"Manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi," bacaku lirih.
Pada minggu pagi yang cerah aku tengah memikirkan sepenggal kalimat dari buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia. Menurutku apa yang diungkapkan Pram cukup keren. Keren dalam sebatas pengetahuan kecilku mengenai dunia sastra.
"Ah benar juga kata Pram," lanjutku.
"Tapi bagaimana kalau tidak ada yang layak dijadikan sahabat? Apakah kesunyian lebih jauh menderitakan ," kritisku kemudian.
Kala itu aku baru pertama kali membaca buku milik Pram. Seorang penulis yang menjadi sosok penting dalam kesusastraan Indonesia.
Bu Intan, Guru Bahasa Indonesiaku pada minggu ini menyuruh anak-anak di kelas kami untuk membaca buku karya sastrawan-sastrawan besar.
Kata Bu Intan, beliau memberikan tugas itu agar kami mengenal sastra lewat tokoh-tokohnya.
Bumi Manusia itu kudapatkan saat aku berkunjung ke perpustakaan sekolah. Petugas perpustakaan lah yang merekomendasikanku untuk membaca buku dengan tokoh Minke tersebut.
Perempuan yang sering kali mengunyah permet karet di dalam perpustakaan yang seharusnya tidak dilakukan itu memberikan buku itu dengan semangatnya.
Di pertemuan dua minggu selanjutnya, Bu Intan menyuruh kami mempresentasikan apa yang kami pahami dari buku-buku sastra yang telah kami baca.
Beliau tak menuntut kami untuk mendapat hasil yang sempurna dalam tugas ini. Dia maklum bahwa kami masih sangat baru dalam mengenal sastra.
Entah mengapa aku justru bersikap sangat serius untuk proyek ini. Mungkin saja
karena aku sangat suka membaca karya-karya fiksi.
"Beep...beep..beep," terdengar suara pesan masuk di ponselku.
"Hai Rin, belajar bareng matematika yuk, nanti sore pukul 3..,"dari Sarah.
"Oke di mana ?," balasku
"Di rumahku saja seperti minggu kemarin," balas Sarah cepat.
"Oke siap," balasku lagi.
Semenjak kelas dua ini hubunganku dengan Sarah msemakin dekat. Kami sering jajan bersama, ngobrol bersama, hingga belajar bersama di luar jam kelas.
Ya meskipun semua itu dilakukan bersama-sama dengan teman lainnya. Aku hamper tidak pernah berduaan saja dengan Sarah.
Sedangkan Mika, teman satu bangkuku itu tidak terlalu sering menghabiskan waktu dengan kami lantaran ia masih sering bermain dengan temannya di kelas yang lama.
Sementara itu, pada pukul 3 tepat aku sampai di rumah Sarah. Rumahnya tak jauh dari rumahku hanya dibutuhkan 15 menit bersepeda uuntuk sampai ke sana.
Saat itu, aku kira sudah banyak teman yang datang. Namun justru aku lah satu-satunya yang baru sampai di sana.
Rumah Sarah memang hunian yang cukup nyaman untuk berkumpul. Tidak terlalu besar namun sederhana dan terkesan adem.
Di halaman rumahnya yang berukuran sekitar 3x10 meter terdapat satu pohon mangga yang belum terlalu besar namun cukup membuat sekitarnya rindang.
Selain itu ruang tamu rumah Sara cukup luas tanpa banyak barang di dalamnya. Hanya dua sofa dengan meja kecil di pojok.
Banyak ruang untuk kami belajar bersama secara lesehan. Aku suka dengan gaya rumahnya yang simple ini.
"Silahkan duduk Rin," ujar Sarah.
"Wah rupanya baru aku sendiri, yang lain belum datang ya," kataku.
"Halah biasa anak-anak," balas Sarah sambil mengibaskan tangannya.
"Oh..," ucapku kikuk.
Sejujurnya jika berdua saja seperti ini aku cukup merasa canggung di dekatnya. Aku tak pernah benar-benar berbincang berdua saja dengan Sarah.
Dia memang biasanya lebih dekat dengan Venny. Aku dan Sarah biasanya akrab saat ada teman yang lain.
Suasana kemudian hening, aku pun pura-pura sibuk dengan ponselku untuk mengurangi kecanggungan.
"Eh Rin, aku mau keluarin makanan-makanan ringan dulu ya," kata Sarah memecah kebuntuan.
"Oh, iya," kataku lagi-lagi kaku.
Di saat aku mulai membuka kembali ponselku, tiba-tiba ku dengar seorang laki-laki menyapa dari luar rumah..
"Halo Sarah," ujar suara yang sepertinya aku pernah dengar sebelumnya.
Kemudian aku keluar dan melihat bahwa sosok itu adalah teman satu kelasku, Anton. Dia berdiri di balik pagar terlihat keheranan.
" Loh Anton?," ucapku.
"Erin? Ngapain?," balasnya.
Belum sempat kujawab, lalu Sarah datang dari arah belakang melewatiku begitu saja. Dia berjalan cepat menuju pagar dengan membawa novel Perahu Kertas Milik Dee Lestari.
