"Kamu selama ini juga tidak suka di-bully kan? Tapi kamu sendiri juga nge-bully orang, kamu harus bercermin!," ujar Bobby agak berteriak padaku.
Setelah Mika meninggalkan kelas dan pulang dari sekolah, Bobby langsung mengajakku bicara di gang belakang sekolah.
“Erin mana Erin,” seru Bobby saat kembali ke kelas.
“Tuh-tuh Bob,” kata Yus menunjukku yang tengah membersihkan piring yang pecah barusan.
“Eh apaan tuh kok mukanya marah gitu,” bisik Sarah pada Venny.
“Rin aku mau ngomong sama kamu,” ungkap Bobby dengan suara yang marah.
“Ngomong apa Bob, aku lagi bersihin ini bentar,” kataku sambil berjongkok tak berani menatap mukanya.
Seakan tak sabar, Bobby kemudian menarik tanganku berdiri. Dengan mudahnya ia menarikku, karena memang aku masih sedikit lemas dengan apa yang terjadi barusan.
Ditariknya tanganku begitu saja melewati pintu belakang sekolah menuju gang belakang sekolah tersebut. Kebetulan saat itu, pintu-pintu di sekolah sengaja dibuka karena sedang ada acara lomba.
Pemandangan Bobby menarik tanganku dengan sedikit kasar membuat keterkejutan di kelasku untuk kedua kalinya. Semua mata tertuju padaku saat Bobby berbuat demikian.
“Ini drama apa lagi sih,” bisik Venny pada Sarah.
“Cinta segitiga nih jelas,” balas Sarah cukup keras hingga aku bisa mendengarnya.
Mungkin Bobby sengaja mengajakku, ralat memaksaku ke gang belakang sekolah agar bisa bebas memarahiku dengan keras.
Terlebih gang belakang sekolahku memang cukup sempit dan sepi. Jarang sekali orang lewat jalan itu lantaran biasanya berbau tidak enak karena selokannya yang sering mampet.
Bobby terlihat sangat marah. Lebih marah daripada sebelumnya saat aku menghinanya. Aku pasrah saja saat ia menarik tanganku dengan sedikit kasar.
"Lebih parahnya lagi, kamu mempermalukan sahabatmu sendiri, jangan bilang kamu tidak sengaja!," ujar Bobby.
"Aku enggak sengaja Bob, kan aku cuma pengen tahu Mika kalau makan," kataku lemah membela diri.
"Tapi sebenarnya kamu juga sudah tahu kan kalau sebenarnya Mika ada sesuatu dengan masalah makan dia?," ujarnya.
Aku terdiam, aku rasa Bobby memang benar.
Aku tidak tahu pasti apa yang dialami Mika, tapi aku tahu pasti ada masalah dalam pola makan Mika.
Aku memang sebenarnya sudah merasa bersalah sejak Mika muntah-muntah. Kini rasa bersalah itu berlipat ganda.
"Kalau memang kamu merasa ada janggal, apa perlu kamu ungkit-ungkit masalah makan dia di depan orang-orang? Aku rasa kamu emang sengaja ngelakuinnya," kata Bobby.
"Tadi dia bilang padaku sambil nangis-nangis, dia punya eating disorder, apalah itu. Dia bilang padaku, Mika tahu kamulah orang yang sudah mulai curiga dengan penyakitnya."
"Apa kamu enggak ngerti penyakit itu bukan buat candaan. Ayo cepat ngomong enggak usah diem gitu aja!," desak Bobby.
Aku yang merasa bersalah dan tidak tahu harus bilang apa hanya bisa diam ketakutan. Ia menatapku tajam bahkan seperti sudah siap melahapku.
Bobby terus mendesakku, memepetku langkah demi langkah sampai aku terus mundur ke belakang menempel tembok.
"Aku-aku enggak tahu pasti dia punya gangguan itu, tapi iya emang aku sudah agak curiga," ujarku terbata-bata menahan tangis.
Kemudian Bobby mulai mencengkeram bahuku. Sentuhannya seperti bisa mengatakan padaku bahwa aku benar-benar kecewa padamu.
