"Kita harus sadar bahwa kita bukan pusat dunia, bisa menuntut semua orang melakukan apa yang kita inginkan," sindir Mamahku saat aku dan keluargaku sarapan.
Sepertinya kalimat itu ditujukan untuk Ayahku yang terkadang membuat Mamah jengkel terutama di pagi hari. Ayah sering kali lupa menaruh barang atau dokumen apapun yang akan dibawanya ke kantor.
Tentunya Mamah adalah orang yang paling direpotkan untuk mencari barang yang dimaksud. Hebatnya Mama selalu berhasil menemukan apa saja yang tengah dicari ayah.
Kemungkinan pagi ini Mamah sedang sangat repot dan lelah. Sehingga, Ia kewalahan dalam mengurus kami dan masih mencari barang ayah.
Apalagi nanti malam, rumah kami akan dijadikan tempat arisan Ibu-ibu di lingkungan RT.
Aku hampir tak pernah melihat Ayah dan Mamahku saling bertengkar. Hanya sesekali mereka saling menyindir atau tak banyak bicara saat 'perang dingin' berlangsung.
Berbanding terbalik dengan Mamaku, hari ini aku merasa senang. Aku tak sabar untuk ke sekolah dan bertemu Bobby lagi.
Aku datang cukup pagi ke sekolah. Aku bahkan berangkat paling di kelasku pagi itu.
Diam-diam aku menunggu kedatangan Bobby, aku tak sabar untuk kembali bercengkrama dengannya seperti sebelumnya.
"Yah itu dia," batinku saat dia melewati pintu kelas.
Kulempar senyum termanisku dan kusapa Bobby dengan keceriaan dibuat-buat.
“Hai Bob,” seruku
"Hei," ujar Bobby menoleh sebentar kemeudian langsung menuju bangkunya.
“Oh okey,” bingung untuk bereaksi lebih jauh.
Akupun juga tak akan berani untuk mendekati bangkunya di belakang yang dikelilingi oleh gerombolan anak laki-laki.
Tak jauh berbeda dengan sikap Bobby dipagi hari, ia sepertinya cuek denganku. Jika biasanya Bobby menggangguku atau sekedar menyapaku, kini ia bersikap sama saat aku belum terlalu mengenalnya.
Ia bahkan seperti pura-pura tidak melihatku saat kami berpapasan di kantin Mbok Sar.
"Kring...kring," bunyi lonceng tanda istirahat berakhir.
Anak-anak masuk ke kelas kembali dan bersiap untuk pelajaran Matematika dari Bu Lastri.
Seperti biasa, saat pelajaran Bu Lastri berlangsung, anak-anak cowok yang dulu sempat berbuat gaduh harus duduk satu meja dengan anak-anak cewek.
Seperti biasa, aku kembali duduk dengan Sean. Jika biasanya Bobby duduk dengan Leila pada saat pelajaran Bu Lastri, kini ia duduk bersama dengan Mika.
Leila kebetulan hari ini sakit hingga Mika menempati bangku tersebut.
"Anak-anak kalian coba kerjakan 5 soal di lks halaman 23," suruh Bu Lastri.
"Kemarin sudah aku jelaskan kan? Coba latihan soal dulu, nanti aku panggil ke depan," tambahnya.
Aku lantas membuka LKS dan mulai mengerjakan latihan soal Trigonometri.
Aku sebenarnya tidak terlalu paham dengan pelajaran ini. Tanya dengan Sean di sampingku juga sama saja. Dia malah menunggu jawaban dariku.
Kemudian, perhatianku teralihkan pada Bobby yang kini semeja dengan Mika. Sejak dia marah dan mengungkapkan jatuh cinta padaku, aku malah terus memikirnya.
Ku lihat Bobby mengobrol akrab dengan Mika. Mereka serius membahas sesuatu di dalam buku catatan Mika.
Aku menduga, Mika sedang membantu Bobby mengerjakan LKS. Mika tampak fasih menjelaskan sedangkan Bobby mendengarkannya dengan serius.
Saat aku sibuk melihat mereka berdua, Sean yang berada di sampingku tiba-tiba saja mengagetkanku.
"Heh, enggak usah cemburu," kata Sean.
"Apaan woy," balasku.
"Alah kamu liatin Bobby kan. Nanti aku sampein ke doi," jawab Sean.
"Ssst diam," ujarku.
Kembali fokus ke Matematika, aku yang agak kesulitan dengan latihan soal ini lalu bertanya dengan Fatia yang duduk berada di belakangku.
Entah Fatia menjelaskan terlalu cepat atau akunya yang memang lola (loading lama) aku merasa hanya paham sedikit saja, sangat sedikit kurasa.
Sejujurnya, aku juga tidak bisa tidak melihat keakraban Bobby dan Mika. Baru hari ini mereka duduk semeja, namun sudah langsung akrab layaknya sudah kenal bertahun-tahun.
"Sejak kapan mereka jadi akrab begitu," dengusku.
Setengah jam kemudian, Bu Lastri lantas menyuruh murid yang mau mengerjakan latihan soal nomor 1 ke papan tulis.
"Saya Bu," ujar Sarah lalu maju ke depan.
Dengan cepat ia mengerjakankan soal itu di papan tulis. Meski aku saat ini sudah tak saling bicara dengan Sarah, aku sebenarnya kagum dengannya.
