"Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri," demikian kutipan milik Kartini yang tertempel di mading sekolah.
Hari ini merupakan Hari Kartini, guru, murid, petugas kebersihan semuanya sibuk mempersiapkan hari yang spesial ini.
Selain Hari Kemerdekaan, Hari Kartini merupakan hari yang disambut secara meriah di sekolahku. Pagi ini aku bertugas membantu Mika selama perlombaan berlangsung.
Sekitar pukul 7.10 pagi, aku dan Meta dipersilahkan panitia untuk membantu dan mendadani Mika. Kami diberi waktu dua jam untuk bersiap-siap.
Sebelumnya, kami 'tim lomba model' sepakat untuk memilih baju adat wanita Bali yang biasa dipakai untuk ke Pura.
Kami memilih baju adat itu karena meski terlihat sederhana, namun membuat siapapun yang memakainya terlihat anggun. Selain itu, kami juga tidak akan terlalu kesusahan mencari pernak-perniknya.
Kami memilih kebaya khas Bali warna putih dengan stagen warna merah maroon untuk Mika. sebagai bawahannya, kami memilih kain batik khas Bali.
Kostum itu kami peroleh dari tempat persewaan baju adat dekat rumah Meta. Sebelumnya aku sempat berselisih dengan Mika soal warna kain yang bagus untuk Mika.
“Ya ampun bagus kuning Met bawahannya, nih keliatan seger,” ujarku.
“Enggah ih norak itu, bagusan biru tahu,” kata Meta ngeyel.
“Jangan ah, biru itu warna yang udah terlalu sering dan umum,” kataku ngeyel.
“Ih siapa bilang,” balas Meta.
Di tengah-tengah perdebatan itu, Mika menemukan kain warna maroon yang sangat cantik. Aku dan Meta langsung satu selera saat melihatnya.
“Wah kamu nemu ini di mana tadi,” kataku.
“Ini tadi di bagian lemari bawah,” ujar Mika.
“Oke berarti kita sepakat pakai yang ini saja kan,” susul Meta.
Berbeda dengan kami yang riweuh memilih warna, Bobby dan Sean sangat cepat menentukan kostum mereka.
Sean mengenakan baju berkerah berwarna putih serta sarung motif khas Bali. Tak lupa Sean juga mengenakan udeng, penutup kepala yang sering dikenakan cowok Bali.
Kami sengaja menyamakan warna baju Mika dan Sean agar serasi.
Aku dan Meta membuatkan sanggul sederhana untuk rambut Mika. Kami menyelipkan sedikit accesories berbentuk bunga di rambutnya.
Tak lupa, kami juga sudah menyiapkan accecories lainnya seperti giwang dan gelang agar Mika makin terlihat cantik.
Keterampilan tersebu kami peroleh setelah sebelumnya browsing internet dan melihat tutorial di Youtube. Demikian pula soal tata rias yang sederhana untuk Mika.
Sebenarnya, Meta lah yang lebih banyak andil besar dalam mendadani Mika. Aku rasa Meta memang berbakat dalam dunia kecantikan.
Rupanya, acara mendandani Mika tidak terlalu lama. Tersisa setengah jam sebelum perlombaan dimulai.
Aku berinisiatif untuk mengunjungi kelasku yang tengah memasak tumpeng. Aku penasaran bagaimana anak-anak di kelasku mengerjakannya.
"Yuk Meta ke kelas bentar liat anak-anak yang lagi masak, 10 menit saja," ajakku pada Meta.
"Jangan lama-lama ya kalian," ujar Mika.
"Janji enggak lama kok," ucapku.
Ku lihat, 15 anak di dalam kelasku termasuk Sarah sedang sibuk memasak. Mereka membagi tugas masing-masing agar pekerjaan lebih cepat.
Ada yang bagian menanak nasi, ada yang memasak telur, ada yang memasak kering tempe, ada pula yang mempersiapkan hiasan tumpeng.
Lantaran keterbatasan waktu, teman-temanku ini tidak banyak memasak varian lauk di dalam tumpeng. Hanya ada telur suwir, kering tempe, perkedel, dan mie goreng.
Walaupun begitu, aku cukup ngiler melihat beberapa makanan yang sudah matang. Maklum, dari pagi aku hanya sempat sarapan sedikit demi menyiapkan lomba peragaan busana.
Sementara itu, sepuluh anak lain yang tersisa berkesempatan untuk menonton perlombaan model sebelum nanti mereka harus bersih-bersih.
