"Buku Bumi Manusia ini berisi mengenai perlawanan orang Indonesia pada penjajahan Belanda melalui pendidikan."
"Lewat tokoh Minke, Pram ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita tidak boleh menyerah pada keadaan dan tunduk dalam pembagian kelas-kelas manusia, dalam hal ini kelas warna kulit."
"Pram mencoba melawan bahwa bangsa pribumi juga bisa bersaing dan memiliki pemikiran yang sama hebatnya atau bahkan lebih dari orang Eropa," jelasku di depan kelas.
Pada presentasi karya sastra tugas Bu Intan kali ini, aku benar-benar percaya diri. Buku dari Pramoedya tersebut sungguh menarik minatku.
Selama dua minggu terakhir, aku tak lepas membaca dan mencoba memahami buku itu. Sehabis ini, aku bahkan berencana untuk meminjam Anak Semua Bangsa, sekuel dari Bumi Manusia.
"Oke cukup bagus Erin, kamu memilih buku yang tepat, selain itu kamu juga cukup bagus dalam menjelaskannya pada teman-teman," puji Bu Intan.
"Ku rasa kalian juga harus membaca buku Bumi Manusia ini," ungkapnya pada anak-anak lain.
"Ya sudah, kamu boleh duduk Erin, lanjut absen berikutnya, Fathia," suruh Bu Intan.
"Tepuk tangan sekali lagi untuk Erin," puji Bu Intan lagi hingga membuatku salah tingkah.
Di tengah tepukan tangan anak-anak, ku dengar lagi ejekan. Aku mendengar Krisna paling kencang dalam merundungku secara verbal.
"Wuuu Betty La Fea, selalu terdepan," seru Krisna dengan menekankan kata terdepan.
"Selalu ke depan," susul Yus diikuti suara tawa anak-anak lain.
Aku yakin pasti bahwa kata depan merujuk pada gigiku yang memang agak maju ke depan. Refleks aku langsung menutupi mulutku dengan tangan.
Suasana hatiku yang tengah bahagia karena keberhasilan dan pujian Bu Intan mendadak hilang. Baru saja terbang melayang namun langsung dijatuhkan saat itu juga.
Setelah pelajaran olahraga beberapa hari lalu, anak-anak di kelasku memang sering merundungku. Jika biasanya aku mencoba untuk mengabaikan, namun kali ini rasanya aku gagal untuk tidak kecewa.
Mereka telah merusak hari dan kebahagiaanku. Kata-kata mereka berputar-putar di kepalaku tanpa bisa kau bendung.
"Bu Intan, aku ijin ke toilet," ujarku segera keluar dari kelas.
Lalu Bu Intan mengangguk tanda mengizinkan. Jikapun saat itu dia tak mengizinkan, aku membayangkan aku akan tetap keluar.
Saat ini aku benar-benar tidak tahan dengan rundungan mereka. Kepalaku berputar pusing mendengarnya.
Saat aku keluar kelas, sempat kudengar tawa mereka justru makin keras.
"Sudah, diam," seru Bu Intan.
Belum sampai di toilet, ternyata air mataku sudah tumpah begitu saja. Malu, marah, sedih, kecewa menjadi satu.
Aku berusaha menutupi wajahku dan segera berlari ke toilet. Sialnya toilet terletak jauh dari kelasku.
Sesampainya di toilet kudapati dua anak perempuan sedang berada di wastafel. Mereka menatapku dengan heran.
Meski begitu aku tak peduli dengan tatapan mereka yang melihatku menangis. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu.
Pikiranku terus bertanya-tanya, apakah wajahku sangat buruk hingga teman-temanku terus merundungku? Apakah sangat salah memiliki wajah seperti ini.
Apakah memiliki bagian wajah yang tidak sesuai dengan normalnya anak-anak lain adalah sebuah kesalahan?
Ku raba wajahku yang basah karena air mata. Aku merasa wajahku biasa saja, tidak cantik namun ku rasa juga tidak buruk.
Lalu ku pikir lagi, apakah mereka merundung wajahku bukan karena aku benar-benar jelek, akan tetapi hanya untuk mencari objek untuk bercanda.
Apapun itu aku hanya ingin menangis, rasanya aku tak ingin kembali ke kelas, dan langsung saja pulang ke rumah. Namun yang aku lakukan justru sebaliknya.
Aku justru menangis dan menangis sembari menahan diri khawatir tangisku akan terdengar keras dari luar.
Setelah merasa puas dan Lelah menangis, aku lantas mencoba menenangkan pikiranku. Terlintas di benakku kata-kata Mama.