Dia merupakan sosok yang percaya diri. Berbeda denganku, aku sering kali merasa canggung tiap kali maju maupun berbicara di depan kelas.
"Iya bagus Sarah, benar sekali," puji Bu Lastri.
"Siapa lagi yang mau maju ke depan?," tawar Guru 40 tahunan itu.
Keadaan berubah sunyi, beberapa anak bahkan pura-pura mengalihkan dan menghindari pandangan dari Bu Lastri. Setelah beberapa menit, Bu Lastri mengancam akan memilih langsung siapa yang harus maju ke depan.
"Oke karena tidak ada yang maju ke depan, terpaksa aku yang akan memilih langsung," kata Bu Lastri.
"Mungkin dua anak sekalian ya biar mempersingkat waktu," lanjutnya
Aku cukup takut ditunjuk. Apalagi aku baru menyelesaikan tiga soal saja. Itupun aku tidak yakin benar atau salah.
"Ayo Erin dan Sean," seru Bu Lastri menunjukku dan Sean.
Awalnya aku ragu mau berdiri namun mau tak mau harus maju ke depan. Aku kebagian mengerjakan nomor dua dan Sean nomor tiga.
Benar saja, jawabanku dan Sean salah. Bu Lastri menyebut, cara mengerjakannya sebenarnya sudah benar dan sesuai tapi hasilnya agak meleset.
"Lumayan," batinku.
Saat hendak kembali ke kursi, Bu Lastri sempat melihat buku tulisku dan Sean. Ia merasa apa yang dikerjakan Sean plek-ketiplek dengan punyaku.
Bu Lastri curiga Sean mencontek punyaku walaupun itu memang benar. Lalu, Bu Lastri menanyai lebih detail pekerjaan Sean.
Tentunya, Sean tidak bisa menjawab apa-apa. Cowok bergigi putih bersih itu ya setidaknya itu yang aku lihat, kelimpungan dan hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya.
Begitu juga aku yang telah mencontekan jawabanku yang salah itu kepada Sean.
"Maaf Bu, soalnya aku kira ini cuma latihan jadi bisa mengerjakan bersama," ujarku
"Benar ini cuma latihan, tapi bukan berarti kamu contekin pekerjaanmu begitu aja ke teman, jawabanmu salah, dia juga salah," kata Bu Lastri padaku.
"Kamu juga, mbok ya ada usaha buat ngerti. Jangan cuma nyontek, kalau nggak bisa ngomong, diskusi," ujarnya pada Sean.
"Ya sudah balik ke kursi. Aku pokoknya enggak mau tahu, minggu depan tes semua harus bisa, yang nyontek pokoknya kelihatan," kata Bu Lastri pada semua anak.
Kemudian, aku dan Sean kembali ke kursi kami masing-masing. Aku cukup malu dengan kejadian ini, apalagi dilihat oleh Bobby.
Selam ini Bobby selalu mengira dan menganggapku pandai dalam semua pelajaran. Kenyataannya, aku lemah dalam pelajaran Matematika.
Lalu, Bu Lastri memilih Bobby maju ke depan. Bobby langsung menuliskan kerjaannya di papan tulis dengan lancar. Saat ditanya Bu Lastri, Bobby juga cukup bagus menjelaskannnya.
"Yap, betul bagus Bobby. Ya begini mengerjakan juga tahu caranya. Dapat A bagaimana, dapat B bagaimana," puji Bu Lastri.
Kemudian, Bobby dipersilakan duduk kembali. Ku lihat raut mukanya yang semringah dan bangga.
"Makasih ya Mik diajarin," ujar Bobby pada Mika.
Melihat momen itu rasanya membuatku benar-benar tidak nyaman. Aku sudah tahu dan hafal bahwa Mika memang jago dalam matematika.
Kali ini, aku merasa cukup iri padanya. Padahal sebelumnya, aku selalu merasa biasa saja.
"Hebat ya bisa matematika, enggak kayak aku. Mika memang tidak terlalu jago dalam pelajaran bahasa namun rasanya tidak seburuk aku dalam pelajaran Matematika," kataku dalam hati.
Sementara itu, tes semester satu akan dilaksanakan dalam seminggu lagi. Aku malah tidak benar-benar bisa 100 persen fokus dalam pelajaran.
Rasanya sangat berat untuk mempertahankan juara kelas. Aku menebak, bisa saja kali ini Mika atau Sarah yang menjadi rangking 1.
Meski mereka tidak terlalu pandai dalam pelajaran Bahasa, namun Mika dan Sarah terlihat berusaha keras untuk mendapat nilai yang bagus dalam semua pelajaran. Usaha keras mereka untuk bisa menguasai pelajaran bahasa juga mulai terlihat.
Mika dan Sarah mendapat nilai-nilai yang cukup bagus saat kelas Bahasa. Sedangkan, aku masih saja mendapat nilai buruk dalam Matematika.
Tidak bisa dibilang buruk sekali, tapi aku tidak jarang mendapat nilai minimal. Inilah beberapa alasan aku yakin posisiku jadi jawara kelas tergeser.
Keadaan makin parah ketika pikiranku tak bisa jauh dari Bobby, seperti air keran yang memenuhi ember tapi empunya ember tak kunjung sadar air sudah tumpah ke mana-mana.