Pukul 9.00 tepat, lomba peragaan busana adat dimulai. Semua kelas menampilkan wakilnya masing-masing.
Ada yang memakai baju adat khas Sunda, baju adat khas Aceh, ada pula yang menampilkan baju adat khas Papua, dan masih banyak lainnya.
Peragaan baju adat khas Jawa yang paling mendominasi perlombaan tersebut.
Sementara itu, Mika adalah sosok yang paling cantik, setidaknya itu menurutku. Gadis dengan leher jenjang terlihat, terlihat sangat pas dan anggun mengenakan baju adat Bali yang kami pilih.
Sean dan terutama Mika terlihat percaya diri berlenggak lenggok di atas panggung hingga makin membuatnya tampak sempurna.
Mika tersenyum manis ke arah penonton dan sesekali melambaikan tangannya lembut.
Tanpa aku sadari, aku terkadang ingin menjadi sepertinya. Rasa kagum itu kemudian membuatku iri benar-benar iri pada Mika.
Apalagi, Bobby laki-laki yang aku sukai kini tengah menatap Mika seperti seseorang melihat bidadari.
"Andai kalau aku yang cantik, mungkin aku yang disuruh lomba, mungkin aku yang memakai baju itu, mungkin aku yang Bobby tatap sekarang, mungkin dan mungkin," kataku.
Melihat Bobby yang terus memandang Mika membuatku ingin segera mengalihkan perhatian laki-laki itu padaku. Sepanjang ingatanku, baru kali ini aku melakukan suatu aksi dari rasa kecemburuanku. Selama ini, aku hanya terus memendamnya.
Ku beranikan diriku mendekati Bobby, duduk di kursi kosong sebelahnya. Sebelum itu, sempat kupinjam kaca dan sisir dari Meta. Kuurai rambutku yang bergelombang. Rasanya sudah lama sekali aku tidak membuka kunciran rambutku.
"Hai Bob," ujarku.
"Eh Rin," sapanya tanpa menoleh.
Dia tampak terbius dengan kecantikan Mika yang kini berlenggak-lenggok di atas panggung.
"Bob," ulangku.
Sekian menit tanpa tanggapan berarti darinya, aku lantas mengucapkan sesuatu yang benar-benar ingin kusampaikan padanya.
"Come back to me Bob," ucapku keras tepat saat penonton memberikan tepuk tangannya pada Mika dan Sean.
"Kurasa Bobby tidak bisa mendengarku," batinku menyadari Bobby belum juga menoleh padaku.
Semua orang tampaknya memang tidak bisa mendengarkanku. Invisible moment.
Setelah memamerkan kostum mereka, Mika dan Sean diberi sedikit pertanyaan-pertanyaan oleh pembawa acara.
"Hah? Tadi ngomong apa aku enggak denger," ujar Bobby padaku
Ternyata dia sempat sadar aku mengucapkan sesuatu.
"Eh enggak, enggak ngomong apa-apa," balasku langsung tidak mood.
"Kamu suka sama Mika serius ya Bob," tanyaku kemudian masih berusaha tersenyum.
"Dia cantik ya Bob," tanyaku retoris.
"Pasti," kata Bobby sambil tertawa.
Tawa itu rupanya masih bukan untukku, melainkan untuk Mika dan Sean yang sedang seru mengobrol dengan pembawa acara.
"Kamu menyukai Mika Bob?," tanyaku lagi mencoba mendapat perhatiannya.
"Siapa sih yang enggak suka Mika, udah nanti aja ngobrolnya Rin, lihat ini dulu," protes Bobby tanpa menoleh padaku.
Detik itu aku merasa malu dengan tingkahku, aku benar-benar memang sudah diabaikannya. Aku merasa Bobby sudah jatuh cinta pada Mika melebihi perasaannya dahulu padaku.
Aku sudah tidak bisa fokus dengan acara peragaan busana itu. Sekeras tenaga kutahan air mata yang sudah meleleh siap keluar dari persembunyiannya.
Lantaran aku tak mau dicurigai orang-orang di sekitarku, aku langsung memilih untuk pergi.
"Eh mau ke mana Erin," seru Meta.
"Bentar ke kamar mandi," balasku sambil menundukkan kepala.
Bukannya ke kamar mandi, aku memilih tempat parkiran yang sepi untuk menenangkan diri. Di sana aku menangis tanpa ada seorang pun melihat.
Aku cemburu melihat bagaimana Bobby menatap Mika seakan-akan dia adalah sosok yang sempurna.Meski aku juga tak bisa menyangkal bahwa sahabatku itu memang sosok yang sempurna.
