Aku mondar-mandir di dalam kamar. Berulang kali aku mematut di depan cermin, berharap wajahku tidak berubah menjadi serigala di malam hari. Kebanyakan menonton drama Korea Selatan, aku ikut-ikutan percaya dunia khayalan saat-saat genting begini. Serigala berubah menjadi manusia cantik, lalu menipu para laki-laki tampan, membiusnya, dibawa ke alam mimpi di langit tak bertuan, lalu dijadikan sandera, kemudian dijadikan raja pewaris kerajaan yang tidak bisa mengubah diri menjadi serigala di malam buta.
Pikiranku benar-benar sangat kacau. Aku memikirkan sesuatu yang belum mampu aku cerna maknanya. Dunia ini bukan di dalam drama penuh airmata dan tawa. Semenjak kuliah di Banda aku menggemari berbagai drama seri negeri gingseng tersebut. Sampai di Amerika pun aku menghabiskan waktu libur maupun akhir pekan dengan menikmati drama-drama terbaru di salah satu website gratis.
Lelaki tampan dan perempuan cantik begitu menggoda penonton. Kisah dibuat sangat dramatisir sampai aku pun ikut terlena. Bukan cuma karena aktornya yang sangat ganteng melainkan jalan cerita yang menarik diikuti. Ada saja ide gila pegiat drama negeri pemilik teknologi terbesar di Asia tersebut. Akting tokoh dalam drama sangat kusukai, seakan mereka bermain di kata profesional dalam arti sebenarnya. Bahkan, aku sempat membaca dan mendengar, tidak mudah untuk ikut bermain dalam satu drama tanpa pernah di training oleh agensi-agensi penting, tempat lahirnya bintang besar negara itu.
Seandainya bisa bertelepati, malam ini saja aku mau berpindah tempat ke negeri yang belum sempat kukunjungi tersebut. Aku tidak mau mendengar bahkan melihat sesuatu yang akan terjadi dalam keluarga ini.
Suara deru mobil terdengar masuk ke perkarangan rumahku. Telapak tanganku sudah sangat dingin. Rudi memenuhi janji undangan keluarga kami untuk datang memperkenalkan diri malam ini. Telapak tanganku sudah sangat dingin dan mulai berkeringat. Aku menunggu nasib baik dan buruk setelah Rudi bertemu dengan seluruh anggota keluarga.
Ibu mengetuk pintu kamar dan masuk ke dalam. Raut wajah Ibu sudah bisa kutebak. Ibu memperlihatkan rona bahagia luar biasa. Cita-cita Ibu mendapatkan laki-laki sebagai suamiku sesuai kriteria yang diidam-idamkannya selama ini tercapai sudah. Dari luar terdengar Rudi memberi salam lalu disambut oleh ketiga abangku.
“Dia sudah datang,” kata Ibu sambil memegang erat tanganku. Ibu tersenyum penuh arti.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
“Ibu paham, kamu tidak perlu khawatir. Dia calon kuat untukmu. Dia datang malam ini untuk bersilaturahmi dengan kita dan kita berhak tahu kepribadiannya. Kamu dan Bang Mul sudah sangat memahami sikap maupun bahasanya. Kami juga perlu mempelajari tingkah laku calon penghuni kamar ini kelak,”
“Ibu setuju dengan pilihan Bang Mul?”
“Ibu sangat setuju. Bang Mul tidak pernah membohongi Ibu dalam hal apapun. Apalagi membawa masuk orang lain ke dalam keluarga kita, itu bukan perkara main-main. Apakah kamu sendiri keberatan dengan pilihan Bang Mul?” selidiki Ibu. Mata Ibu berubah sayu menghadapi sikapku.
“Saya menerima, Bu,” jawabku. “Bahkan dia lebih baik dari saya dari semua kepribadiannya,”
“Lantas? Kenapa wajahmu murung?”
“Saya takut ada yang tidak suka dengan pilihan kita,”
“Siapa?”
Aku menarik nafas lebih panjang.
“Saya tidak mau mempermasalahkan ini, tetapi Kak Rita sudah mengatakannya pada Kak Afni. Saya mendengar Kak Rita bilang Bang Muis punya kenalan yang ingin sekali dikenalkan kepada kita. Ibu tahu sendiri bagaimana Bang Muis, saya takut Bang Muis tidak bisa menerima Rudi!”
“Muis tidak membawa orang itu ke rumah, dia juga tidak mengatakan apa-apa pada Ibu!”
