"Aku hanya tidak mau menyerah, aku malu pada orang tuaku yang melakukan apapun demi aku," ujar Mika padaku usai menjadi jawara kelas pada semester I.
Mika menjadi juara kelas setelah berhasil menggeserku di posisi kedua. Meski tergeser, aku pun masih kagum dengannya.
Mika yang awalnya dulu tak mau masuk dalam kelas Bahasa, kini justru menjadi jawara kelas. Sahabatku yang suka sekali menyelipkan rambutnya ke telinga ini, kukenal sebagai sosok yang sangat patuh dengan orang tua.
Dia menjadikan orang tua sebagai motivasi terbesarnya. Bicara soal orang tuaku, Ayah dan Mam tidak marah karena aku tergeser dari posisi pertama. Meski demikian, mereka bertanya-tanya mengapa aku tak bisa mempertahankannya.
"Maafkan aku, aku janji semester depan aku akan lebih baik," ujarku bingung harus berkata bagaimana lagi pada Mama.
"Its okay belum tergeser jauh, cuma permintaan Mama di semester berikutnya, lebih fokus saja ya sama sekolah,” nasihatnya.
***
Semester baru telah dimulai, aku kembali masuk ke sekolah seperti biasa. Dua minggu libur, aku gunakan untuk mengunjungi rumah Nenek di pesisir pantai,
Aku cukup beruntung memiliki Nenek yang tinggal di daerah pantai, sehingga aku bisa berlibur gratis di sana. Walaupun aku sedikit kesal lantaran aku tetep harus menjaga dua adik kembarku, Eren dan Eran.
Eren dan Eran yang kini duduk di bangku kelas 5 SD itu sering mengusiliku. Jikapun tidak, mereka sering bertingkah neko-neko hingga dapat mengancam keselamatan mereka.
Misalnya saja saat di hari ketiga di rumah Nenek, Eren dan Eran bermain layang-layang di pantai pada suatu sore. Hingga maghrib mereka tak kunjung pulang.
Aku dan nenek yang sudah cukup berusia lanjut lantas sempat meminta tolong warga untuk mencari mereka berdua. Hilangnya mereka dua sempat membuat geger desa nenek tinggal.
Sampai pukul 8 malam mereka tak kunjung ditemukan hingga membuatku menangis panik, bagaimana aku akan menjelaskan pada orangtuaku.
Tepat 15 menit kemudian, seorang warga melaporkan Eren dan Eran ternyata sempat ikut nelayan setempat untuk menjaring ikan.
Aku yang panik, lega, dan Bahagia tak bisa berhenti memeluk sekaligus memaki, mengocehi mereka berdua.
Aku sebenarnya cukup senang dengan dua adikku yang berjiwa petualang itu. Di saat anak seusia mereka suka bermain gawai, mereka justru memilih melakukan permainan di dunia nyata.
Selain itu mereka juga suka melakukan hal baru. Meski masih berusia sekitar 11 tahun, mereka suka bergaul dengan orang-orang dewasa untuk mempelajari apa yang tengah mereka kerjakan, ya salah satunya mencari ikan di laut.
Walaupun awal-awalnya aku cukup kesal dengan tingkah mereka, lama-lama aku cukup menikmati bahkan ikut bergabung dengan kegiatan mereka.
Kegiatanku di rumah Nenek bersama Eren dan Eran membantuku melupakan kekecewaanku tidak menjadi juara kelas, sekaligus membantu sedikit melupakan Bobby.
Awalnya aku mengira keberadaanku di pantai bersama Eren dan Eran akan membuat pikiran tentang Bobby menguap begitu saja. Namun aku salah, beberapa kali aku merasa ingin cepat segera sekolah agar bisa melihat cowok tengil itu.
Aku sebenarnya berusaha keras untuk melupakannya, mengingat dia sepertinya juga sudah melupakanku.
Dua minggu liburan berlangsung, aku rasanya tidak bisa untuk tidak menunggu chat dari Bobby. Meskipun pada akhirnya, Bobby tidak sekalipun mengirimiku chat.
Aku pun juga ogah atau lebih tepatnya takut untuk mengirimi pesan padanya duluan.
Beberapa kali aku sudah mengetik, "hai, apa kabar Bobby," tetapi setiap mau mengirimnya aku benar-benar malu hingga mengurungkannya.
