Read More >>"> The Maiden from Doomsday (1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maiden from Doomsday
MENU
About Us  

Hal duduk di pojok ruang tamu, menggaruk-garuk dinding yang hanya diplester tanpa dicat. Kuku-kukunya patah dan menembus ujung jemarinya. Bau anyir dan merah darah bersemayam di sana. Semua untuk melampiaskan rasa kesalnya. Akibat ayahnya memukuli kepalanya dengan botol bir dan sekarang masih ada darah menetes dari sana. Hal tidak bisa membalasnya. Bukan karena dirinya tak mampu, melainkan tangannya selalu urung ketika hendak melawan. Bagaimana pun itu masih ayahnya, begitu terus yang membuatnya urung membalas. Moralnya masih ada bahkan jika ayahnya adalah sampah yang terus memukuli anak dan istri sendiri. 

Ayahnya baru saja keluar dari rumah setelah memukulinya. Semua bermula ketika Hal tidak ingin memberi upah yang baru didapatnya untuk ayahnya. Ayahnya hanya akan menghabiskan uang untuk minum dan judi. Uang yang diminta ayahnya juga bukan sebagian, tapi seluruh yang didapat Hal. Berkat lakunya itu, ayahnya memukulinya dan ibunya hanya diam melihat. Ibu Hal baru bergerak ketika ayahnya pergi.

Bukan mengobati luka di kepalanya atau menghentikan Hal menggaruk dinding, ibunya malah meludah padanya, "Bagaimana rasanya? Saat semua uangmu habis diambil sama lelaki itu. Itu yang dulu aku rasakan, senang melihatmu juga menderita."

Bukan lagi hal yang aneh. Ibunya akan selalu mengolok-olok dirinya. Bagaimana orang-orang sukses dan Hal yang hanya seorang buruh lepas dan kuli proyek. Dan selalu meyakini kalau Hal hanya akan berakhir seperti ayahnya. Tidak berani melawan suami, ibu Hal hanya bisa merundung anak sendiri. Satu-satunya alasan mengapa Hal hanya menerima perlakuan yang begitu adalah karena moralnya. Masih ada utang budi karena orang tuanya sudah membesarkan dari kecil. Moral itu yang merantainya untuk tetap jadi "anak baik" pada orang tua. 

Sampai luka di kukunya mengering, Hal tidak akan bekerja dulu. Dari pagi buta hingga ke petang ia terus keluar. Setelah dua tiga hari terus begitu, ibunya mulai mencaci makinya lagi. Sebab hanya bepergian tanpa bekerja. Hingga ibunya kurang makan. Sedangkan Hal sendiri hampir tidak makan tiga hari itu. Ia mencoba menginap di rumah teman. Satu hari di rumah si A, besoknya ke rumah si B, dan lusanya di rumah si C. Lalu ketika ia akan ke rumah si D, tidak ada tanggapan. D hampir tidak berekspresi mendengar ia akan menginap. Jadinya ia urung menginap. Tinggal di tempat orang yang tidak ingin menerima tumpangan, sama seperti menjadi benalu yang merugikan. 

Maka hari itu ia kembali ke rumah. Dan yang menunggunya adalah seorang ayah yang sudah menggenggam botol kosong wiski. Begitu tampak oleh ayahnya, wajahnya langsung dilemparkan botol hingga pecah. Baru saja parut di kepalanya kering, kini wajahnya kembali tergores. Ya, kembali. Seingatnya pertama kali waktu ia akan masuk SMP, ayahnya tidak ingin memberi uang untuk perlengkapan sekolah dan membayar uang sekolahnya, dan malah memberinya goresan di pelipis kirinya. Luka itu cukup dalam hingga menjadi garis hitam hingga sekarang. Ketika usianya tiga belas tahun, sewaktu akan masuk SMA, ketika ia akan lulus dari SMA, dan ketika ia membicarakan perguruan tinggi. Lalu hari ini. Dari awal wajah Hal sama sekali tidak tampan. Dan semakin mengerikan dengan semua luka yang ia dapat.

"Seminggu kau tidak bekerja dan hanya bermain ke sana ke mari? Anak macam apa kau ini! Kau mau menelantarkan aku? Kau mau membuatku mati kelaparan?" teriak ayahnya sejadi-jadinya, yang mengundang pandangan tetangga-tetangga sekitar. 

Moralnya kembali merantainya. Hal hanya menundukkan kepala yang rasanya makin berat. Dan meminta maaf berulang kali. Dengan tangan kanan terkepal dan tangan kiri menarik kuat kantung celananya. Ia kemudian mengeluarkan beberapa sisa uang yang baru dipinjamnya dari si A, B, dan C untuk makan ayah-ibunya. Bisikan dari tetangganya yang menonton tertangkap jelas oleh telinganya. Dan menggetarkan kakinya. Aku dicap anak yang buruk, katanya dalam hati.

