Malam semakin larut. Kami masih duduk di antara cahaya lilin. Tidak lama setelah tawa Bang Mus menertawakan Mak Sari dan Dara, listrik negara pamit untuk tidur sejenak. Kami sempat mengeluarkan kur panjang bersama-sama. Kak Sita mencari-cari lilin di balik lemari penuh gelas dan piring hias. Bisa kukatakan hias, semenjak dulu sampai sekarang piring-piring dan gelas-gelas tidak pernah keluar dari lemari itu. Ibu mengoleksi piring maupun gelas beraneka bentuk dan warna itu sejak muda. Wajar saja Ibu tidak mau membuat koleksinya tersebut pecah satu persatu. Ibu pasti susah payah mengumpulkan model koleksi piring dan gelasnya hingga bertahan sampai sekarang. Menurut tahun pula, piring dan gelas berganti corak dan motif. Model terlama dengan warna emas dan lebih tebal serta bermotif bunga warna ungu, merupakan sepasang piring dan gelas yang tidak pernah kuketahui tahun berapa. Kebanyakan dari koleksi itu, tidak semua Ibu ingat tahun kapan dibeli dan disimpan di dalam lemari kaca tersebut. Hobi Ibu sangat bermanfaat, entah bagaimana nasibnya jika Ibu tiada. Mungkin akan kugunakan sebagai piring makan dan gelas minum, atau hilang satu persatu diambil tangan-tangan jahil, siapa saja yang mau.
Kepalaku sudah bergoyang-goyang. Aku butuh tidur. Suara Ibu membangunkanku kembali ke dunia nyata.
“Ibu sudah memutuskan setuju dengan Rudi, tinggal kalian mengambil keputusan,”
Dalam gelap, belum ada yang berbicara. Bang Muis mengepulkan asap rokok setinggi-tingginya. Bang Mus tidak mau kalah, diikutinya membuat kepulan asap rokok menjadi bulatan-bulatan kecil hingga pecah di udara.
“Kalau Ibu sudah setuju kita tunggu apalagi,” ujar Bang Mul senang.
“Saya juga tidak keberatan. Kelihatannya Rudi itu anak penuh tanggung jawab. Saya senang bicara dengannya. Soal pekerjaan tidak ada yang ragukan lagi. Soal jabatan tidak jadi masalahlah selama dia masih punya pekerjaan tetap,” kata Bang Mus sambil membuang puntung rokok ke asbak di depannya.
“Kita putuskan saja maharnya!” kata Bang Muis tegas.
“Saya setuju. Dari pada berlama-lama nanti si Inong dan si Rudi semakin dekat, tidak ada ikatan pernikahan juga membuat kita malu,” Bang Mul setuju.
“Ibu juga sepakat. Rudi datang ke mari karena dia berani menjumpai keluarga kita. Rudi serius dengan kelakuannya terhadap Inong,”
“Bang Mul, berapa mayam melamar Kak Sita?” tanya Bang Muis.
“Sepuluh mayam,” jawab Bang Mul.
“Kamu Mus?”
“Dua belas mayam,”
“Saya sebelas mayam,”
Aku tidak mengerti maksud Bang Muis membanding-bandingkan mahar kedua abangku dengannya.
“Mahar Inong tidak boleh kurang dari itu!” tegas Bang Muis. “Harga emas semakin hari semakin naik, dulu kami memberi mahar segitu sekarang sudah lebih banyak lagi. Ukuran dulu dengan sekarang jelas berbeda. Ukuran laki-laki dan perempuan jelas berbeda pula. Kami laki-laki wajib membayar mahar sedangkan perempuan wajib menerima mahar. Perempuan juga berhak menentukan berapa mahar yang sanggup dipikul laki-laki sebelum melamarnya,”
“Saya rasa mahar itu relatif, Muis,” kata Bang Mul. “Saya mengenal keluarga Rudi, saya pun paham dia tidak akan menolak penawaran kita,”
“Tidak bisa begitu, Bang!” Bang Muis naik darah. Abang nomor dua ini salah satu laki-laki paling keras kepala dalam keluargaku. “Kita punya berlian yang wajib ditebus dengan harga mahal. Inong satu-satunya perempuan dalam keluarga kita. Selama ini, saya, Bang Mul dan Mus yang melamar gadis orang dengan mahar tinggi. Sekarang, kita berhak menentukan mahar dengan harga tinggi pula. Wajarlah Bang, Inong memiliki mahar lebih di atas kita, selain satu-satunya adik perempuan, Inong sudah sekolah ke luar negeri, sudah menjadi dosen, banyak yang akan mau membayar mahar mahal, Bang!”
“Saya tidak menolak, Muis,” Bang Mul tidak mau kalah. “Saya hanya bersikap objektif saja masalah mahar ini,”
“Objektif bagaimana, Bang?” Bang Muis kembali membakar rokok, padahal baru saja habis sebatang terakhir.
“Kita melihat kondisi Rudi dan keluarganya,” jawab Bang Mul.
“Oh, kalau demikian, jangan datang melamar gadis dalam keluarga ini! Saya tidak mau adik perempuan dihargai dengan mahar rendah. Kita keluarga terpandang, Bang! Dari dulu sampai sekarang kita punya segalanya. Ayah juga tidak akan setuju anak perempuannya dilamar dengan mahar hanya tiga belas mayam saja!”
“Saya tidak mengatakan tiga belas mayam,”
“Walaupun Abang tidak mengatakannya, abang berniat menyamakan dengan mahar kita bukan?” Bang Muis makin tergerak mengeluarkan semua isi kepalanya. “Kita laki-laki, Bang! Kita datang melamar, sedangkan Inong datang untuk dilamar. Saya tidak tahu keluarga Kak Sita pernah negosiasi soal mahar sama abang. Saya sendiri malah terlibat tawar-menawar mahar saat melamar, abang sendiri melihatnya waktu itu!”
“Saya ikut sajalah, yang penting tidak rendah sekali untuk seorang magister luar negeri, untuk seorang dosen, dan untuk anak perempuan Ibu satu-satunya,” celutuk Bang Mus sambil mengambil sebatang pisang goreng di depannya. Saat Bang Mus menggigit ujung pisang, saat itu pula listrik kembali menyala.
“Jangan begitu juga, Mus!” Bang Muis merapikan duduknya. “Mahar itu sangat penting dalam pernikahan. Saya tidak mau menyerahkan adik perempuan tanpa mahar kepada laki-laki manapun. Saya juga enggan memberikan adik perempuan kepada laki-laki yang hanya sanggup membayar setengah dari mahar saya kepada Rita. Saya hanya mau menerima laki-laki yang mau melamar dengan mahar sesuai peraturan keluarga ini!”
“Peraturan keluarga yang mana maksudmu?” Bang Mul tidak mau kalah.
“Maksud Muis,” sambung Ibu yang dari tadi diam. “Inong satu-satunya perempuan dalam keluarga kita, satu-satunya perempuan dari Kampung Pesisir yang mampu kuliah ke luar negeri. Tidak mungkin mahar Inong sama dengan perempuan lain di kampung kita,”
Bang Muis tersenyum mendapat dukungan dari Ibu.
“Saya tahu, Bu,” Bang Mul masih belum puas. “Mahar sebagai tanda pernikahan saja. Saya berkeinginan mahar itu tidaklah sampai tinggi sekali sehingga Rudi tidak sanggup menjangkaunya,”
“Dia sanggup!” kata Bang Muis yakin. “Seorang laki-laki pasti akan melamar gadis yang dia cintai berapapun maharnya!”
***