Dua bulan sudah aku berada di Sydney, Australia untuk menjalani program pertukaran pelajar. Aku cukup betah dan bahagia bisa tinggal di kota dengan kurang lebih lima juta penduduk ini.
Di sini aku bersekolah selama tiga bulan di City Coast Sydney High School bersama Amelia, temanku dari kelas II Bahasa B.
Sesuai dengan namanya, sekolah ini berada di antara kota dan pantai. Ada Pantai Bondi yang terkenal dengan keindahan ombak dan pasir putihnya.
Selama di Sydney aku tinggal di sebuah flat sederhana tapi cukup bersih tak jauh dari sekolah. Mungkin hanya dibutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki untuk sampai ke sekolah.
Di flat yang juga banyak dihuni para siswa sekolahku, aku berbagi kamar dengan Amelia. Meski kamar yang kami tinggali tidak terlalu besar, namun aku senang dengan jendela besarnya yang mengarah ke pemandangan pantai.
Di kamar itu tersedia satu ranjang besar, dua meja belajar, satu lemari besar, satu kamar mandi dalam dengan bathub di dalamnya, serta dapur kecil di sudut kanan kamar.
Amelia sendiri merupakan sosok teman yang baik dan keibuan. Selain, itu dia juga sosok yang mandiri. Dia seringkali membantuku dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengajariku cara memasak beberapa makanan hingga mengajariku menyetrika dengan rapi.
Selain bersekolah, kami berdua juga tak jarang keluar berjalan-jalan untuk menikmati kota Sydney. Demi menghemat uang saku, kami biasanya memilih berkunjung ke fasilitas-fasilitas gratis kota Sydney, seperti taman kota, museum pemerintahan, dan pastinya Pantai Bondi.
Dua bulan di sini, aku bahkan sudah hampir lebih dari 10 kali ke Pantai Bondi. Aksesnya yang dekat dan mudah dijangkau dari flatku, membuat kami sering ke sana setiap sehabis pulang sekolah.
Biasanya aku akan menyewa sepeda milik sekolah dengan harga yang cukup murah. Terkadang aku pergi ke pantai bersama Amelia, terkadang aku berangkat sendiri, terkadang pula berangkat bersama teman-teman kelasku di SMA ini, Josephine, Dylan, dan Michael.
Josephine atau Joe bagaimana kami biasa menyebutnya, adalah gadis cantik berambut pirang panjang dengan mata biru dan leher jenjang. Ayahnya memiliki sebuah hotel di Bali yang membuat dirinya tak asing dengan Indonesia dan antusias mempelajari Bahasa Indonesia.
Sementara itu, Dylan adalah sepupu dari Josephine. Tak berbeda dengan Joe, Dylan juga memiliki rambut pirang dan mata biru. Bagiku, Dylan bertubuh sangat tinggi sekitar 180 cm. Di antara Joe dan Michael, Dylan lah yang paling sering mengajakku bercanda.
Terakhir Michael, Ia adalah anak keturunan Jepang-Australia yang cukup pendiam. Cowok dengan rambut hitam dengan coklat terang ini adalah sosok paling pendiam di antara Joe dan Dylan. Aku dengar dari Joe, Michael adalah anak dari seorang lawyer terkenal di Australia.
Jika aku berangkat sendiri atau bersama Amelia saja biasanya aku akan menghabiskan waktuku di pinggir pantai sambil membaca novel. Sedangkan, jika aku datang beramai-ramai bersama Joe, Dylan, dan Michael, maka kami akan berenang, berlatih surfing, hingga sekedar menghabiskan waktu mengobrol di café dekat pantai.
Joe, Dylan, dan Michael adalah teman yang baik dan ramah bagi aku dan Amelia. Mereka bertiga menyambut kami sekaligus membantu banyak hal selama di Sydney, baik cara beradaptasi hidup hingga mengajari beberapa pelajaran yang membuat kami kesulitan.
