahui perasaannya. Menurut gadis itu, begini saja sudah cukup.
Selang beberapa detik kemudian, ponsel Nara bergetar, menandakan telepon masuk. Gadis itu mengambil ponsel dan membaca nama yang tertera di layar.
"Kak Echa?"
Nara segera menerima panggilan telepon itu. Ia berbicara cukup lama. Kak Echa menyampaikan beberapa ulasan singkat setelah membaca naskah "You (B)" secara keseluruhan. Nara tersenyum-senyum sendiri mendengarnya, sekaligus lega. Mimpi yang selama ini didambakannya, akan segera menjadi kenyataan. Nara tidak sabar memeluk karyanya.