Besoknya ia kembali mencari-cari proyek baru. Meski tidak dapat ketemu pada akhirnya. Beberapa mandor yang ia kenal sedang tidak ada kerjaan baru lagi. Ia terpaksa memanggul di pasar. Setidaknya untuk biaya makan per hari bisa diselesaikan. Masalahnya tinggal uang untuk ayahnya. Belum lagi utang ayahnya dan uang sewa apartemen. Meski bobrok dan jelek dari segala sisi atau bangunan semakin termakan usia, uang bulanan yang sebenarnya murah itu masih berat baginya. Dengan perban di wajah, ia mengambil lebih banyak kerja paruh waktu sampai proyek baru datang. 

Ketika ia akan pulang ke rumah waktu senja buta, waktu itu perbannya sudah dilepas. Hal berhenti di sebuah taman kecil yang tidak jauh di belakang apartemennya. Ia ingat betul saat umurnya tidak lebih dari enam tahun dulu. Ayah dan ibunya sering mengajak ke taman itu sore hari. Saat itu tamannya lebih lebar lagi ketimbang sekarang, ramai dikunjungi orang-orang, sebab hampir tidak ada hiburan masa itu. Bermain di taman jadi kebiasaan orang-orang. Ia akan duduk di tengkuk ayahnya dan ibunya akan mengikuti dari belakang. Mereka berdua, ibu-ayahnya akan mendorong ayunan yang ia duduki, menunggunya di bawah ketika turun dari perosotan. Dan makan di luar ketika malam jika ibunya tidak memasak apa pun. Kenangan-kenangan itu yang membangun moralnya hingga sekarang. 

Hal hanya mendongak ke langit, menghitung bintang yang tak muncul malam itu, selama hampir setengah jam. Duduk memeluk lutut di atas kursi semen. Dan mendapati bunyi gedebuk dari sampingnya. Ia melirik hanya dengan menggeser bola matanya ke kanan. Matanya menangkap seorang gadis sekolahan. Dengan jaket putih lusuh dan rambut sebahu. Itu tetangganya, yang ikut menonton ketika ayahnya melempar botol. 

Gadis itu bangun bertelut di tanah sesudah jatuh dari ayunan. Menggelengkan kepala dan menampar-nampar kedua pipinya. Beberapa saat menekur ke tanah dan menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Dan mereka bertemu mata, gadis itu dan Hal. Dan dengan cepat berdiri, mengambil tasnya, melangkah ke depan cepat-cepat. Tidak sampai empat langkah, gadis itu tergelecik, jatuh dengan wajah ke tanah. Kakinya dihempas ke tanah. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bukan, sudah jatuh dari ayunan, jatuh lagi tertelungkup. Sambil dilihat orang lain.

Hal hanya terkekeh tanpa ada sedikit pun rasa ingin menolong. Bukan karena ia tidak bersimpati. Siapa yang tidak tergelak melihat tingkah gadis itu. Lagi pula jika ia menolongnya bangun dari tanah, itu hanya akan membuat segalanya jadi runyam. Pernah sekitar setahun lalu, ia menolong seorang gadis sekolahan juga. Saat itu Hal tengah mengayak pasir seorang diri. Namun dengan tiba-tibanya hujan turun memaksa Hal berhenti dan beberapa anak sekolah yang jalan lewat setelahnya menginjak-injak pasir basah dan terpeleset. Hal langsung menyodorkan tangan sembari tersenyum, tapi gadis yang jatuh itu malah berteriak dan menghardiknya menjijikkan.

Hal tidak dapat menyalahkan orang lain. Siapa saja yang melihat wajah jeleknya yang penuh garutan. Dengan rambut gondrongnya bau akibat jarang dicuci pasti melihatnya jijik. Belum lagi mencoba menolong seorang gadis, membuatnya terlihat mencurigakan. Angka pemerkosaan di kota itu jauh lebih tinggi dari pada angka kematian dan angka kelahiran jika dijumlahkan. Semua laki-laki yang terlihat mencurigakan sepertinya membuat orang lain berusaha tidak mendekatinya. Meski ia tidak pernah memerkosa perempuan. Mungkin itu juga sebabnya teman Hal, si D enggan membolehkan ia menginap. D punya seorang adik perempuan.

Gadis itu menoleh pada Hal yang buru-buru menghentikan gelak. Dan kembali bangun dengan menepuk-nepuk jaket dan roknya. Gadis itu mendekati Hal dan menatapnya lekat-lekat. Lalu mengembuskan napas dan langsung pergi begitu saja, setengah berlari.

Hal terperanjat saat itu, saat gadis itu menatapnya. Bukan karena kali pertama ia ditatap oleh seorang gadis. Melainkan karena betapa tak asingnya wajah gadis itu. Memang benar, mereka bertetangga, tapi rasa Hal lebih dari itu. Seperti wajah gadis itu adalah wajah yang sudah lama ingin dilihatnya. Ia tanda dengan gadis itu, tapi sekali pun belum pernah ia benar-benar melihat wajah gadis itu. Dan tanpa bisa mengendalikan mulutnya, ia menyebutkan sebuah nama yang belum pernah ia dengar.