Rasanya seperti tidak ada kekurangan dalam diri Mika. Kejahatanku sebagai sahabat muncul tatkala aku kemudian justru mencari-cari kelemahan Mika.
Saat memikirkannya, bayangan tentang Mika yang tak pernah mau makan terlintas di benakku. Aku pun penasaran apa yang akan terjadi jika Mika makan.
Sekitar 30 menit aku hanya duduk termenung di parkiran.
Sementara itu, setelah aku merasa tenang, aku kembali ke acara. Rupanya aku cukup lama berada di parkiran sekolah hingga acara sudah selesai.
Kulihat banyak anak dari kelasku mengerubungi Mika.
"Hei kamu dari mana aja sih? Tadi dicariin Mika," ujar Meta mengagetkan aku.
"Ah sorry tadi aku agak enggak enak badan, agak minggir bentar biar ga pusing," kataku.
"Tapi kamu gapapa kan?," ungkap Meta sambil menyentuh dahiku.
"Gapapa kok, udah baikan," balasku.
"Mika juara satu tuh lumayan kan dapat uang 500 ribu buat jajan anak sekelas," jelas Meta senang.
"Oh iya kah," kataku tak semangat.
"Ya udah yuk samperin," ajak Meta sambil menarik tanganku mendekat ke Mika.
Mika yang dikerubungi banyak orang kini berusaha keluar dari keramaian untuk mendekatiku dan Meta. Susah payah ia berjalan menyincing kain bawahannya dengan menggenggam buket bunga besar tanda kemenangan lomba.
"Heh Erin kamu dari mana saja, dari tadi aku nyariin kamu," ujar Mika.
"Ini kan kostum sama make up kalian yang usaha, berarti kalian yang juara," ucap Mika sambil menyerahkan buket itu padaku dan menyelempangkan selempang juara pada Meta.
“Eh, eh ini gimana sih,” ujar Meta protes.
Aku memilih diam.
Setelah sesi foto dengan beberapa anak, kami memutuskan untuk melihat perlombaan memasak.
Semua kelas sudah menyiapkan dan memamerkan tumpeng buatan mereka di halaman sekolah. Walaupun aku tidak terlalu minat menyaksikan, namun tumpeng buatan anak-anak itu tak bisa dibilang tak menarik.
Mereka menghias dan menata tumpeng mereka masing-masing sedemikian rupa. Tumpeng-tumpeng itu menarik tapi belum sampai membuat moodku kembali ceria.
Di saat sesi penilaian, kepala sekolah dan beberapa guru yang mencicipi tumpeng buatan kelasku mengatakan rasanya enak dan gurih. Bentuk tumpeng sangat rapi dan tampilannya juga menarik.
Tak heran, tumpeng buatan kelasku menjadi juara dua. Hanya kalah dari buatan tumpeng anak kelas III IPS 1 yang menggunakan lauk yang lebih bervariatif.
Setelah acara perlombaan selesai, tumpeng itu dikembalikan ke kelas masing-masing. Dengan semangatnya anak-anak menggotongnya kembali ke kelas.
"Yuk makan dulu yuk makan dulu," ujar Yus.
"Bersihin nanti aja ya, kita makan dulu aja bareng-bareng," tambah Dedi yang bertugas menjadi 'anggota pembersih'.
Kemudian terlintas kembali di benakku untuk melihat apakah Mika akan makan di acara ini. Aku benar-benar penasaran apa yang sebenarnya terjadi jika Mika melahap makanan.
Aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa Mika pasti akan menolak seperti biasa.
"Eh kan Mika menang wakilin kelas kita, Mika dulu nih yang harusnya dapat jatah makan," ujarku sesampainya di kelas.
Anak-anak kemudian merasa setuju dengan usulanku.
“Benar banget,” ucap Fatia.
“Ide bagus,” susul Anton.
Mika kemudian aku tarik ke tengah kelas mendekati tumpeng yang diletakkan di meja tengah.
Aku cukup kencang menarik tanggan Mika hingga ia susah untuk menolaknya. Apalagi saat ini Mika masih menggunakan jarik dan kebaya yang membuat dia agak kesusahan untuk kabur.
Jangankan kabur, berjalan saja masih ribet.
"Enggak-enggak, aku belum lapar," kata Mika segera.
"Ih belum lapar bagaimana? Dari tadi pagi sibuk siap-siap lomba sampai belum makan," ujarku.