"Lalu katakan kenapa kamu mempermalukannya!," tanyanya.
Air mataku akhirnya jatuh berguguran, takut akan kemarahan Bobby sekaligus merasa apa yang dilakukan Bobby itu benar. Aku tidak seharusnya mempermalukan Mika, sahabatku sendiri.
Hanya aku iri dengan Mika.
"Aku cemburu sama Mika, dia pintar, dia cantik, dan lalu...," aku terdiam sesaat.
"Cepat katakan," desak Bobby.
"Karena Mika mampu membuatmu jatuh cinta padanya, karena Mika yang selalu kamu tatap, karena aku suka padamu, sangat suka padamu!,"
Kemudian, Bobby agak melonggarkan cengkeraman tangannya di bahuku. Perlahan dia melepaskan semua tangannya dariku.
Hening sesaat.
Lalu, aku memilih untuk segera meninggalkan Bobby. Baru satu langkah menjauh, Bobby menarik tanganku hingga badan kami sangat dekat satu sama lain.
Aku kini bisa mendengar suara napasnya yang memburu.
"Kamu yang bodoh aku rasa," ujarnya melembut.
"Aku masih menyukaimu, sangat menyukaimu. Aku hanya ingin melupakanmu, menjauhimu, agar aku tidak terluka lagi dengan apa yang kamu ungkapkan dulu," jelas Bobby.
"Kamu adalah sosok pembalas luka yang handal, kamu dirundung, tapi kamu juga mampu merundung, kamu diganggu, kamu juga mampu menganggu."
"Bahkan kamu mampu membalas orang-orang yang melukaimu lebih dalam," jelasnya panjang lebar.
"Ungkapanmu dulu cukup menyakitiku," tambahnya.
"Aku mengakui, aku menyukai Mika, tapi tidak lebih dari rasa kagum, aku jatuh hati padamu," kata Bobby menatapku dengan tatapan yang makin lembut dan dalam.
"Tapi aku takut," tambahnya kemudian memalingkah wajahnya.
Aku cukup kaget dengan ungkapan hati Bobby. Tak ku sangka dia masih menyukaiku.
"Lalu apa arti tatapanmu untuk Mika? Kamu tak berhenti menatapnya saat lomba, kamu mengabaikanku!," ujarku tak percaya.
"Karena aku bilang, aku ingin menghindarimu, aku berniat mengalihkan fokusku darimu," katanya kembali fokus ke wajahku.
"Apa kamu lupa bahwa Sean juga ada di sana, di atas panggung? Kamu lupa Sean sahabatku?," kata Bobby kemudian melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
"Buktikan ucapanmu padaku," kataku hendak pergi.
Sekali lagi Bobby berhasil meraih tanganku kembali. Kali ini, Ia menarikku lebih dekat ke tubuhnya.
Kulihat Bobby yang tinggi menundukkan kepalanya, mendekat ke wajahku. Ia mencium bibirku selama beberapa detik tanpa aku mampu menghindar.
Bunga yang sudah lama sekali tidak muncul di kepalaku kini kembali bermekaran. Kini tak hanya di kepalaku, namun tumbuh di semua bagian dari diriku.
Aku tak menyangka hari ini adalah hari di mana aku berciuman untuk pertama kalinya dengan seseorang dalam hidupku. Bahkan, cowok yang menciumku adalah cowok yang benar-benar aku sukai saat ini.
Bobby yang tengil, humoris, kekanak-kanakan, namun sebenarnya sosok yang dewasa, lembut, dan perhatian.
Aku sempat terbuai dengan momen ini,
Meski begitu, aku segera mencoba menyadarkan diriku. Bukan semestinya ciuman ini terjadi.
Impian untuk hanya mencium satu laki-laki dalam hidupku dan seharusnya pada suamiku kelak rusak begitu saja.
Aku dan Bobby saat ini dalam keadaan kalut, marah, bingung, dan sedih. Segera, aku dorong Bobby menjauh.
Aku usap bibirku yang baru saja disentuh oleh bibirnya.
"Bukan seperti ini Bob," ucapku menangis lagi lalu berlari menjauh.