"Ini nih, ton, kakakku punyanya ini, lumayan buat tugas Bu Intan," ujar Sarah.
"Wah ndak masalah rah, aku sih terserah aja, ga tau mau aku baca nggak, haha," ujar Anton sambil tertawa.
"Hei, ih," jawab Sarah gemas.
"Nanti aku bisa minta tolong kamu tanya-tanya ke kakakmu soal bagaimana ceritanya."
"Nanti aku chat kamu deh," jelas Anton.
"Ya ga gitu ton, ga mau ah, baca sendiri," kata Sarah sambil tertawa.
"Kamu enggak mampir ton? Aku tadi bikin bolu, nanti anak-anak juga mau belajar bareng," lanjut Sarah.
"Lain kali aja ya Rah, ku mau main futsal nih ama temen-temen di sekitar rumahku," kata Anton.
"Ya sudah deh," ujar Sarah.
Kemudian Anton ijin pamit dengan Sarah. Tak lupa ia turut melambaikan tangannya kepadaku.
Rupanya Anton datang berboncengan motor dengan temannya. Temannya menunggu di seberang rumah saat Anton berbincang dengan Sarah.
Setelah itu, Sarah langsung masuk ke dalam rumah. Raut mukanya langsung berbeda setelah bertemu Anton.
Temanku yang sering memakai jam tangan berbeda tiap harinya ini tersenyum-senyum. Aku cukup yakin senyumnya itu bukan untukku.
Aku menduga senyum itu karena kedatangan Anton. Bahkan aku menduga Sarah naksir dengannya.
"Loh kok kamu mau nyariin buku buat Anton," tanyaku frontal yang langsung kusadari rasanya tak sopan.
"Hayo," kataku lagi malah menggoda.
"Hehe iya soalnya dia chat aku, katanya sibuk nggak sempat nyari buku. Mumpung kakakku ada beberapa ya sudah kupinjami saja," kata Sarah dengan muka merah.
"Oh chat? Wah kalian berarti emang sudah sedekat itu ya, haha" ujarku hanya bermaksud menggodanya.
“Iya kami sudah sekitar 2 minggu chat-an intens,” kata Sarah semangat.
Setelah itu, Sarah langsung cerita Panjang lebar mengenai Anton tanpa aku bertanya. Tapi its okey, ini membuat komunikasi kami tidak canggung lagi seperti sebelum Anton datang.
Sarah terlihat sangat semangat dan terus tersenyum saat menceritakan Anton. Aku terus berpikir apa yang membuat Sarah terpesona dengan laki-laki yang juga sering bermain dengan Sean itu.
"Iya ih dia lucu tahu, dia katanya ga tahu matematika, tapi malah ga mau mikir," ujar Sarah tertawa walau menurutku tak lucu sama sekali.
Hingga pukul setengah 4 lebih, Sabrina dan Venny datang. Disusul satu per satu Leila, Meta, dan Regina.
Setelah semuanya lengkap lantas kami belajar bersama. Kami mencoba mempelajari materi Matematika yang sebelumnya diberikan oleh Bu Lastri mengenai Linear.
Banyak dari kami merasa kesulitan dengan materi tersebut. Lantaran Sarah dan Regina jago matematika, mereka dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu kami.
Sempat terjadi perdebatan kecil mengenai materi itu oleh Sarah dan Regina. Meski hasil akhirnya sama, namun mereka memiliki cara masing-masing untuk memecahkan beberapa pertanyaan di LKS (Lembar Kerja Siswa) kami.
Menurutku pribadi keduanya bagus, akan tetapi sejujurnya penjelasan Sarah lebih jelas bagiku. Aku tak tahu cara Sarah lebih mudah dimengerti apakah karena dia dominan dalam berbicara.
Sedangkan penjelasan Regina beberapa kali dipotong oleh Sarah hingga aku tak menangkapnya dengan jelas. Meski demikian, diskusi kami tetap berjalan lancar tanpa ada percekcokan.
Teman-teman lain selalu melontarkan guyonan tiap diskusi mulai berjalan panas. Meski bahan candaaan itu bisa ngalor-ngidul, jauh dari materi matematika.
Misalnya saja, ketika Leila menggoda Meta yang beberapa kali justru fokus dengan ponselnya. Ku lihat Meta memang lebih banyak diam dalam diskusi ini.
"Lah Met, udah nanti aja liat Hpnya, enggak ada kok pesan dari Anton," ungkap Leila menggoda Meta.
Digoda seperti itu, muka Meta langsung merah. Buru-buru dia menyenggol kaki Leila sekaligus teman sebangkunya itu.
"Wah kenapa Anton nih," balas Sabrina cepat seakan menemukan kejanggalan.
"Leila cepat jawab ada apa!," susul Regina pura-pura galak.
"Ih tanya aja sendiri ama orangnya tuh," balas Leila menunjuk Meta.
"Ih enggak, Leila itu ngawur sih," ujar Meta tersipu malu.
Semuanya lantas menggoda Meta, kecuali aku dan Sarah. Kulihat Sarah yang biasa dominan dan banyak bicara tiba-tiba terdiam.