"Milly ...?"

Gadis itu menoleh dan terheran-heran. Lantas kembali lagi dan berdiri menghadap punggung Hal, "Paman Hal ...?" bisiknya.

Hal menggeser tubuhnya ke belakang. Mereka kini bertatap-tatapan. Mereka saling tanda bahwa mereka bertetangga. Meski begitu, tidak sekali saja mereka pernah mendengar nama yang mereka ucap. Tidak pula mengetahui nama masing-masing. Berbicara sebelumnya pun belum pernah. Gadis itu menarik semua rambut yang menutupi sebagian wajah Hal ke belakang. Ada sebuah perasaan yang menyelimuti mereka berdua. Bukan perasaan heran, takut, atau kebingungan. Rindu, mereka sudah lama tidak bertemu. Rasanya begitu. 

Dan dalam tatapan yang kian berlarut-larut itu, membawa langit kembali cerah malam itu. Bintang yang tertutup awan, gemerlapan kini. Bulan yang tadinya tak tampak, kini bulat sempurna. Dari samping mereka angin menerbangkan dedaunan kering. Daun yang entah dari pohon mana. Mereka bangun setelah agak lama saling menatap. Kembali berkedip. Seolah baru saja dari dunia mereka sendiri. Gadis itu langsung melepaskan tangan dari rambut Hal. Dan berbalik, lari pulang.

Hal masih duduk mendongak ke langit lagi. Ia yakin pasti entah di mana pernah tanpa sengaja mendengar nama gadis itu. Hanya saja ia lupa, makanya tiba-tiba saja ia menyebut nama gadis itu. Hal juga yakin gadis itu pun begitu. Yang lebih ia khawatirkan adalah bagaimana jika gadis itu menganggapnya penguntit. Namun segera hilang. Ia lebih khawatir dengan yang ada di rumahnya. 

Begitu pulang dan sampai di depan rumah, Hal membuka pintu tua yang berderit. Belum selesai ia membuka sandalnya, sudah datang orang yang menyambut. Ayahnya berdiri menyodorkan tangan di depannya. Langsung saja Hal memberi semua yang ada di kantungnya. Setelah mengira-ngira semua uang yang diberikan Hal, langsung saja ayahnya menarik rambut Hal.

Hal merogoh semua kantungnya baik di celana dan di baju, semuanya kosong dan bersaksi, "Cuma itu, hari ini sepi."

Setelah ayahnya keluar dari rumah barulah Hal mengambil sisa uangnya dari sebuah pot yang tidak ada bunganya. Sebelum masuk rumah, ia mengubur uangnya di pot milik tetangga sebelahnya yang kosong. Dan tanpa ia sadari, ayahnya belum benar-benar pergi. Maka dimulailah lagi perisakan dari ayahnya. Ia kehilangan semua uangnya, tapi mendapat beberapa parut baru dengan darah yang masih mengalir. Ibunya datang setelah melihat ayahnya pergi. Dan dimulai pula lagi perundungan verbal dari ibunya yang diakhiri oleh ludah dari ibunya. Sekarang darah dan air liur bercampur padanya. 

Hal berdiri dan menunjang pintu tua rumahnya. Mengisi lantai tiga apartemennya dengan kegaduhan. Ia cukup kuat untuk tubuh jangkung yang kurus kering. Meski pintu itu sama tuanya dengan dirinya mungkin. Tetangganya keluar dari rumah dan mendapati pintu rumah Hal yang sudah lepas. Mereka bertanya-tanya ada masalah apa lagi, bukan pada Hal tapi pada masing-masing dari mereka. Hal masuk ke rumah dan melihat ibunya yang sudah meringkuk ketakutan. Baru kali ini Hal melawan dalam seumur-umur. 

Setelah mengambil beberapa lembar uang di bawah sela-sela lemarinya, Hal berlari meninggalkan apartemen. Dengan jaket tebal yang dibelinya bekas di pekan loak tiap hari Kamis. Berlari-lari di tengah malam tak tahu entah ke mana. Sedangkan di apartemennya, seorang gadis memandangi punggungnya yang makin jauh sampai tidak kelihatan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 5
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hidden Kindness
349      236     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Golden Cage
441      244     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Katanya Buku Baru, tapi kok???
435      289     0     
Short Story
Ibu Mengajariku Tersenyum
972      490     0     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Until The Last Second Before Your Death
431      308     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5368      991     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gareng si Kucing Jalanan
6566      2773     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
SERENA (Terbit)
16583      2832     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Sherwin
342      224     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Bittersweet My Betty La Fea
2854      1027     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...