"Tanpa kesedihan kebahagian itu tidak ada," kata Mamaku suatu sore. Mamaku dengan semangat memberikan petuahnya saat kami tengah melihat tayangan drama TV.
Aku dan Mama biasa menghabiskan sore hari dengan menonton tv sambil bercengkrama. Aku sebenarnya tidak suka menonton TV, hanya saja Mama selalu ingin ditemani.
Saat itu tokoh utama dalam drama tersebut diterpa masalah yang cukup pelik. Sepertinya Mamaku terlalu mendalami cerita itu hingga raut mukanya ikut bersedih.
Tingkah Mamaku itu justru membuatku ingin tertawa. Sudah kelima kalinya Ia memintaku mengambilkan tissue yang seharusnya dia bisa lakukan sendiri.
"Ah apa sih Mah, jangan serius-serius gitu sih ma," ujarku tertawa.
"Kamu ini, itu loh liat.. biar kamu enggak manja," serunya.
"Tapi kan itu cuma drama Mah," balasku.
Lalu Mamah makin gemas denganku hingga mencubit pahaku namun tidak sakit sama sekali. Aku makin tertawa.
"Ya sudah lah Mah, aku mau ke kamar dulu aja lah, mau belajar," kataku.
“Kamu sini aja belajarnya temeni Mamah,” rengeknya.
“Ya ampun Mah mana konsen,” ujarku.
“Yah benar, ya sudah sana,” kata Mama lalu berteriak memanggil adik kembarku, Eren dan Eran.
Aku biasa membaca buku yang akan dipelajari di sekolah keesokan harinya. Setidaknya sekitar 30 menit. Bukan waktu yang cukup banyak memang.
Berbeda dengan biasanya, kali ini aku tak hanya belajar. Aku berniat berlatih rol depan dan rol belakang di kasur untuk penilaian kelas olahraga besok.
Pada sesi latihan minggu sebelumnya, aku cukup buruk melakukan jenis gerakan senam lantai itu. Sehingga aku mau tak mau harus berlatih agar jangan sampai gagal.
Aku hanya tidak mau mendapat nilai jelek. Melainkan aku juga tak mau sampai malu karena salah gerakan.
Mmm, ya sejujurnya agar aku juga tidak akan malu di depan Sean. Hal ini lantas membuat ingatanku kembali pada minggu lalu.
Kala itu, aku dan teman-temanku berlatih untuk melakukan latihan rol depan dan belakang secara bergantian.
Tiba waktunya Yus untuk melakukan gerakan itu. Dia memiliki badan yang bisa dibilang gemuk.
Dengan tingkah lakunya yang tengil, ia bergurau bahwa olahraga ini gampang dilakukan.
"Ah gampang mah ini, tinggal muter aja ya kan guys," kata Yus kocak.
Sebelum melakukan gerakan rol, ia masih menyempatkan diri bergaya bak atlet olimpiade hingga membuat anak-anak tertawa, termasuk aku.
"Tong kosong berbunyi nyaring." menurutku peribahasa itulah yang cocok untuk menggambarkan keadaan Yus saat ini.
Cowok berkulit coklat sawo matang itu justru mendarat secara miring, hingga sebagian tubuhnya berada di atas pasir.
Matras memang sengaja dipasang di atas pasir demi keamanan anak-anak jika gagal melakukan rol.
"Kreek," tiba-tiba terdengar suara celana robek.
Rupanya celana Yus robek ketika dia mencoba untuk berdiri hingga membuat anak-anak terbahak-bahak. Para perempuan reflek mengalihkan pandangan lantaran celana Yus robek cukup lebar.
Yus langsung berusaha menutupi celananya dengan tangan. Meski terlihat jelas ia merasa malu, Yus justru masih berusaha untuk cengar-cengir di depan kami.
Saat aku tengah berusaha memendam tawaku, Sean tiba-tiba menghampiriku. Aku khawatir bunga-bunga itu kembali tumbuh di kepalaku.
Angin menyentuh rambut Sean hingga membuat wangi rambutnya tercium. Sebentar, apakah aku terobsesi itu hingga bisa mencium bau rambutnya.
"Erin, pinjem kunci kelas dong mau ambil celana Yus, kasihan," pinta Sean.
