Aku mengurung diri di kamar. Aku sibukkan diri dengan jurnal-jurnal ilmiah. Dalam pikiran kalut tidak satupun jurnal kuselesaikan dengan benar. Puluhan pesan singkat yang kukirim kepada Rudi hanya dibalas seperlunya saja. Hampir dua hari pula aku tidak hadir ke kampus, kukasih alasan sedang dalam keadaan kurang sehat.
Keluarga menyadari nasibku. Ibu kuabaikan dalam omongannya. Bang Mul berkali-kali mengetuk pintu kamar tidak kugubris. Kak Sita sampai membuat makanan seenaknya tidak kusentuh sama sekali. Kehidupanku sebelumnya tidak pernah berhubungan dengan hati, tidak ada yang tahu urusan hati itu.
Aku seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Sikap warasku sudah terlupa di relung hati terdalam. Jika tahu begini akhir sebuah kisah cinta, akan kujalani saja masa-masa pacaran dengan laki-laki yang pernah mengajakku berkencan. Dengan begitu, aku dapat menata hati saat penolakan kembali terjadi. Ini pertama kali aku berkisah tentang hidup bahagia, pertama kali berkisah tentang duka panjang yang tidak ada dokter bisa menyembuhkannya.
Magrib di hari kedua, Bang Mul masuk ke dalam kamarku.
“Banyak sekali buku yang kamu baca ya?”
Aku tidak menyahut.
“Sudah sehat?” tanya Bang Mul.
Aku pura-pura tidak mendengar.
“Abang sudah bicarakan lagi dengan Ibu dan Muis,” Bang Mul diam sesaat. “Nanti kita pikirkan lagi masalah ini. Semua orang ingin bahagia. Masing-masing orang juga memiliki masalah tersendiri. Kita cuma butuh sedikit sabar dalam menghadapi masalah ini. Pasti akan ada jalan keluarnya jika kita kamu bertahan dan mengepak sayap mencari bahagia!”
“Rudi sudah memiliki keputusan sendiri, bang!”
“Abang tahu. Rudi butuh ketenangan dan biarkan dia menelaahnya terlebih dahulu,”
“Dia tidak setuju 25 mayam,”
“Kita sudah mendiskusikan lagi mahar yang cocok,”
“Siapa tahu Rudi berpaling pada orang lain!”
“Tidak semudah itu. Abang mengenal Rudi hampir sama dengan abang mengenalmu. Abang mengerti perasaan Rudi kepadamu dan abang tahu perasaanmu kepada Rudi.”
Bang Mul merapikan beberapa buku di atas meja.
“Kamu tenangkan diri dahulu, masalah ini biar kami pikirkan lagi!” Bang Mul meninggalkanku di dalam kamar. Menatap pintu saja aku enggan menariknya. Keluar kamar aku akan bertemu Ibu. Ibu dan aku sama-sama dalam kondisi tidak stabil.
Sampai kapan aku menunggu?
***