Tak hanya di pantai, mereka bahkan beberapa kali mentraktir aku dan Amelia menikmati sejumlah hiburan di kota Sydney, misalnya melihat pertunjukan opera di Port Jackson (Sydney Harbour) yang terkenal itu.
Jika kami sedang lelah ke mana-mana, biasanya Dylan akan mengundang kami untuk bersantai di rumahnya. Ibu Dylan sangat baik, dia sering membuatkan berbagai macam makanan bagi aku dan Amelia khususnya.
“Dia memang selalu merasa kasihan liat kalian berdua, jauh dari keluarga, ibukku jadi membayangkan kalau aku yang berada di Jakarta,” ujar Dylan saat membagi pie susu buatan ibunya pada suatu siang.
“Haha, aduh kita seneng aja di sini. Ada kalian yang selalu menemani. Ya walaupun beberapa kali kangen rumah,” ujarku dalam bahasa Inggris.
Di Sydney kami bersekolah dari hari Senin-Jumat mulai pukul 9 pagi hingga jam 3.20 sore. Hari yang masih sore untuk pulang itulah membuat aku memiliki banyak waktu untuk berjelajah kota Sydney.
Kehidupanku di sekolah juga berjalan baik, aku bersyukur cepat bisa beradaptasi baik dalam pelajaran maupun dengan guru dan teman-temannya. Ya meski aku hanya akrab dengan Joe, Dylan, dan Michael.
Di tengah kesibukannku, aku berusaha untuk terus meluangkan waktu bagi orang-orang terdekatku di Jakarta. Aku biasanya akan melakukan panggilan video call dengan keluargaku seminggu sekali di Minggu pagi, lalu melakukan panggilan video call dengan Mika dan Meta pada hari Jumat pagi.
Berbeda dengan lainnya, Bobby lah yang paling sering melakukan video call denganku. Meski aku sudah memintanya untuk menelpon setiap Sabtu malam saja, dia selalu nekat untuk menelponku di hari-hari lain. Jika hanya pada saat sangat sibuk saja aku tak bisa mengangkat panggilan.
Amelia sering memaklumiku yang sering melakukan video call. Apalagi dirinya sendiri juga sering melakukan video call bersama pacarnya yang sudah berkuliah.
Saat video call-an Bobby biasanya akan menceritakan bagaimana hari-harinya di sekolah, begitu pula sebaliknya. Aku bercerita bagaimana kehidupan menyenangkanku selama di Sydney bersama Amelia, Joe, Dylan, dan Michael.
Saking seringnya aku bersama mereka, beberapa kali Bobby mengungkapkan kecemburuannya pada Dylan. Dia curiga Dylan suka padaku karena terlihat dekat dan sering bercanda denganku.
Blak-blakan Bobby mengatakan bahwa kecurigaannya itu berasal dari sejumlah foto dan video yang aku unggah di Instagram milikku maupun milik Amelia.
“Ya ampun kamu masih konyol mulu Bobby, jangan ngawur Dylan emang usil anaknya,” protesku saat aku melakukan video call pada Selasa malam.
“Ya kamu kan ga pernah jadi cowok,” katanya agak ketus.
“Dah lah Bobby jangan gitu dong, kamu kan belum kenal aja sama orangnya,”kataku.
Selain mengobrol kehidupan sehari-hari, Bobby juga sering kali memetikkan gitar bagiku saat kami sudah kehabisan obrolan.
Ya sebenarnya kami tak pernah kehabisan obrolan. Hanya saja kalau sedang lelah setelah aktivitas sekolah membuat percakapan kami sama-sama buntu.
Bobby tahu aku sangat suka saat dirinya memetikkan gitar sambil menyanyikan lagu-lagu dari genre apapun. Terkadang lagu pop, terkadang lagu jazz, bahkan beberapa kali lagu dangdut.
