Hari ini, Nara akan bertemu dengan Echa. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Pukul sembilan tepat, Nara sudah sampai. Gadis itu segera menuju tempat yang sudah direservasi. Jantungnya berdetak cepat. Ia sangat tidak sabar mendengar ulasan tentang karyanya. Karya yang sangat dicintainya.
"Hai!" sapa Echa.
Nara membalasnya dengan senyuman.
"Duh, maaf, ya. Gue agak terlambat," ucap cewek berambut panjang itu.
"Nggak papa, Kak. Gue juga baru sampai."
Echa mengeluarkan laptop dari dalam tas, lalu menyalakannya. Pandangannya beralih menatap Nara. Gadis itu terlihat sangat antusias.
"Kayaknya, ada yang nggak sabar, nih!" goda Echa.
Nara mengangguk. "Gue nggak sabar banget dengar respon lo, Kak."
Echa tersenyum. "Setelah gue baca semuanya, gue suka banget sama cerita lo! Topik yang diangkat juga nggak terlalu berat, jadi masih cocok untuk pembaca kalangan remaja. Terlebih lagi, banyak yang merasa relate sama cerita ini. Banyak remaja di luaran sana yang punya rasa cinta, tapi nggak mampu untuk mengungkapkan."
Nara mendengarkan dengan serius.
"Terus juga, cara penyampaian lo dalam cerita ini sangat baik. Santai dan nggak menggurui. Revisi dari gue, beberapa masih ada plot hole. Tapi tenang, itu bisa kita atasi mulai hari ini. Dan juga, gue ingin beberapa bagian di novel nanti, diubah, biar nggak terlalu sama dengan versi Wattpad. Oh iya, hampir lupa. Ide dari gue, lo harus nulis special part tapi terpisah. Jadi nantinya yang ikut pre order bakal dapat dua buku. Novel utama sama special part itu. Gimana? Apa lo nggak keberatan?"
Gadis itu terdiam sejenak. "Maksudnya beberapa bagian diubah itu gimana, Kak? Nggak bakal ngerubah jalan ceritanya, kan?"
Echa menggeleng. "Nggak, kok. Jalan ceritanya masih sama, tapi ada sedikit perubahan aja dan itu nggak terlalu banyak."
Nara mengangguk paham.
"Jadi, kapan bisa mulai revisinya?"
"Sekarang juga boleh, Kak."
Sepanjang revisi bersama Echa, Nara tidak berhenti tersenyum. Sesekali, ia gugup. Gadis itu melakukan revisi dengan cukup mudah. Ia memiliki banyak opsi yang bisa ditulisnya. Dengan bantuan buku biru dan lukisan sosok itu, semuanya terasa menjadi lebih mudah. Nara bersyukur akan hal itu.
"Semangat banget ya, Ra?"
Aktivitas mengetik Nara berhenti seketika. Beralih menatap Echa yang ada disampingnya.
"Hehe, iya, Kak. Gue nggak sabar novel ini ada di toko buku!"
Echa tersenyum. "Memangnya, tokoh dalam novel ini sangat berarti, ya?"
Nara mengangguk. "Gue berharap, suatu saat nanti dia bakal baca novel ini. Ya meskipun, dia nggak tahu tentang gue, sih."
"Semangat!" ucap Echa.
***
Tiga bulan telah berlalu...
Sehari-hari, Nara disibukkan dengan merevisi naskahnya. Pengalaman terbit pertamanya ini sangat melelahkan. Namun, gadis itu sangat bahagia. Ia tidak sabar untuk mengenalkan Bani dan Karin yang ada di novelnya, kepada masyarakat luas. Nara juga berharap, semoga cerita Bani dan Karin dapat diterima masyarakat luas, tak hanya pembacanya saja.
Pagi ini, Nara akan datang lagi ke kantor penerbitnya. Agenda hari ini adalah mengecek cover yang sudah selesai dan mulai promosi untuk pre order. Nara juga akan melakukan live di instagram penerbit untuk menyapa pembacanya dan mengingatkan bahwa hari ini adalah masa pemesanan novelnya.
"Huft, capek juga, ya, Kak," ucapnya kepada Echa.
"Tapi bahagia, kan?"
Nara mengangguk setuju. "Gue deg-degan, Kak. Takut nggak ada yang ikut pre order."
