"In the cookie of life, friends are the chocolate chips," begitulah caption postingan foto yang diunggah Venny baru saja.
Pada foto itu, terlihat Geng Sarah berfoto bersama di sebuah cafe ala-ala Instagramable. Sepertinya mereka sehabis sekolah langsung main ke cafe.
Terlihat dari penampilan mereka yang masih mengenakan seragam. Sarah dkk dengan cerianya berfoto memamerkan minuman masing-masing.
Sambil menunggu bus lewat, aku bermain-main handphone instagram. Kebetulan saat ini aku tidak menggunakan sepeda karena sepedaku rantainya putus tadi pagi. Akibatnya, aku naik bus untuk sampai ke sekolah.
Di dalam bus, aku masih juga berkutat membuka-buka Instagram. Setelah kembali ke halaman awal, kulihat Bobby baru saja mengunggah postingan story. Langsung saja aku buka karena kepo. Jarang-jarang Bobby mengupdate storynya.
Dalam story itu, Bobby mengunggah sebuah fotokopyan berisi list verb dalam bahasa Inggris.
"Thanks ya sudah membantu," tulis Bobby sambil menandai akun Mika, @mika_22.
Hatiku lagi-lagi terasa panas. Dulu saat aku dekat dengan Bobby, dia sama sekali tidak pernah membuat story atau postingan apapun mengenaiku.
"Sial," ujarku langsung menutup ponsel dan melemparnya ke dalam tas.
Mbak-mbak yang duduk di sampingku sedikit melirik tindakanku yang sedikit kasar itu. Aku yang sedikit malu memilih untuk meminta maaf padanya.
“Maaf kak, maklum masalah sekolah,” ujarku tanpa ditanya.
Setelah postingan itu, Bobby kini mulai terang-terangan mendekati Mika. Hampir persis seperti yang dilakukannya padaku beberapa waktu lalu.
Gilanya, Bobby sepertinya menyukai Mika karena lagi-lagi kagum dengan kepandaian cewek. Setidaknya itu dugaanku. Hal itu tentunya tak jauh berbeda dengan yang aku alami dulu.
Beberapa kali ku dengar, Bobby memuji kepandaian Mika. Seperti Dia memujaku dulu.
"Kok kamu bisa pintar gitu, Matematikamu bagus banget," ujar Bobby sehabis berdiskusi suatu latihan soal di LKS.
Mendengar Bobby berkata seperti itu, aku berpikir apa dia tidak merasa deja vu. Aku pun mendikte diriny, kalaupun menyukai wanita, setidaknya siapkan alasan yang lain
"Dasar buaya," pikirku.
Tak berhenti di sana, Bobby terkadang juga suka tengil teriak-teriak nama Mika saat jam istirahat. Sepertinya dia juga cuek bebek tatkala anak-anak menyorakinya.
Mika sendiri tidak merasa terganggu dengan kelakuan Bobby. Temanku satu ini malah ikut tertawa mengira apa yang dilakukan Bobby sekedar bercandaan.
“Haha, Bobby itu gila ya,” kata Mika polos.
“Hehe iya,” jawabku dengan senyum garing.
Sering kali aku tahan dengan momen-momen tersebut. Kadang, aku entah sadar atau tidak berusaha mengganggu momen mereka. Seperti yang terjadi saat jam-jam istirahat.
"Mika, aku lapar temenin aku yuk," ujarku pada Mika.
"Daripada gila ndengerin Bobby hehe," lanjutku.
"Ya udah yuk," katanya.
Kami kemudian langsung ke kantin Mbok Sar. Aku memesan satu mangkok bakso. Sedangkan, Mika seperti biasa hanya membeli minum.
Seperti biasanya, minum yang dipilih Mika pun selalu itu-itu saja, air mineral, es teh, atau es jeruk dengan sedikit gula. Melihatnya mengambil satu bungkus kecil kacang cukup membuatku heran.