“Iya, seandainya saja Bang Muis menolak Rudi,”
“Muis tidak akan menolak, Ibu yang akan pertahankan Rudi berada dalam keluarga ini. Lagian, Rita dan Afni tahu apa? Mereka hanya pandai berbicara di belakang Ibu. Ibu tahu sifat kedua menantu yang tidak pernah hormat kepada mertuanya itu. Malam ini saja mereka tidak datang, kemarin malam ngotot ingin mengenal Rudi lebih dekat lagi!”
Kedua kakak iparku itu memang kelewatan. Bang Muis maupun Bang Mus tenang-tenang saja datang ke rumah seorang diri. Mereka tidak bersalah tidak membawa serta istrinya. Lihat saja, kembali Kak Sita yang lelah seorang diri menyiapkan minum dan makanan ringan. Jika nanti Kak Rita dan Kak Afni mempersoalkan Rudi, aku sendiri yang akan menyumpal kain basah ke mulut kedua kakak ipar itu.
“Menurut Ibu bagaimana?”
“Ibu percaya pada kalian berdua!”
***
Suasana ruang tamu penuh gelak tawa. Orang yang paling dekat dengan Rudi adalah Bang Mul. Tak henti-hentinya abang sulungku mempromosikan Rudi kepada kedua abangku yang lain dan kepda Ibu. Ibu duduk di kursi dekat ruang keluarga, bersebelahan dengan Bang Muis dan Bang Mus. Bang Mul duduk paling dengan dengan Rudi dan seorang laki-laki sebaya dengan Rudi. Mungkin temannya.
Aku mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Mengantar lima gelas kopi, aku lupa segelas teh. Lupa goreng pisang, hanya membawa kue lapis. Membawa agar-agar, lupa membawa tissue. Kak Sita terkekeh di belakangku.
“Kamu duduk saja di ruang keluarga, tenangi diri dulu!” tegur Kak Sita. Aku sudah mulai berkeringat. Aku tidak lelah membawa minuman dan makanan ringan, aku gugup. Itu saja.
“Rokok ini wangi sekali jika dihisap berkali-kali,” ujar Bang Muis. Abangku itu merupakan perokok paling aktif dibandingkan kedua abangku yang lain. Dalam sehari Bang Muis bisa menghabiskan dua bungkus atau lebih, dihisapnya sambung-menyambung tak henti. Ibu sudah pernah menegur, Bang Muis tidak mengubris.
“Saya tidak merokok, Bang,” ujar Rudi sambil tersenyum santun.
“Bagus itu, saya juga berencana berhenti merokok, tapi tidak pernah bisa jika bertemu Muis,” celutuk Bang Mul.
“Abang saja tidak bisa tahan tanpa rokok, jangan salah-salahkan saya?” kata Bang Muis bernada emosi.
“Nama juga kebutuhan, mau tidak mau,” Bang Mul membakar sebatang rokok yang diambil dari bungkusan milik Bang Muis.
“Kebutuhan kurang baik,” sambung Bang Muis dalam keadaan sadar sendiri.
Kami ikut-ikutan tertawa.
“Jangan dibiasakan, Bang,” sahut Rudi.
Kurasa, malam ini ketakutan yang menghantui sejak malam kemarin perlahan-lahan sirna sudah. Aku menemukan suasana yang terjaga dalam keluarga kami. Rudi bisa menempatkan dirinya sedang berada di antara lingkungan orang lain yang akan jadi bagian hidupnnya.
Melalui diskusi ringan, Bang Mus dan Bang Muis tidak merasa sangsi lagi kepada Rudi. Bang Mus dan Bang Muis merasakan hal yang sama seperti yang kurasa saat pertama sekali bertemu dengan Rudi. Ada sesuatu yang menarik kami untuk bisa berlama-lama menatap Rudi. Laki-laki itu memang jauh dari kesan ganteng dan berbadan gagah. Lama-lama, jika kuperhatikan, perutnya pun terlihat sedikit berisi.
Rudi bersama temannya berpamitan saat waktu lewat pukul sembilan malam. Selain menyalami ketiga abangku dan Ibu, Rudi juga menyalamiku yang berdiri di samping Ibu. Sifatnya pun seperti biasa, tenang saja. Aku sendiri yang merasa hampir linglung, jantungku hampir copot dari bagian terkunci di dalam ragaku.
Bersama hilangnya mobil Rudi dari pandangan mataku, bersama itu pula kulihat dua sosok bayangan mengintip di balik batang jambu di halaman rumahku. Aku berdiri di belakang Ibu di teras rumah kami. Bang Mul berserta Bang Muis dan Bang Mus mengantar Rudi sampai ke pintu pagar.
“Kenapa tidak masuk saja, Mak Sari?” kata Bang Muis dengan suara beratnya. Dugaanku benar, Mak Sari dan Dara tertangkap basah sedang mengintip kejadian bahagia dari rumah kami.