Kebetulan ketika jam olahraga, teman-teman sering mempercayakan kunci kelas padaku. Mereka dengan ngawurnya selalu menganggap celana cukup besar untuk menyimpan kunci.
"Temani aku yuk sekalian," lanjut Sean.
"Hah?," balasku kaget.
Sebenarnya mungkin biasa saja, cuma aku benar-benar merasa kaget jika yang mengajak itu adalah Sean.
Bunga-bunga di kepalaku kemudian tumbuh semakin besar dan warnanya semakin terang. Aku makin tidak fokus silau dengan ketampanan Sean.
"Yus jelas kan nggak bisa jalan sampe ke kelas dengan celana robek gede gitu."
"Yuk temani aku, siapa tahu kan kalau aku ambil celana sendiri nanti ada barang yang ilang, nanti aku yang disalahin lagi," jelasnya.
"Jadi kalo ada yang ilang, biar aku juga ikut disalahin?," jawabku bercanda.
Aku masih tidak menyangka aku mampu menjawab Sean bahkan dengan sedikit candaan.
"Hahaha, pokoknya buat saksi aja," ujar Sean.
Dengan gugup, eh sangat gugup akhirnya ku terima ajakannya untuk menemaninya masuk kelas. Aku paham Sean ingin ada orang yang menemaninya.
Maklum, beberapa hari lalu memang sempat ada pencurian di kelas sebelah saat jam olahraga. Sampai saat ini pun belum diketahui siapa pelakunya.
Aku hanya tak habis pikir mengapa Sean tak mengajak anak laki-laki lain, misalnya Bobby atau Anton.
Memikirkan itu, otakku justru makin tidak karuan. Bukan hanya aku yang kebingungan, kurasa anak-anak lain juga demikian.
Mereka sempat menggoda aku dan Sean yang tiba-tiba saja berjalan bersama. Begitulah ingatanku minggu lalu mengenai Sean.
Seandainya waktu bisa diputar berulang kali, aku ingin meminta Tuhan memutarnya sebanyak aku bisa mengingatnya.
***
Kemudian, sesi penilaian olahraga akhirnya tiba juga. Kelas II Bahasa A digabung dengan kelas II IPS B lantaran guru olahraga kami, Pak Trisno sibuk.
Semestinya kelas olahraga II IPS B dilakukan pada hari Kamis, namun karena di hari itu beliau ada acara mendesak, maka kelas tersebut digabung dengan kelasku di hari Rabu.
Sebelum penilaian rol depan dan rol belakang, kami diharuskan untuk berlari mengelilingi lapangan sekolah tiga kali untuk pemanasan.
Sejak pagi aku merasa cukup deg-deg an dengan ujian ini. Aku khawatir berlebihan tidak bisa melakukan rol depan maupun belakang.
Perasaan nervous itu makin besar ketika anak absen satu, Abdian ditunjuk untuk mulai duluan. Cowok big boy bagaimana kami menyebutnya cukup bagus dalam melakukan rol depan dan rol belakang di sesi latihan minggu lalu.
Aku lantas berinisiatif untuk mengamati tekhnik yang digunakannya. Ku lihat dia bersikap jongkok kemudian dua tangannya menumpu pada matras selebar bahu.
Kedua kakinya diluruskan, siku tangan ditekuk, kepala dilipat sampai dagu menyentuh dada. Beberapa detik kemudian dia sudah berguling ke depan.
Abdian melakukan hal itu dengan sempurna hingga mendapat tepukan anak-anak yang melihatnya.
"Mantap Abdian," seru Yus.
"Aku padamu," goda Beni anak kelas sebelah.
Selain rol depan, Abdian juga berhasil melakukan rol belakang dengan sempurna. Aku yakin ia akan mendapat nilai yang baik untuk ujian ini.
Setelah Abdian, anak-anak melakukan tes ini secara bergantian. Ada yang berhasil melakukannya dengan sempurna, ada pula yang gagal dalam ujian ini.
Sebenarnya lebih banyak yang gagal. Ada yang mendarat miring ke kanan setelah berguling, ada yang mendarat miring ke kiri, dan sebagainya.
Tentunya anak-anak yang gagal melakukan rol depan dan belakang ini menjadi bahan tertawaan anak-anak lainnya.
Ada pula murid-murid yang diam saja lantaran mungkin sama sepertiku, terlalu sibuk dengan diri sendiri, nervous dan takut gagal.