"Kita tidak pacaran, tidak ada kewajiban untuk saling bertukar kabar," berkata pada diriku sendiri.
***
Kembali masuk sekolah, tidak ada yang berubah dari sebelumnya. Hanya saja Sarah dari hari demi hari mulai tak sejutek seperti sebelumnya. Setidaknya, dia kembali mau menyapaku saat tak sengaja berpapasan.
"Mungkin sekarang dia tahu, aku bukan saingan utamanya," batinku.
Mungkinkah, kini Sarah akan marah dengan Mika? Aku tak tahu dan tidak mencoba untuk mencari tahu. Namun, Mika sendiri mengatakan dirinya sendiri tidak peduli jika ada orang yang menjauhinya hanya karena dirinya menjadi juara kelas. Apalagi jika orang itu Sarah.
Semenjak hubunganku dengan Sarah renggang, Mika juga memilih untuk selalu bersamaku. Menurutnya, geng Sarah penuh dengan kepalsuan.
"Geng ghibah, kalau tidak ada A si A dighibahin, kalau tidak ada si B, si B dighibahin, sekalian saja enggak usah deket, dighibahin sekalian saja aku tidak peduli," jelas Mika kala itu.
"Namanya temen, kalau ada yang dirasa kurang harusnya ngomong di depannya, jangan beraninya di belakang," tegas Mika.
"Tapi ngomongnya baik-baik kan ya tetep," ujarku menambahkan.
Lalu, entah kenapa kami justru tertawa keras bersama. Aku dan Mika sendiri baru sadar, kita baru saja menghibahi mereka.
Akibatnya, sejak saat itu aku dan Mika sepakat untuk tidak membahas geng Sarah dan benar-benar mengabaikannya.
Omong-omong soal Bobby, sikapnya masih juga datar-datar saja selama beberapa hari awal pada semester dua ini.
Kini, ia seperti menganggapku teman satu kelas pada umumnya. Sepertinya Bobby sudah lupa akan hal-hal manis yang dilakukannya padaku.
Bobby kini malah lebih dekat dengan Mika. Semenjak pelajaran Matematika Bu Lastri beberapa minggu yang lalu, keduanya menjadi akrab.
Awalnya, aku merasa aku tak perlu merasa khawatir.Pasalnya Bobby biasanya datang hanya untuk bertanya soal Matematika.
Ya dugaanku awal memang salah. Intensitas komunikasi Bobby dengan Mika menjadi lebih sering, tidak sebatas Matematika.
Aku merasa kurang nyaman ketika mereka bercanda bersama. Apalagi, Bobby hampir tidak menganggapku ada meski aku tidak jauh di dekat mereka.
Mika sendiri sempat mengira aku risih dengan Bobby karena dulu pernah mengejar-ngejarku. Sehingga, Mika tidak pernah mengajakku nimbrung bareng obrolan mereka.
Pada suatu siang setelah pelajaran Bu Lastri, Bobby mendatangi meja Mika seperti biasa. Kini, ia justru bertanya pelajaran Bahasa Inggris.
"Kenapa tidak tanya padaku," batinku.
Aku lantas mencoba untuk memilih untuk berkutat pada bukuku. Aku berusaha semampuku tidak peduli dengan mereka berdua.
Sempat ku curi dengar, rupanya mereka juga biasa saling berkirim Whatsapp. Oh my God, Bobby bahkan tidak pernah mengirimiku pesan sekarang.
"Gimana ya Mik cara ngapalin verb gitu biar lebih gampang," tanya Bobby pada Mika.
"Di LKS daftar kosa kata verb cuma ini-ini aja," lanjutnya.
"Oh iya itu ada di google banyak, kemarin aku sempat mengumpulkannya terus aku print."
"Tapi sayang hari ini aku enggak bawa, kalau bawa bisa kamu copy," jelas Mika.
"Oh gitu ya Mik, makasih ya.. nanti aku whatsapp kamu ya biar enggak lupa," lanjut Bobby.
"Tapi chatnya jangan malam-malam kayak kemarin ya, aku jadi kebangun kan," ujar Mika.
"Haha maaf-maaf, ya masak baru jam setengah 9 udah tidur," protes Bobby.
"Aku tuh kalau tidur mulai jam 8," balas Mika.
"Kayak anak TK besoknya sekolah," goda Bobby disusul tawa Mika.