***
Dua hari setelah Bobby menelepon di Selasa malam, aku di kamar sendirian mengerjakan tugas sejarah mengenai beberapa kota di Australia. Kebetulan aku kebagian tugas menulis makalah soal Sydney.
Sementara itu, Amelia sendiri kini menginap di rumah Joe untuk mengerjakan tugas kelompok Biologi bersama.
Jika biasanya aku bisa tidur cepat setelah mengerjakan tugas, kini aku malah terjaga hingga pukul 12 malam. Tak ada chat maupun panggilan masuk dari Bobby semenjak Selasa malam.
“Bobb kamu lagi sibuk ya?,” tulisku kepada Bobby lewat chat Whatsapp.
Aku memang biasanya jarang menanyakkan kabarnya terlebih dahulu. Berhubung dia tak kunjung muncul, akhirnya ku coba mengechatnya.
Keesokan harinya aku bangun kesiangan. Aku kaget setengah mati jam di kamar dindingku menunjukkan pukul 8.30 pagi.
Ku pastikan lagi dengan melihat jam di layar ponselku. Sama. Ternyata aku lupa menghidupkan alarm semalam.
Dengan terburu-buru langsung aku ganti piyama stripku dengan seragam sekolah, kemeja putih dengan rok motif kotak-kotak warna merah.
Ku gosok-gosok seragamku yang lecek itu dengan tangan karena tak sempat menyetrikanya lebih dulu. Lalu aku ambil sikat gigi dan kugosokkan seperlunya gigiku.
Saking terburu-burunya aku sampai tak sempat untuk menyisir rambutku. Segera saja aku mengunci pintu kamar dan pergi menuju lift.
Sialnya lift itu penuh. Aku yang tak sabar langsung memutuskan menggunakan tangga. Jika biasanya aku merasa senang-senang saja naik turun tangga empat lantai, kini aku terus mengumpat.
Di jalan sebisa mungkin aku berlari cukup kencang, sekencang yang aku bisa. Apalagi saat kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 8.45.
Sekolahku di Australia memiliki kedisiplinan yang sangat tinggi. Mereka tak segan untuk menghukum anak-anak yang terlambat sekolah. Aku yang berasal dari Indonesia, tentunya tidak ingin memberi kesan yang buruk.
“Braaak,” aku terjatuh tersandung.
Ku lihat bajuku putihku kotor terkena kubangan air di pinggir jalan.
“Ah gimana ini,” kataku sambil berusaha mencoba membersihkannya dengan tangan.
Lantaran rasanya tak mungkin bersih tanpa bantuan air dan sabun, aku langsung mencoba melupakannya dan kembali berlari menuju sekolah.
Beruntung aku akhirnya sampai di sekolah sebelum masuk kelas, tepat pukul 8.59.
Sesampainya di sekolah, anak-anak memperhatikanku dari atas ke bawah. Seragam putihku sungguh kotor dengan noda coklat yang begitu besar di dada.
“Oh my God what happened Erin, are you okay,” tanya Joe saat melihatku.
“Ya ampun Erin, baru sehari aku nginep di rumah Joe udah begitu,” susul Amelia, kaget sekaligus setengah mengomel
“I was in rush, I ran and I fall on the wallow,” jawabku terbata-bata dengan Bahasa Inggris yang kacau karena kelelahan setelah berlari.
“Its okay-its okay, you need to calm down. Get your sit here,” ucap Dylan sambil menyodorkan kursi padaku.
“Thanks,” kataku sedikit malu.
Selama di kelas, aku kesulitan fokus karena benar-benar merasa mengantuk berat. Jelas ini efek dari aku tidak bisa tidur semalam. Beberapa kali aku pergi ke toilet untuk membasuh muka.
Sekembalinya ke kelas, keadaan makin buruk saja. Mrs Chaterine menagih tugas makalah sejarah. Di saat aku sudah yakin mengerjakannya dan menyimpannya di laptop semalam, ternyata dokumen yang seharusnya 15 halaman itu hilang.