Saat bersedih lebih baik langsung ingat waktu-waktu bahagia. Setidaknya untuk mengalihkan fokus dan sadar hidup itu tak melulu kesedihan.
Kata-kata itu cukup membuatku sedikit lebih tenang hingga aku baru sadar dari tadi aku masih menenteng buku Bumi Manusia di tanganku.
Terpintas dalam pikiranku bagaimana Bu Intan memuji usahaku selama dua minggu terakhir. Aku juga teringat bagaimana aku sungguh menikmati waktu-waktu di mana aku membaca Bumi Manusia.
Ingatan itu berlanjut hingga bagaimana Minke dalam Bumi Manusia mencoba melawan harga dirinya sebagai pribumi. Dia tidak mau menyerah begitu saja pada penjajah.
"Ku rasa aku harus melawan seperti Minke," ucapku dalam hati.
Lalu kuusap air mataku, kubasuh dengan air, dan segera kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, rupanya Bu Intan sudah tidak ada.
Ternyata aku berada di toilet sekitar 15 menit lebih hingga pelajaran Bahasa Indonesia usai. Aku menduga, Bu Intan paham apa yang tengah kurasakan hingga ia membiarkanku cukup lama berada di sana.
"Rin, kamu lama banget di toilet," ujar Mika saat aku mulai kembali duduk di sebelahnya.
"Kamu nangis ya Rin?," tanya Mika.
"Gapapa kok Mik, tenang aja, udah biasa," kataku.
Lalu Mika berinisiatif untuk mengalihkan rasa sedihku dengan menanyaiku soal buku Pramoedya yang sudah aku baca. Ku rasa dia adalah temanku yang baik dan cerdik.
"Rin kayaknya seru bukumu, kalau udah selesai, aku pinjem ya," ujarnya semangat.
Kami lantas mengobrol banyak hal mengenai buku yang kubaca serta buku yang dibacanya untuk tugas Bu Intan. Dia membaca novel Maryamah Karpov dari Andrea Hirata.
Usaha Mika untuk membuatku kembali tersenyum ternyata berhasil. Aku sudah mulai agak lupa dengan apa yang terjadi barusan.
"Kamu nangis ya tadi, gitu aja nangis," kata Krisna yang entah kapan sudah ada di sampingku.
"Pemain sepak bola terkenal cengeng," celanya lagi sambil nyengir-nyengir di depanku.
Aku yang sudah agak tenang merasa emosiku kembali terpancing. Aku berpikir harus melawannya.
Aku benar-benar muak mendengar ejekan Krisna. Muak dengan semua orang yang sudah merendahkanku.
Reflek aku berdiri dan mengangkat buku Pram yang tergeletak di meja. Lalu kusentakan buku itu ke mulut Krisna cukup keras hingga buku itu terpental jatuh ke lantai.
“Brukk,”
Semua mata lantas tertuju pada kami berdua. Seluruh tubuhku gemetar menahan amarah yang selama ini kupendam.
Tiba-tiba kulihat bibir Krisna berdarah karena pukulan bukuku. Cowok kurus ini langsung mengelap darahnya sambil menatapku tajam.
Saat ku yakin Krisna akan membalasku, dia kemudian justru menyunggingkan senyum. Dia nyengir ke anak-anak mungkin karena malu.
"Wah cocok juga jadi petinju," kata Krisna sembari kembali ke bangkunya.
“Lain kali ga usah pakai buku, timpuk pakai tangan kosong,” serunya lagi.
Sedangkan anak-anak lain yang masih menatap kami, terpaku dengan adegan barusan. Mata mereka rasanya bisa berbicara bahwa mereka tak percaya aku bisa sekasar itu.
Ku lihat lagi bukuku yang jatuh ke lantai. Saat kuambil ternyata buku itu sobek di bagian sampulnya.
Sudah pasti aku harus menggantinya karena buku itu milik perpustakaan. Perpustakaan memiliki aturan ketat soal perawatan buku-buku koleksinya.
Mau tak mau aku juga harus menyisihkan uang sakuku selama beberapa minggu untuk menggantinya. Aku tak akan berani meminta uang pada orang tuaku untuk kesalahanku itu.
Tiba-tiba saja aku merasa bersalah atas apa yang telah aku lakukan. Aku berpikir ceroboh dan terlalu terpancing emosi dengan perkataan bodoh mereka.
"Aku hanya mencoba melawan dan kenapa aku lagi yang salah," pikirku.
Tak terasa air mata ku jatuh lagi di atas buku Pram. Lagi-lagi aku ingin segera pergi menyembur masuk toilet.