"Tumben sih Mik ambil kacang, biasanya enggak," ujarku.
"Hehe, laper," katanya.
"Makan atuh kalau laper," suruhku.
"Enggak, aku lupa bawa uang lebih," kata Mika.
"Aku bayarin dulu besok kamu ganti, santai aja Mik," desakku.
"Eh enggak-enggak, aku enggak nafsu makan," ujarnya lagi terlihat panik.
Kebiasaan Mika itu sampai sekarang aku tak bisa memahaminya. Seperti memecahkan misteri lebih dulu ayam atau telur, ah ya berlebihan.
"Aku hanya memintanya makan bukan memintanya lepas baju. Kenapa dia agak panik gitu sih?."
"Katanya tadi lapar, kok malah enggak mau makan ya," ujarku membatin.
Aku merasa memang ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh Mika. Sempat kuduga dia tidak pernah makan karena mungkin uang sakunya terbatas. Tapi rasanya tidak mungkin mengingat Mika dikenal sebagai anak orang kaya.
Setiap hari, ia diantar jemput menggunakan mobil oleh sopir. Selain itu, aku juga sempat bertandang ke rumahnya beberapa minggu yang lalu.
Rumahnya berada dalam satu kawasan dengan rumah Bobby. Bahkan, rumah Mika lebih besar dan lebih mewah dari rumah Bobby.
Properti yang ada di dalam rumah Mika juga terlihat bukan barang murahan. Misalnya, banyak lukisan dari seniman terkenal menghiasi dinding-dinding rumahnya, lantai yang dilapisi marmer-marmer mahal, hingga adanya kolam renang besar di belakang rumahnya.
Mika sendiri dulu pernah bercerita, ayahnya seorang Dekan Fakultas Bahasa di suatu Universitas Negeri di kota kami. Sedangkan, ibunya adalah ibu rumah tangga.
Dulunya, Ibu Mika bekerja sebagai guru Fisika di suatu SMP Internasional dekat sekolah kami. Namun, ayahnya meminta sang ibu untuk fokus mengurus Mika dan kakak-kakaknya.
Sementara itu, kembali pada ketakutan Mika soal makan membuatku makin penasaran. Aku yang membawa ponsel ke kantin lansung berinisiatif untuk membuka google.
Aku mengetik 'mengapa orang sangat takut untuk makan'. Keluarlah sejumlah baris informasi di google mengenai anoreksia.
Dengan cara diam-diam dari penglihatan Mika tentunya, aku membaca artikel teratas. Aku buka pula beberapa artikel mengenai anoreksia dari website-website lain.
Kutarik kesimpulan anoreksia adalah penyakit di mana pengidapnya memiliki ketakutan berlebih akan penambahan berat badan.
Dugaanku sendiri, Mika seperti mengalami gejala anoreksia, Namun, aku tak berani untuk benar-benar menyebut Mika mengidap anoreksia. Toh aku bukan dokter.
Badannya memang kurus seperti ciri-ciri yang disebutkan dalam artikel yang aku baca. Meski begitu, Mika terlihat masih baik-baik saja. Ya terkadang saja saat siang, mukanya terlihat lemas dan pucat.
Apa yang dialami Mika ini benar-benar menarik perhatianku. Aku tak berani untuk menyinggungnya secara langsung pada Mika.
Setelah sekitar 20 menit di kantin, aku dan Mika kembali ke kelas.
Di kelas, Wali Kelasku Bu Endang memberi pengumuman bahwa seminggu lagi Hari Kartini. Sekolah akan mengadakan lomba peragaan busana adat dan lomba memasak antarkelas.
Setiap kelas harus mewakilkan dua murid, terdiri dari satu anak laki-laki dan satu perempuan untuk lomba peragaan busana.
Selain lomba peragaaan busana adat, setiap kelas juga diwajibkan ikut lomba memasak dengan hidangan utamanya tumpeng.