Yang aku temukan di laptopku hanya dokumen yang berisi tujuh lembar saja. Sepertinya semalam aku lupa menyimpannya hingga hilang begitu saja.
“My bad day,” batinku
Mrs Chaterine dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin. Ia terlihat sedikit marah saat melihat dokumenku jauh dari kata selesai.
Guru keturunan India-Australia ini tak menerima alasan apapun dariku. Wajahnya yang galak dengan alis tebal melotot padaku. Aku sedikit atau bahkan merasa sangat malu untuk pertama kalinya ditegur di depan anak-anak lain.
“Di sekolah ini kami tidak menerima alasan apapun atas kecerobohan,” kata Mrs Chaterine mendekat ke mejaku.
“Maafkan saya, tapi saya yakin saya sudah mengerjakannya sampai selesai. Saya kira saya hanya lupa menyimpannya,” ujarku.
“Aku percaya padamu mungkin kamu memang lupa menyimpannya. Tapi jika aku tidak menghukummu dan menolerir semuanya, maka aku khawatir anak lain bertindak demikian.”
“Itulah kenapa aku paling tidak suka muridku melakukan kecerobohan,” ujarnya kini sambil memperhatikan seragamku yang kotor.
“Makin-makin lah dia menganggapku orang yang ceroboh,” kataku dalam hati.
Akibat dari kecorobohanku, aku lantas tidak diperbolehkan mengikuti pelajarannya kali ini. Namun beruntungnya sesuai peraturan dia masih mengizinkan aku untuk membuat makalah lagi, meski nantinya nilainya akan dikurangi.
Aku yang bingung harus ke mana siang itu lantas memilih duduk berdiam diri di taman dekat cafetaria.
15 menit berselang, Dylan mendatangiku. Ia membawakanku oreo rasa vanilla.
“Im sorry for you Erin, but its for you,” katanya padaku.
“How you know im here Dylan? And hows our class?,” tanyaku.
“I just don’t want you to be alone, I said to Mrs Chaterine I need to go to toilet, so here I am,” kata Dylan sambil tersenyum.
“Yes I know you here because I just guessed, hows amazing I’am right?,” lanjutnya sambil bercanda.
Tak mau mendapat masalah lebih banyak aku lantas memaksanya untuk langsung kembali ke kelas.
Sebelum dia menurut, Dylan malah memberikan tawaran untuk menikmati Jumat malam di Blue Café, café langganan kami di dekat Pantai Bondi.
“Would you to spend Friday night with me, Erin,” tanya Dylan.
“Tonight? I don’t know I just don’t feel good today, how about Amelia, Joe, and Michael?,” tanyaku balik.
“Aah no, they said they are busy. I meant I wanted to just go with you Erin,” jelasnya sedikit terlihat gugup.
Aku yang masih merasa aneh karena tidak pernah pergi berdua saja dengan Dylan plus aku masih merasa tidak mood karena hukuman yang baru saja diberikan, bingung untuk menjawabnya.
“Mmmm, let me think.. I ll give you answer after school,” ujarku.
“Ah okay Erin, see you in the class,” balas Dylan sembari melambaikan tangan.
Selama kurang lebih dua jam menyendiri di sana, aku kepikiran dengan orang-orang yang ada di Jakarta. Aku juga masih kepikiran dengan Bobby yang hingga kini belum membalas pesanku.
Aku sempat menanyankan kabar Bobby ke Mika dan Meta. Mereka menyebut Bobby izin tidak masuk sekolah seminggu karena ada suatu urusan. Aku hanya berharap tidak terjadi apa-apa dengannya.
Pikiran ini masih berlanjut hingga aku kembali ke kelas. Moodku bahkan belum kembali membaik hingga sekolah usai. Tercetuslah ide bahwa mungkin menerima ajakan Dylan akan membuatku kembali ceria.
Sepulang sekolah aku pulang dahulu untuk membersihkan badan. Sekitar pukul 18.30 sore, Dylan datang menjemputku menggunakan mobil rubicon hitamnya.
