Tengah malam tadi, waktu aku meninggalkan sebuah pohon tua besar di pinggir kota. Apa yang aku minta benar-benar kejadian. Sejak berbulan-bulan lalu, di sekolahku menyebar sebuah rumor. Tentang sebuah pohon yang akan mengabulkan apa pun yang kau ingin. Namun, hingga sekarang belum ada yang bisa menemukan pohon itu. Sebab tidak hanya satu pohon di pinggir kota itu. Ada puluhan pohon tua yang masih hidup di sana. Dan setiap pohon sudah didatangi orang-orang, mereka tetap tidak mendapat mana yang mengabulkan permohonan. Semua pohon tampak sama saja. Tidak ada yang cukup berbeda dan menonjol dibanding yang lainnya.
Seminggu yang lalu, banyak murid dari sekolahku pergi ke pinggir kota. Mencari pohon dari rumor itu. Beberapa orang berpendapat bahwa yang mengabulkan permohonan adalah semua pohon di sana. Ada juga yang merasa perlu keadaan khusus untuk dapat membuat permohonan. Seperti manusia serigala yang harus berada di bawah bulan purnama untuk bisa berubah. Atau vampir yang hanya bisa keluar di kala malam. Yang pasti tidak sedikit pun aku tertarik pada hal-hal mitos begitu. Saat itu aku ikut pergi ke sana juga karena terpaksa. Bukan karena dipaksa ikut oleh teman, tapi dipaksa mengongkosi dan menjinjing tas mereka.
Semakin sore hari, semakin gelap pula di sana. Seluruh tanah dikelilingi pohon-pohon besar. Entah pohon apa saja itu, yang pasti usianya sudah ratusan tahun kata orang. Begitu jalanan aspal habis, hanya ada jalan tanah setapak. Harus melalui jalan itu untuk bisa ke tempat sana. Sudah banyak pohon-pohon pinus di sepanjang jalan, tapi itu hanya sambutan selamat datang. Karena pohon yang sesungguhnya, yang ingin didatangi jauh di dalamnya.
Bukan hanya kami para murid yang di sana. Sudah ada lebih dulu sekelompok orang, lelaki semua. Sebagian dari mereka hanya orang-orang tua dengan pakaian dekil dan bau keringat yang menyengat hidung. Mereka membakar ujung tembakau dan menghisapnya. Melebarkan asap ke sekeliling pepohonan. Sebagian lagi masih agak muda, tapi mereka sama dekilnya dan baunya dengan kelompok orang tua. Siapa pun yang melihat mereka akan sadar bahwa mereka adalah pekerja kuli. Mungkin mereka datang untuk meminta agar uang datang dengan sendirinya. Aku yakin sekali orang-orang seperti mereka adalah orang yang selalu kekurangan uang. Seperti mendiang ayahku dulu.
Satu dua daun gugur tepat di atas kepalaku, dan jatuh ke tanah. Itu mungkin hal yang biasa, sampai aku sadar yang jatuh daun yang masih hijau. Dan dalam sekejap saja sudah banyak daun itu berjejeran membentuk garis putus-putus. Ke sebelah kanan. Kakiku kubawa melangkah, mengikuti ke arah mana daun yang janggal membawaku. Sampai ke dekat sebuah pohon. Yang jauh tampak lebih tua daripada yang lain. Lebih ramping dan tinggi. Lebih gelap batangnya.
"Kembalilah ke mari saat ada yang hendak kau inginkan. Dan bawalah lawan jenismu. Sampai saat itu, aku akan menunggu."
Aku menoleh ke kiri ke kanan. Mendongak ke atas dan menunduk ke bawah. Melihat ke depan dan ke belakang. Tidak ada satu orang pun. Meski begitu aku tahu dari mana sesungguhnya suara itu berasal. Dari pohon di depanku.
Mulai hari itu aku yakin pohon yang mengabulkan keinginan itu bukan sekadar rumor. Setiap hari sebelum senja buta aku selalu ke sana. Aku selalu ingin menyebutkan apa yang kumau. Dan mulutku juga selalu membisu tiap kali ke sana. Belum lagi lawan jenis yang dikatakan pohon itu. Mungkin itu salah satu syarat. Dan mungkin juga pohon itu hanya mengabulkan keinginan sepasang kekasih atau sebagainya.
Sampai satu pekan setelahnya. Senja yang buta, diguyur hujan. Seluruh badan ikut basah. Malam itu aku menangis, tapi tak tampak berkat hujan. Aku tidak memegang sepeser saja uang. Karenanya aku hanya bisa berjalan ke pinggir kota, ke pohon. Tepatnya itu terjadi tadi malam. Aku berdiri depan pohon itu dan dengan kepala yang tak lagi bisa berpikir.