Kemudian, tiba giliranku untuk melakukan rol depan dan belakang. Semua mata lantas tertuju padaku ketika Pak Trisno memanggil namaku.
"Absen selanjutnya, Erin Kinanti," seru Pak Trisno.
Susah payah aku bersikap untuk tenang. Aku mencoba keras untuk fokus dan tak peduli orang-orang di sekitarku.
Sedikit kulihat Sean melihatku dengan cukup serius. Oh tidak, melihatnya saat ini adalah sebuah kesalahan.
Ku alihkan pandanganku pada matras hitam kotor bekas anak-anak sebelumku. Lalu kuingat-ingat lagi tekhnik yang dilakukan oleh Abdian tadi.
"Bismillah," ucapku lirih sambil bersikap jongkok.
Kemudian ku lakukan persis apa yang dilakukan Abdian. Tak lupa ku tarik napas panjang agar lebih relaks.
"Blar", begitu suara tubuhku mendarat di matras.
Wow, aku tidak percaya aku berhasil melakukan rol depan. Terdengar anak-anak menepukkan tangan untukku.
Keberhasilan itu lantas membuatku semangat dan benar-benar percaya diri. Ku lihat lagi Sean tersenyum padaku.
"Oke baik, sekarang lanjut rol belakang," kata Pak Trisno.
Aku langsung memasang sikap dan ku ingat lagi tekhnik Abdian melakukan rol belakang.
"Blar," lagi-lagi suara tubuhku mendarat di kasur.
Wow, aku juga sukses melakukan rol belakang. Kudengar lagi suara tepuk tangan anak-anak.
"Wuuuu, berhasil," seru Leila.
"Good job girl," tambah Meta.
Setelah selesai, Mika membantuku untuk berdiri. Namun tiba-tiba ku dengar lagi suara seorang berseru keras "Wah Betty La Fea hebat."
"Iya dong, Betty La Fea jago olahraga," ujar suara lain.
"Mirip kan," seru lainnya.
Seketika anak-anak laki-laki tertawa mendengar celotehan itu. Mereka lantas mengamati mukaku yang saat itu kurasa makin buruk karena keringat dan debu setelah berbaring di matras.
Lalu kulihat ada sejumlah anak laki-laki yang dulunya merupakan teman-temanku di kelas I. Mereka yang kini berada di kelas IPS itu memang suka membullyku.
Sebenarnya, sebelum ini aku sudah cukup khawatir jika aku bertemu lagi dengan mereka. Apalagi bertemu anak-anak iseng itu di depan teman-temanku yang sekarang.
Aku takut mereka akan membullyku hingga anak-anak di kelasku sekarang akan ikut-ikutan. Aku hanya merasa tidak nyaman dipanggil dengan nama seseorang yang memang bukan diriku.
Apalagi aku disamakan dengan sosok yang jelas-jelas kurasa tidak mirip denganku. Apa yang aku takutkan rupanya benar terjadi.
Benar saja, anak-anak di kelasku khususnya para cowok tertawa dan bahkan ada yang ikut memanggilku Betty La Fea. Namun, ada hal yang membuatku makin kecewa.
Sean yang dalam seminggu lalu membuatku merasa di langit, Sean yang dalam beberapa menit lalu tersenyum padaku hingga membuatku salah tingkah justru ikut membullyku.
Rasanya seketika saja aku benci melihat mukanya yang rupawan itu. Tak peduli jika ia setampan dewa-dewa Yunani.
"Udah ga usah dipikirin," ujar Mika di sampingku.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar saran Mika. Sungguh aku merasa malu menjadi bahan tertawaan mereka.
"Betty La Fea foto dulu dong," ujar Yus mendekatiku.
"Salaman dulu dong ketemu pemain sepak bola," susul Krisna sambil memberikan tangannya.
"Oalah pantasan dulu aku pernah dengar kamu dipanggil Roni-Roni sama temenmu dulu," kata Anton.
"Kirain aku salah dengar, Rin Ron mirip juga sih," lanjutnya.
Aku coba untuk mengabaikan pertanyaan Anton. Aku memilih mundur dari kerumunan dan mencoba mengabaikan mereka.
Di tengah kejengkelanku, aku semakin kecewa ketika Pak Trisno hanya diam saja ketika melihat perundungan itu terjadi.