"Benar, kamu udah usaha keras loh" ucap Meta.
"Apa kamu enggak doyan tumpeng ya Mik," ucapku sarkas.
"Ini anak-anak kelas kita loh yang masak enggak dimakan.Ini kamu jadi ratu sehari loh udah buat kelas kita bangga," kataku lagi.
Kata-kataku tersebut mendapat banyak dukungan oleh anak-anak di kelas. Saat itu rasanya aku benar-benar ingin melihat Mika makan nasi tumpeng itu.
"Makan yang banyak Mik," seru Dedi.
"Kayaknya enggak pernah liat lo makan," tambah Sarah.
Aku pikir bukan aku saja yang berpikir demikian. Ternyata anak-anak lain, termasuk Sarah sedikit tahu tentang kebiasaan Mika tersebut.
Meski begitu, Mika justru terlihat masih ragu untuk menyicipi nasi tumpeng itu. Ia masih berdiam diri di depan tanpa sedikitpun menyentuhnya.
"Sorry guys aku enggak bisa," ujar Mika.
Berbeda dengan anak-anak lain, Bobby memilih untuk membela Mika.
"Udahlah kalau enggak mau, Sean atau yang masak duluan aja yang makan," kata Bobby.
"Alah kita mah udah sempet ngrasain dan makan dikit tadi hehe," kata Dodit yang termasuk dalam tim 'lomba masak'.
“Iya santai aja kita mah, tadi dah nyicipin duluan,” kata Sarah.
Aku kembali mendesak Mika untuk makan. Aku bahkan sudah terlanjur mengambilkan agak banyak nasi tumpeng ke atas piring.
"Aku suapin ya," sambil langsung mengarahkan satu sendok penuh nasi menuju mulut Mika.
Dari raut muka Mika, ia terlihat cukup gugup. Anak-anak justru bersorak 'yuk Mika yuk Mika'.
Lalu, raut muka Mika yang awalnya gugup kini berubah menjadi merah padam. Ia menatap tajam mataku.
Mika merebut sendok dan piring yang aku pegang. Dimasukkannya nasi itu ke dalam mulutnya. Belum semuanya masuk ke dalam kerongkongan, Mika sudah menyendok lagi nasi di piring ke dalam mulut.
Mika lakukan itu dengan gerak tergesa-gesa. Ia tidak berusaha mengunyahnya dahulu dan langsung ingin menelannya begitu saja.
Anak-anak termasuk aku kaget dengan perubahan sikap Mika yang tiba-tiba. Beberapa detik kemudian, Mika terlihat ingin muntah.
"Hueek," ungkap Mika sambil menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Praaang," dijatuhkannya begitu saja piring dan sendok hingga pecah.
Lalu, Mika bergegas mencari tempat sampah di sudut kelas untuk memuntahkan makanan yang baru saja dilahapnya. Mika juga terlihat mulai mengeluarkan air matanya.
“Huek-huek,” Mika memuntahkan semua makanan dalam mulutnya.
Keadaan kelas yang awalnya ramai dan ceria kini berubah sunyi dan takut. Mereka takut dengan Mika yang muntah sekaligus menangis di depan kami.
Barulah, Meta langsung mendekati Mika dan mencoba membantunya dengan memberinya tissue. Namun, Mika justru melambaikan tangannya dengan kasar agar Meta menjauh.
Meta pun menurut mundur beberapa langkah darinya.
Seisi ruangan termasuk aku masih terpaku dengan apa yang terjadi. Kami semua bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah selesai dengan muntahnya, Mika langsung membersihkan mulut dan air mata di pipinya dengan tangannya yang kotor.
Susah payah, Mika menarik jarik bawahannya sedikit ke atas agar ia lebih bebas berjalan. Diambilnya barang bawaannya dan pergi dari kelas begitu saja.
Kemudian, Bobby langsung ikut keluar untuk menyusul Mika. Meta yang melihat Bobby keluar ikut tergugah kembali bertekad membantu Mika.
Setelah itu beberapa anak yang masih tinggal di kelas langsung membicarakan momen yang terjadi barusan. Ada yang langsung menuju pintu melihat ke mana Mika pergi, ada pula yang mencoba mencairkan suasana.
“Sudah-sudah guys kita makan sendiri aja tumpengnya, enak ini,” kata Dodit.
“Eh-eh dibagi awas aja ada yang serakah,” timpal Fatia.
Sedangkan, aku masih bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak menyangka tindakanku pada Mika berakibat sampai sejauh ini.