Ia terlihat rapi dengan blue jeans dan kemeja cream panjang yang bagian tangannya ditekuk sampai ke sikut. Padahal biasanya ia tak pernah serapi ini.
Aku yang berpikir ini bukan kencan hanya mengenakan pakaian seadanya. Aku siap dengan kaos putih oblong, blue jeans, dan sepatu converse hitamku.
Aku tak berpikir apapun saat pergi dengan Dylan. Bahkan pikiranku masih sibuk dengan keberadaan Bobby. Namun, tingkah aneh Dylan yang sedikit berbeda dari biasanya lama-lama tak bisa diabaikan.
Selain berdandan rapi, Dylan juga bersikap sangat romantis. Ia membukakan pintu rubiconnya tanpa aku minta, selain itu nada bicaranya juga berubah menjadi lembut.
Kecurigaanku bahwa Dylan menganggap ini kencan, saat dia mulai memegang tanganku sesampainya di café. Aku yang merasa tidak nyaman langsung kulepaskan.
“Oh Sorry,” kata Dylan.
“No, no I just still don’t feel good,” kataku blak-blakan.
Rupanya Dylan sepertinya tidak sadar bahwa aku menganggapnya tidak lebih dari sekedar teman. Ia masih memperlakukanku layaknya kekasih saat makan malam berlangsung.
Aku memesan satu porsi spaghetti bolognase dan ice tea, sedangkan Dylan memilih Chicken Cordon Blue dengan mocktail.
Di satu sisi aku justru seperti terus melihat Bobby. Aku merasa ini salah.
“Dylan, give me some minutes, I want to go to toilet,” ujarku setelah baru melahap satu sendok spaghetti.
Selama di toilet, aku rasanya tak ingin kembali ke meja. Aku hanya tidak ingin membuat Dylan salah paham dan aku ingin menegaskan padanya bahwa aku memiliki laki-laki yang menungguku di Jakarta.
Ku beranikan diri kembali ke meja makan. Aku pun tak ingin berbosa-basi.
“Dylan im sorry, I think any something wrong with us. I guess isn’t dating. We are still friend, right?,” kataku terbata.
“I didn’t mean anything, I just wanna tell I have someone special in Jakarta,” ujarku lagi.
Mendengar itu, Dylan yang awalnya terdiam lama-lama mencoba untuk memahami. Aku sedikit kaget ternyata dia memang memiliki perasaan padaku.
“Oh I see, its okay Erin. I have feelin for you, but its okay I guess isn’t bigger than your boyfriend’s feeling,” katanya.
Setelah mencoba menghabiskan spaghetti aku langsung pamit pulang. Dylan berusaha keras untuk mengantarku karena takut aku kenapa-kenapa. Padahal aku sangat ingin berjalan-jalan di pantai terlebih dahulu untuk sedikit mendinginkan kepalaku.
Sesampainya di kamar, aku memutuskan untuk membersihkan diri dan berencana segera tidur. Sementara itu, ku lihat Amelia baru saja pulang dari rumah Joe.
Meski hanya dua hari menginap di sana, rasanya aku lama sekali tidak bertemu dengannya.
“Kamu mentang-mentang suka kucing dan di rumah Joe ada banyak kucing kamu ga pulang-pulang ya,” protesku.
“Iya maaf Erin, tadi awalnya aku mau pulang bareng kamu kan dari sekolah, tapi memang kucing-kucing Joe sangat menggemaskan ga bisa kalo ga maen ke sana lagi,” katanya sambil tertawa.
“Haha iya-iya, aku bercanda saja,” ujarku memperingatkan.
Aku kemudian merebahkan diri di kasur hingga tak sadar tertidur mungkin saking lelahnya.
Di tengah tidurku, ku dengar suara Bobby bernyanyi lagu lawas milik Elvis Presley, Cant Help Fallin in Love.