"Nggak mungkin, Ra. Tadi aja banyak yang ikut live, kan? Mereka pasti beli karya dari Bukit Senja yang indah itu."
Nara terdiam. Ia berharap, banyak yang membeli karyanya.
"Oh iya, tadi gue baca banyak komentar tentang lo. Mereka senang akhirnya tau Bukit Senja, walaupun lo pakai topi dan masker. Lo nggak berniat untuk membuka identitas asli lo?"
Gadis itu menggeleng cepat.
"Gue nyaman kayak gini, Kak. Biar mereka kenal gue melalui semua tulisan dan karya yang gue tulis."
Echa tersenyum. Melihat kegigihan Nara selama ini, membuatnya merasa senang. Menurutnya, Nara adalah sosok yang sangat misterius dan berprinsip teguh.
Nara berada di kantor hingga larut malam. Gadis itu selalu mengecek grafik pembelian dalam masa pre order yang telah dibuka sejak jam tiga sore tadi. Sejauh ini, ada seribu eksemplar yang telah habis terjual. Rencananya, pihak penerbit akan menambah stok seribu eksemplar lagi untuk besok.
"Selamat ya, Ra! Novel pertama lo laku keras! Gue bangga bisa jadi editor lo," puji Echa.
Gadis itu tersenyum. "Ini juga berkat lo, Kak! Kalau nggak ada lo, gue nggak akan bisa tahu bagian mana aja yang rancu. Besok gue traktir makan enak ya, Kak!"
"Serius?"
Nara mengangguk. Ia bersyukur karena novel pertamanya dapat respon positif. Ia semakin tidak sabar menunggu novel "You (B)" sampai ke tangan pembacanya.
***
Hari yang ditunggu-tunggu Nara pun tiba. Gadis itu tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Hari ini, novel yang ditulisnya akan segera dikirim dan dipeluk oleh pembacanya. Hari ini juga, Nara akan berkunjung ke salah satu toko buku untuk bertemu dengan pembacanya. Disana, Nara akan menandatangani secara langsung bukunya.
"Sudah siap, Ra?" tanya bunda.
Nara mengangguk. Gadis itu sudah siap dengan topi dan juga maskernya.
"Kamu yakin mau pakai aksesoris seperti ini?"
Gadis itu mengangguk lagi. "Nara nggak mau ketahuan, Bun."
"Ya sudah, yuk."
Nara sudah siap dengan atributnya. Kini, ia sedang duduk di sebuah meja di atas panggung kecil. Kegugupan menyelimuti dirinya ketika melihat banyak pembacanya yang berkumpul disini. Nara merasa seperti mimpi.
"Halo semuanya! Bagaimana kabar hari ini? Apakah sudah siap untuk menyapa Bukit Senja? Sepertinya, ini kali pertama Bukit Senja muncul di depan umum, kan?" ucap seorang MC.
Jantung Nara berdetak lebih cepat ketika akan menyapa para pembacanya. "Halo semuanya! Perkenalkan gue Bukit Senja."
Ucapan Nara diikuti dengan tepuk tangan riuh dari pembacanya.
"Kita pakai bahasa santai aja, ya. Jadi, kenapa memilih untuk menjadi anonim?"
"Karena itu adalah bentuk mencintai seorang manusia secara rahasia. Selain itu juga, gue mau kalian kenal gue karena tulisan ini, dan bukan sebagai diri gue yang sesungguhnya."
Jawaban Nara disambut tepukan riuh dari pembacanya. Meskipun mereka tidak tahu siapa sosok dibalik Bukit Senja, tetapi mereka tetap antusias mengikuti acara ini. Tibalah waktu untuk menandatangani buku para pembacanya. Jujur, Nara sedikit gugup. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang. Satu persatu pembacanya mulai berbaris dan menghadapnya.
"Halo, Kak. Kenalin, namaku Amanda. Aku suka banget sama karya kakak! Oh iya, ini aku bawa bingkisan sama surat. Diterima ya, Kak!" ucap seorang gadis yang berusia sekitar enam belas tahun.
Dibalik maskernya, Nara tersenyum. "Terima kasih, ya."
Nara tidak sengaja melihat nama pembacanya itu. Nama belakangnya mirip dengan seseorang, begitu pun dengan wajahnya. Apakah sebenarnya mereka saling kenal?