Mendengar mereka, dadaku rasanya panas. Selain itu rasanya pengen muntah saja. Mual mendengar kata-kata Bobby yang aku Yakini sebagai modus.
"Kenapa sih enggak cari aja di google sendiri, manja, alah paling modus," dengusku.
"Modus? Apa Bobby memang menyukai Mika dan mencari-cari cara agar dekat dengan sahabatku itu," batinku lagi.
Aku makin kesal suara tawa mereka berdua makin kencang. Entah apa yang mereka obrolkan selain masalah pelajaran.
Kemudian, aku berinisiatif mengambil handphoneku. Kubuka kunci ponsel lalu kubuka spotify. Tak lupa kuambil headset di dalam tas dan kutancapkan bend aitu ke lubang ponsel.
Aku tak peduli di dalam kelas tak boleh memainkan ponsel. Toh, gurunya sedang tidak ada di dalam kelas. Aku putar lagu secara random saja di playlist spotifyku.
"I'm so sick of myself
I'd rather be, rather be
Anyone, anyone else
But jealousy, jealousy
Started followin' me (he-he-he, he-he)
Started followin' me (he-he-he, he-he)," bagian reff dari lagu “Jealousy” milik Olivia Rodrigo mengalun keras memenuhi ruangan kelas.
Dengan pedenya aku ikut menyanyikan lagu milik artis asal Amerika Serikat itu. Aku sendiri masih tidak terlalu fokus hingga baru sadar aku memutar lagu tentang kecemburuan.
"Hah, kok lagu ini sih, jangan ini dulu skip," batinku.
Saat aku hendak menggantinya, teman-teman sekelasku tengah memandangku aneh. Bahkan, ada yang menahan ketawanya.
Setelah kusadari lagi, headsetku belum benar-benar menancap di ponsel. Akibatnya, seisi kelas bisa mendengar musik yang aku putar.
Parahnya lagi, mereka berarti juga mendengarku teriak-teriak bernyanyi “Jealousy” dengan suara sumbang.
Kemudian, anak satu kelas tertawa terbahak-bahak karena tingkahku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka atas tingkahku yang benar-benar konyol.
Segera kumatikan lagu itu dengan gerakan yang terburu-buru.
"Wah konser di kelas ya?," seru Yus.
"Lagi dong," tambah Anton.
Saat itu rasanya benar-benar ingin menghilang begitu saja dari bumi. Aku malu hingga mukaku rasanya panas.
"Duh maaf ya Rin, aku tadi gak ikut negur kamu, soalnya lucu banget kamu," ujar Mika.
"Udah aku mau senggol tapi tadi dicegah Bobby, katanya biar aja, lucu soalnya," tambahnya.
Lalu kulihat Bobby tertawa ke arahku. Melihat Bobby tertawa dengan santainya, rasanya ingin kucekik orang itu.
Aku memutar lagu keras-keras gara-gara dia dan dia kini malah menertawaiku. Belum selesai rasa kesalku, Bobby kemudian mengajak Mika keluar untuk jajan.
"Yuk Mik mumpung Bu Intan belum datang, jajan dulu bentar," ujar Bobby pada Mika.
"Tapi nanti aku cuma minum ya aku enggak laper," kata Mika seperti biasa.
Aku sendiri baru menyadari bahwa Mika jarang sekali makan. Selama berteman akrab dengannya, ia selalu hanya membeli minum.
Paling kenceng, Mika hanya membeli jajanan ringan sesekali. Itupun bisa dihitung dengan jari semenjak aku mengenalnya.
Pernah aku mencoba untuk mentraktirnya, ia selalu bilang sudah kenyang.
"Sudah sarapan dari rumah," katanya.
"Duh apa enggak lapar ya sekolah sampe siang ga makan gitu," batinku.
Saat sibuk memikirkan itu, Mika langsung mengagetkanku.
"Heh, ngelamun, ayo ke kantin, cari minum," ajak Mika
"Enggak, kalian aja aku ga mood keluar," tolakku.
Aku memilih untuk merapikan kembali headsetku dan kumasukkannya beserta ponsel ke dalam tas.
Aku yang agak cemburu, mungkin sangat cemburu lantas menunduk di atas meja dan mencoba untuk memejamkan mataku sejenak.
"Entah mengapa rasanya sakit sekali," batinku.
Saat aku banyak melamun banyak hal, pikiran tentang tak sekalipun aku pernah melihat Mika makan kembali berputar di kepalaku.