Wise men say
Only fools rush in
But I can't help falling in love with you
Shall I stay?
Would it be a sin
If I can't help falling in love with you? demikian lirik yang dinyanyikan Bobby dalam mimpiku.
Suara itu sangat terasa nyata bagiku. Akibatnya aku jadi terbangun.
“Ya ampun ternyata cuma mimpi,” pikirku.
Saat kesadaranku kembali, suara Bobby justru makin jelas dari balik gorden kamarku.
“Like a river flows
Surely to the sea
Darling, so it goes
Some things are meant to be,” suara Bobby kembali datang.
“Amelia, ada suara Bobby mel,” kataku pada Amelia yang kini sedang duduk di kursi belajarnya.
Bukannya menjawab pertanyaanku, gadis yang memiliki tubuh jangkung itu malah tertawa. Kemudian, suara Bobby makin kencang dan jelas hingga munculah dirinya keluar dari balik gorden jendela kamarku.
Seakaan tak percaya, aku sampai menangkupkan tanganku ke mulut. Bisa-bisanya dia sudah sampai di sini.
“Take my hand
Take my whole life, too
For I can't help falling in love with you,” nyanyi Bobby dalam Bahasa Inggris yang cukup fasih dibanding terakhir kali aku mendengarnya beberapa bulan lalu.
Tak bisa menahan kebahagiaan dan rasa haru, kuhamburkan diriku memeluk Bobby. Tak peduli dirinya belum selesai bernyanyi.
“Eheem-eheem,” deheman Amelia memecahkan momen haruku.
“Oh Sorry Amelia, aku terlalu bahagia,” kataku pada Amelia sambil melepaskan pelukanku pada Bobby.
“Makasih Bobby, makasih,” ucapku lembut padanya.
Jam dinding baru menunjukkan pukul 9.30 malam. Bobby berinisiatif mengajakku untuk mampir di resto fast food yang kebetulan terletak tepat di depan bangunan apartemenku.
Dia ingin mengobrol banyak denganku tanpa harus menganggu Amelia.
“Oh iya bentar ya Bob, aku ganti baju dulu ya,” kataku sedikit malu menyadari kini aku masih mengenakan piyama tidur.
“Enggak usah, kamu sudah cukup seperti ini. Sudah cantik, malah lebih cantik sekarang” ujarnya.
Aku yang sudah tidak sabar untuk menanyakan banyak hal pada Bobby kemudian menurut saja.
Bertemu Bobby membuat nafsu makanku kembali bangkit. Aku memesan satu cheese burger dengan strawberry milkshake, sedangkan Bobby membeli double burger dengan coke.
“Terlalu banyak pertanyaan aku kira, bagaimana kalau kita lakukan dalam permainan,” ujar Bobby.
“Hah permainan seperti apa,” kataku bingung.
“Ya kamu tanya saja nanti aku jawab,” ungkap Bobby sambil tertawa usil
“Huft itu mah bukan permainan,” gerutuku.
Melihat aku sedikit cemberut, buru-buru Bobby mengusap-ngusap rambutku dari seberang meja. Sejujurnya, hal ini lah yang paling aku rindukan dari Bobby.
Lalu, ku awali pertanyaanku soal bagaimana dia bisa sampai ke sini.
“Awalnya begini, dua minggu lalu kamu tahu sepupuku Zidan adalah gitaris band indie The Dog Shadow mendapat tawaran manggung untuk acara fakultas filsafat di universitas dekat sini,” jelas Bobby.
“Namun sayang dua hari setelah tawaran itu, Zidan mengalami kecelakaan lalu lintas hingga buat tangannya retak dan harus diperban. Akibatnya, dia mungkin baru bisa bermain gitar lagi beberapa bulan ke depan,” lanjut Bobby.
Sembari mendengar cerita Bobby aku melahap cheese burgerku dengan cukup cepat. Aku sepertinya benar-benar lapar.