Bu Endang lantas menawari kami untuk mewakilkan kelas dalam lomba peragaan busana. Tentunya, tidak ada anak dalam kelas kami yang langsung bersedia menjadi wakil.
Akibatnya, Bu Endang meminta kami untuk memilih satu anak laki-laki dan satu anak perempuan untuk menjadi perwakilan kelas.
“Siapa yang mau jadi model cowok?,” ujar Bu Endang.
Setelah beberapa menit berlalu, kelas seperti biasa menjadi sunyi tatkala guru membutuhkan.
“Ayo siapa yang mau, hadiah uangnya lumayan loh,” rayu Bu Endang lagi.
Dua detik kemudian, barulah satu murid menawarkan diri. Orang itu adalah Sean. Mungkin hadiah uang itu yang benar-benar menarik minatnya.
“Saya siap bu,” ujar Sean.
"Cocok sih dia kalau harus jadi model, badannya sangat tinggi, dan memiliki wajah ala-ala artis blasteran yang sering muncul di tv," pikirku saat melihat Sean.
Lalu, sebagai perwakilan dari anak perempuan, dipilihlah Mika. Berbeda dengan Sean, anak perempuan benar-benar tidak ada yang berani maju untuk mewakilkan diri sekalipun diiming-imingi hadiah uang. Akibatnya, dipilihkan beberapa anak perempuan, hingga pilihannya berakhir di Mika.
Kurasa Mika sangat cocok untuk lomba ini. Mika juga memiliki badan yang cukup tinggi dengan tubuh sedikit lebih kurus, layaknya model-model pada umumnya.
Terkadang aku iri pada Mika, aku merasa dia adalah sosok yang sempurna, cantik, pandai, baik, serta dari keluarga baik-baik dan berkecukupan.
Selain Sean dan Mika, Bu Endang juga meminta dua cowok dan dua cewek untuk membantu mereka berdandan. Pasalnya, panitia tidak memperbolehkan peserta make up menggunakan MUA profesional.
Sean dan Mika pasti akan membutuhkan bantuan selama lomba berlangsung. Kemudian, aku mengajak Meta menjadi asisten Mika.
Sementara itu, Bobby juga menawarkan diri untuk menjadi asisten Sean. Aku tak terkejut mengingat Bobby adalah teman terdekat Sean di kelas ini. Meski begitu, anak-anak justru menggoda Bobby.
"Halah, niatnya biar deket sama Mika kan?," seru Yus.
"Oh iya mau dekat sama Mika atau sama Betty La Fea eh Erin maksudku," ujar Krisna membalas.
"Kalau bisa dua kenapa harus satu," ujar Anton.
Anak-anak lain kemudian tertawa mendengar candaan itu. Seperti biasa, Bobby malah cengar-cengir sama sekali tidak tersinggung dengan celotehan mereka.
Satu kelas memang sudah tahu bahwa Bobby sepertinya kini menyukai Mika dan sempat menyukaiku dahulu.
"Anak itu memang tidak punya malu untuk memperlihatkan rasa sukanya pada seseorang," pikirku kesal.
Sementara itu, mengenai perlombaan memasak tumpeng, Bu Endang menyarankan agar hanya 15 anak yang nantinya memasak. Pasalnya, Ia tidak ingin acara memasak kebanyakan orang hingga menjadi ribet.
Sepuluh anak tersisa ditugaskan untuk membawa segala peralatan dan perbelanjaan yang dibutuhkan untuk memasak tumpeng. Tentunya, perbelanjaan diambil dari uang kas kelas kami.
Tak hanya itu, 10 anak ini juga bertugas membantu membersihkan kelas sebelum dan sesudah perlombaan masak dimulai.
Setelah Bu Endang menjelaskan, Sean dan Bobby mengajak aku dan Mika untuk membahas kostum adat apa yang akan digunakan. Anak-anak lain membagi tugas siapa saja yang akan ikut memasak tumpeng.