“Kami sedang melihat buah jambu,” sahut Mak Sari sambil menarik lengan Dara menuju pagar semi permanen rumahku. Pagar itu setengah bagian semen dan setengah lagi dari besi berukir warna keemasan. Bentuknya segitiga terbalik dengan bagian tengahnya terdapat bunga mawar berwarna senada. Pintu pagar juga berwarna emas dengan corak daun dan bunga-bunga.
“Jambu belum berbuah, Mak Sari,” ujar Bang Mul ketus. Di antara kedua abangku, hanya Bang Mul yang mengetahui watak Mak Sari dengan benar sesuai kaidah yang tidak tertulis di Kampung Pesisir Barat.
“Mak Sari dan Dara sedang mengintip buah yang lain bukan?” ujar Bang Mus langsung ke sasaran. Bang Mus merapat ke arah Mak Sari dan Dara. Kedua orang itu berhenti di tempat dengan mata menyalak ke mana-mana.
“Kami hanya ingin melihat buah jambu saja, Bang,” rengek Dara.
“Buah jambunya sedang tidak berbuah, buah lain yang sedang berbuah di rumah kami,” Bang Mus tidak mau kalah.
“Ayolah kita pulang, capai saja kita ke mari tidak ada jambunya!”
“Makanya, lain kali, Mak Sari minta dulu sama pemilik batang jambu ini. Pohon ini berada di dalam perkarangan rumah kami, kami pun semua sedang berkumpul di rumah, kami sedang menerima tamu paling penting malam ini, kamit tidak keberatan Mak Sari dan Dara mampir ke rumah, masih ada sisa kopi dan kue ringan di dalam sana,” kata Bang Mus seperti sedang mendikte pelajaran.
Di bawah cahaya lampu teras dan lampu di tiang listrik tepi jalan sebelah kanan dari arah masjid itu, dapat kupastikan wajah Mak Sari dan Dara bagai tomat rebus. Merah dan lembek.
Bang Mul dan Bang Muis sudah masuk kembali ke dalam rumah, tinggal Bang Mus yang masih meladeni Mak Sari dan Dara. Aku pun masuk ke dalam rumah bersama Ibu. Kami duduk di ruang keluarga di atas lantai beralaskan tikar pandan kesukaan Ibu.
“Ada-ada saja kelakuan Mak Sari itu,” ujar Bang Mul sambil meneguk kopi yang baru saja dituangkan Kak Sita. Tiba-tiba wajah Bang Mul memerah dan hampir muntah.
“Ada-ada saja kelakuan Bang Mul, sudah tahu kopi masih panas diminum juga,” kata Kak Sita sambil bergurau. “Jangan sering-sering ngomongin orang lain, bisa kualat hidup abang kan?”
“Benarlah kata Bang Mul, apa urusan Mak Sari dan Dara mengintip keluarga kita malam-malam?” Bang Muis penasaran.
“Mak Sari senang sekali jika ada ide baru untuk drama yang tayang besok, Bang,” ujarku sambil mengunyah pisang goreng yang sudah dingin.
“Drama seri apa maksudmu?”
“Hidup Mak Sari tidak akan tenang sebelum mengetahui hidup keluarga kita,” ujar Ibu.
“Bingung saya,” kata Bang Muis sambil membakar sebatang rokok.
“Lagi-lagi kamu merokok, sudah berapa batang malam ini?” tegur Ibu. Bang Muis acuh. Baginya, penting mengisap rokok dari pada mendengar ceramah Ibu.
Dengan tiba-tiba Bang Mus tertawa di saat masuk ke rumah. Kami ikut terbawa suasana dan memperhatikan Bang Mus.
“Saya baru tahu Mak Sari dan Dara itu tidak mempertimbangkan perasaan malu saat mengeluarkan pendapat. Mereka tenang-tenang saja masuk ke dalam perangkap saya. Tidak tahunya, mereka terjebak dan membuat saya mengerti maksud kedatangan mereka sebagai pengintip malam ini!”
“Apa katanya, Bang?” aku paling penasaran dibandingkan yang lain.
“Abang tanya Dara sudah menikah, dia jawab belum. Abang tanya sudah ada calon, jawabnya pun belum. Tidak tahunya Dara tanya sama abang siapa laki-laki yang barusan keluar dari rumah kita. Abang jawab teman Bang Mul, si Dara malah meminta saya kenalkan untuk dia. Saya bilang laki-laki itu datang melamar Inong, gadis itu malah tidak terima. Siapa dia dalam keluarga kita ya?”
“Ah, abang terlalu berlebihan,”
“Kan benar, Rudi datang melamarmu!”