“Oh aku turut berduka. Tapi wait bagaimana The Dog Shadow itu bisa ditawari manggung di sana?,” tanyaku.
“Karena panitia acara fakultas itu kebetulan beberapa kali melihat penampilan The Dog Shadow di Youtube dan mereka sangat suka,” jelas Bobby.
“Oh begitu oke lanjut,” ujarku.
“Lantaran aku tahu mereka mendapat tawaran itu di Sydney aku cukup tertarik dan menawarkan diri untuk membantu mereka, menggantikan Zidan untuk sementara,” jelas Bobby.
Bobby menyebut, awalnya Zidan ragu untuk memasrahkannya padanya, namun Ia langsung membuktikan keahlian gitarnya dan berjanji serius berlatih hingga membuat Zidan percaya.
“Ih tapi kamu kenapa sih enggak ngomong dari kemaren-kearen, aku kan nyariin,” ucapku keceplosan mengaku khawatir padanya.
“Hahaha kamu rindu ya?,” ujarnya usil.
“Ga usah banyak tanya, jawab aja pertanyaanku,” protesku.
“Iya-iya, aku emang enggak sengaja kabarin kamu karena biar surprise aja,” ujarnya.
“Selain itu memang kami agak sibuk menyiapkan ini itu untuk terbang sekaligus untuk acara kami sehingga aku tidak bisa leluasa mengabarimu,” jelas Bobby.
“Sama satu lagi, kamu bisa tahu persis di mana kamar dan apartemenku karena Amelia ya?,” tanyaku.
“Iya benar, saat aku sudah benar-benar diizinkan menggantikan Zidan, aku langsung menghubunginya. Aku meminta padanya jangan sampai dia cerita padamu,” jelas dia.
“Oh begitu awas aja tuh Amelia,” ungkapku.
“Oh iya tapi acaranya kapan?” tanyaku lagi.
“Besok Sabtu malam di fakultas filsafat di Sun Sydney University, paling 20 menit dari sini. Aku harap kamu datang ya besok, ini ada dua tiket untukmu dan Amelia,” katanya sembari menyodorkan dua tiket kepadaku.
Saat dirinya makan, ku lihat kantung mata yang lebih besar dari pada terakhir aku melihatnya. Wajahnya juga seperti kelelahan. Aku kasihan sekaligus bangga untuk usahanya sampai ke sini.
***
Pukul 7 malam aku dan Amelia siap berangkat ke Sun Sydney. Kami berangkat dengan bus yang memang beroperasi hingga jam 12 malam. Cuaca di Sydney kali ini sungguh terang dan hangat.
Bintang-bintang masih lebih terlihat di langit Sydney ketimbang di Jakarta yang penuh polusi. Lampu-lampu kota menambah suasana malam Sydney saat ini makin romantis.
Selama perjalanan di bus, Amelia berulang kali memuji keberanian dan kegigihan Bobby. Ia beberapa kali membandingkan Bobby dan pacarnya, Bima. Menurutnya, meski Bobby lebih muda namun terlihat lebih dewasa di balik kelakuan tengilnya.
“Enggak usah begitulah Amel, mungkin Bima hanya belum saja doain aja bentar lagi,” kataku bingung dan mencoba bijak.
“Aku kadang capek tahu sama si Bima, dia suka cuek banget,” gerutunya.
“Eh udah sampe nih, yuk turun Mel,” kataku sambil berdiri.
Tempat penampilan Bobby berada di arena terbuka milik Universitas. Dari pintu depan kami hanya butuh berjalan sekitar lima menit.
Universitas ini memiliki gaya klasik ala bangunan Eropa di masa lampau. Bangunan-bangunan ini mengingatkanku akan setting film Harry Potter. Sungguh indah dan bersih.
Sesampainya di lokasi konser, baru ku tahu acara ini merupakan bagian dari perayaan ulang tahun fakultas filsafat. Mereka mengundang beberapa band indie dari Australia, satu band dari Inggris, dan satu band dari Indonesia, tentunya The Dog Shadow.