"Aku mau ... semuanya menghilang. Manusia dan hewan. Semua orang lenyap saja dari dunia ini. Aku mau sendirian."
Sesaat setelah baru saja mulutku berhenti bicara, ada suara gedebuk di depanku. Seseorang yang kukenal, atau lebih tepatnya beberapa kali pernah kulihat ada di sana. Di seberang pohon. Dia menangis, orang dewasa sepertinya. Menangis. Dengan mata merah yang berkedip-kedip. Dan napasnya yang terisak-isak. Dia melihatku lalu berlari. Jauh meninggalkan pohon dan aku yang tengah jatuh ke tanah. Kakiku tak sanggup lagi diajak tegak berdiri. Jauh sekali aku berjalan. Mengantuk, mataku terpejam. Dan aku tertidur. Sampai pagi.
Paginya setelah semalaman aku tertidur. Kakiku sudah bisa bergerak. Dengan jalan yang sempoyongan sambil memegangi batang pohon yang satu ke yang lain. Aku berhasil sampai ke jalan aspal. Di jalan aspal itu, ada pohon. Yang sampai semalam sama sekali tidak ada. Akarnya tumbuh menembus aspal jalan. Hingga jalan itu retak. Dan ada sepeda tergeletak di sebelahnya.
Kupikir kepalaku masih lelah, hingga melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Aku berteriak, "Sepeda siapa ini? Siapa pun!"
Tidak ada jawaban. Mengapa harus peduli sepeda siapa, pikirku. Aku hendak kabur pagi itu. Aku tidak ingin kembali ke rumah. Dengan sepeda itu aku pergi. Mencari tempat di mana aku bisa hidup sendirian. Dan tiba-tiba sepedanya berhenti. Bukan rusak. Aku sendiri yang berhenti mengayuh. Karena apa yang kulihat di jalanan. Jalan yang di pinggirnya sudah banyak rumah penduduk. Yang sekarang rumah-rumah itu sudah hancur oleh pohon. Setiap rumah bahkan di sepanjang jalan raya, pohon-pohon tumbuh. Pohon yang sama dengan yang ada di pinggir kota.
Telingaku menangkap teriakan seseorang, "Tolong! Tolong aku! Tanganku, kakiku, tolong!"
Seorang wanita dewasa yang hanya mengenakan handuk berlari ke arahku. Dengan secepat yang dia bisa, tapi terhenti. Dia jatuh sebab kakinya berubah menjadi akar. Kulit kakinya yang putih itu menggelap. Lalu mengeras dan memanjang, berubah menjadi akar dan masuk ke dalam tanah, menembus aspal. Perut dan punggungnya memanjang, menggelap, dan mengeras juga. Berubah menjadi batang pohon dan lengannya menjadi dahan. Kepalanya pun ikut menjadi dahan, menumbuhkan daun di sekelilingnya. Seorang wanita baru saja menjadi pohon!
Di sepanjang jalan orang-orang berlarian ke sana ke mari. Beberapa orang yang tengah berubah menjadi pohon akan dijauhi, seperti penyakit yang menyebar. Seperti wabah zombie. Bedanya mereka tidak jadi mayat hidup, melainkan pohon. Apa yang ada di kepalaku saat itu adalah bianglala. Seperti pertama kali mendiang ayah membawaku ke pasar malam. Saat umurku belum sampai enam tahun. Perasaan yang sama seperti mendapat permainan yang baru. Haruskah aku lari? Tidak. Jika seluruh dunia begini, sekolah tidak akan dibuka. Orang-orang yang ada di rumah juga pasti ikut kalang kabut.
"Semoga semua orang lenyap dari dunia ini. Hingga seisi dunia hanya milikku seorang. Lenyap dan jadilah sebuah pohon!" teriak aku di tengah jalan, mencampakkan sepeda.
Apa yang kali pertama kulakukan ialah berlari. Ke tengah-tengah kebingungan orang-orang, di tengah ketakutan, di tengah pepohonan. Aku menari, berdansa dengan angin. Berputar-putar dengan lengan terbentang. Aku yakin segalanya berkat pohon itu. Pohon yang mengabulkan permohonan.
Mulai hari itu aku hidup sendiri. Untuk diriku sendiri. Selama empat tahun lamanya. Sampai aku bertemu lagi dengannya. Orang yang menangis di tengah malam. Yang lari setelah melihatku.