Tak heran mereka berminat mendatangkan The Dog Shadow mengingat band itu merupakan band yang mempunyai lagu-lagu berlirik berfilosofis tinggi.
Melihat panggungnya yang cukup besar dan banyaknya penonton yang datang membuatku ikut gugup. Aku berdoa banyak-banyak semoga band Bobby itu bisa menghibur penontonnya.
Bobby mengatakan, bandnya akan menjadi penampil ketiga. Dengan hati yang berdebar, akhirnya ku lihat Bobby berserta empat anggota The Dog Shadow sudah berada di atas panggung.
Agar bisa melihat dengan jelas penampilan Bobby, aku dan Amelia memang berusaha keras untuk bisa sampai ke depan. Hal ini tidak mudah mengingat penonton yang hadir kebanyakan warga Australia yang memang memiliki tubuh tinggi.
Bobby yang bertugas sebagai gitaris tampak tampan dengan kaos oblong hitam dan celana jeans birunya. Untuk pertama kalinya ku lihat ia menggunakan kalung rantai di lehernya. Rambutnya yang kini agak lebih panjang ke depan membuatnya makin terlihat rupawan.
Beberapa kali aku mengerjapkan mata lebih lama untuk meyakinkan diriku bahwa cowok itu adalah Bobby. Bobby yang dulu pernah membuatku jengkel dan risih.
Jika mengingatnya aku merasa konyol sekaligus bersalah.
Aku dan Amelia cukup menikmati dua lagu pertama yang dibawakan The Dog Shadow. Mereka tampil apik menampilkan lagu andalan mereka, Socrates Cries dan You Don’t Know My Mind.
Aku sendiri sangat bangga melihat Bobby, selain permainan gitarnya yang sungguh memukau, dia juga terlihat percaya diri dan tak tampak gugup meski ini konser pertamanya.
“Hello-hello guys, it will be the last song of us tonight. This song is new song from us. Its written by our second guitarist, Bobby Raditya.”
“He said this song special for three important people, first for Zidan. Zidan is our main guitarist. But so sad, he gots an accident two weeks ago and he needs to take rest. So sadly he can’t be here with you guys, please our pray to him,” seru Alfa sang vokalis.
Mendengar itu aku lagi-lagi bangga sekaligus turut berduka bagi Zidan yang tak bisa bermain gitar untuk beberapa bulan. Sementara itu, bangga lantaran Bobby bahkan kini bisa menulis sebuah lagu.
Kini ku lihat mik diberikan Alfa kepada Bobby untuk berbicara.
“Go talk by yourself for this Bobby, I m sure she in here with us,” ujar Alfa sambil sedikit tertawa pada Bobby.
“Oh yes thanks, okay this song is special too for my special girl not my girlfriend yet, but I hope soon, Erin Kinanti….” kata Bobby sempat berhenti untuk menatapku dan memberikan waktu bagi penonton untuk bersorak.
“Ternyata dari tadi Bobby sudah tahu aku berdiri di sebelah mana,” pikirku senang.
“Last.. this song is special for all of you, I hope you guys will enjoy and love this song. Check it out,” ujar Bobby sambil menyerahkan mik kembali pada Alfa.
“I wanna be your Sydney Starship
Bring your stars in my ship
How much do you want, ill do
Oh be your Sydney Starship
Take guarantee youll be fun
Sydney Starship love you in your every way,” nyanyi Alfa dengan merdu.
Mendengar lagu ciptaan Bobby untukku, aku semakin bersyukur akan keberadaanya dan keberadaaan diriku sendiri. Aku bangga pada diriku sendiri maupun padanya yang terus belajar untuk menjadi lebih baik.
Jawaban dari janji kami di bawah Pohon Willow, sekarang ataupun lulus SMA nanti jawabannya akan tetap sama, yaitu YA.