Tidak ada satu pun suara. Milly yang di dalam lemari sampai bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Matanya yang cokelat mengintip dari sela di tengah pintu lemari, yang tidak ada tampak siapa-siapa. Saat terdengar langkah kaki, Milly menahan napas dan menggeser tubuhnya agak ke pinggir. Tangan-tangan kecilnya yang putih menutup kedua telinganya. Dan dalam sekejap saja, kedua pintu lemari dibuka dari luar! Ayahnya menemukan Milly! Setelah berteriak sesaat, Milly mengerucutkan bibirnya dan menyipitkan mata, kesal melihat ayahnya yang menang petak umpet.
"Haha, hari ini ayah tidak akan jadi beli mainan, ya?" bisik ayahnya yang sibuk menarik kedua pipi Milly agar menyunggingkan senyum.
Milly berdecak lidah dan meminta, "Gulali. Kata orang beberapa orang tua yang masuk golongan baik pasti membeli gulali untuk anaknya. Milly punya tidak, ya? Ayah yang baik."
Untuk ukuran anak lima tahun, Milly punya kepribadian yang sulit dibedakan buruk atau cerdas. Keahliannya menyindir dan menghina dengan lancar melekat sejak kecil. Ayahnya hanya bisa tersenyum tawar, kecewa dengan diri sendiri yang sulit menolak tuntutan anak yang tidak sopan. Sedangkan Milly masih melipat lengan di dada, baginya gagal membeli mainan karena ketemu saat petak umpet harus diganti dengan kesempatan mendapat gulali, yang hanya dijual di pasar malam sekarang ini. Lagi pula ayahnya belum pernah membawanya ke pasar malam, jadi tidak akan ada penolakan.
Senja buta hari itu, mereka berdua ke pasar malam yang baru dibuka sepekan. Ibunya juga ikut. Di jalan mereka bertiga diiringi tatapan jijik dari tetangga. Lalu bisik-bisik yang bisa didengar telinga mereka, tentang keluarga sesat air. Sebab Milly yang lahir di luar pernikahan ayah dan ibunya. Ketika masih sekolah dulu, ayahnya menghamili ibunya dan dipaksa menikah untuk bertanggung jawab. Meski begitu sampai sekarang mereka terus dikucilkan orang-orang. Milly adalah bukti betapa tidak beradabnya dua orang itu, kata tetangga. Berperan sebagai ayah yang baik, pria yang baru lewat dua puluhan, ayah Milly, tidak peduli dengan cemooh. Beda dengan ibunya yang jadi enggan jika harus bersama anak dan suami.
Kali pertama Milly ke pasar malam, hampir semua wahana dinaiki, meski ayahnya harus merogoh semua kantung yang ada. Bukan main harga sekali naik wahana. Apa lagi bianglala, harganya dinaikkan tinggi kurang tinggi. Jadi lebih banyak pengeluaran ketimbang membelikan mainan. Ada sedikit sesal dalam hati ayahnya, yang berandai jika saja tadi tidak bisa menemukan Milly saat petak umpet. Milly sangat ingin menaiki bianglala, ayahnya sampai harus memakai uang yang semestinya untuk istri besok. Sambil merapatkan kedua telapak tangan, ibunya hanya menoleh ke samping. Setelah semua itu, masih ada lagi tuntutan dari Milly. Gulali.
Beruntung mereka menemukan kios yang dijaga oleh kenalan ayahnya. Juga adik kelas ibunya dulu semasa sekolah, meski ibunya mengaku tidak pernah bicara bahkan tidak tahu siapa nama kenalan ayahnya itu. Ayah Milly tahu ketika kenalannya—yang juga kuli proyek yang bekerja dengan ayah Milly—bercerita betapa populernya dulu ibu Milly di sekolah. Seorang pria dengan beberapa parut di wajahnya, penjaga kios gulali, mengobrol sejenak bersama ayah Milly sebelum gulali diputar-putar dengan stik karton.
"Hari ini saya kasih gratis untuk mandor!" teriak pria itu menyodorkan tiga gulali.
Ayah Milly berterima kasih, "Beruntung rasanya punya kuli yang kerja apa saja. Jadi bisa dapat gratis macam-macam."
"Jadi, anak mandor ini siapa namanya? Baru saya tahu mandor sudah punya anak."
"Namanya Mi—eh? Ada yang pesan!" kejut ayah Milly melihat pembeli lain datang.
Obrolan mereka berdua berhenti di situ saja dan Milly diajak pulang seketika oleh ayahnya karena hujan turun. Agak lebat tiba-tiba.
Gulali. Saat ini pun—di usia yang sudah enam belas tahun—Milly tengah menggigit dan mengisap gulali merah muda. Bedanya kini Milly sendirian dan tidak di pasar malam. Milly singgah sebentar di dekat taman ketika berjalan pulang dari sekolah. Kenangan pertama kali ke pasar malam dengan ayahnya berkelebat begitu saja di kepalanya. Setelah melihat penjual gulali. Duduk dia di kursi taman dan segera bangkit begitu penganan tadi sudah habis. Setelah dipikirnya, hari ini pacar ibunya barang tentu di rumah. Urung pulalah dia pulang ke rumah dan hanya menunggu di taman sampai gelap.
Milly duduk kembali di kursi taman. Sepatunya yang lekang menggesek-gesek tanah yang menjadi huruf-huruf bertuliskan "Ayah" dan menghapusnya lagi dengan memijak tulisan itu lagi. Hari ini sebenarnya peringatan kematian ayahnya. Sudah sepuluh tahun lamanya ayahnya masuk ke liang lahat. Dan dalam sepuluh tahun itu sudah dua belas atau tiga belas kali ibunya bergonta-ganti pacar. Baru seminggu ayah Milly mati, ibunya langsung membawa pulang pria yang lebih muda. Ibunya akan melarang Milly masuk ke kamar jika membawa pulang pria.
Kecuali pacar ibunya saat ini, semua hubungan ibunya hanya bertahan setahun paling lama. Pacar ibunya saat ini sudah agak tua ketimbang ibunya. Semakin lama, tiap kali Milly ke luar rumah, tetangganya akan menjaga jarak. Ibu-ibu yang berkumpul di jalan bercerita sana-sini langsung awas melihatnya. Mereka akan mencemooh dengan suara kecil yang tetap dapat didengar. Tentang bagaimana ibunya yang jadi wanita sundal untuk memenuhi kebutuhan. Atau bagaimana mereka mengungkit Milly yang anak di luar nikah, jadi mereka tidak heran bagaimana ibunya dapat kumpul kebo dengan lelaki yang ganti-ganti.
Lalu saat di sekolah, teman sekelasnya tidak ingin bicara dengannya. Meski awalnya mereka mendekati Milly. Bak kata orang, bunga yang cantik akan dihinggapi banyak serangga. Milly punya paras yang kecantikannya alami tanpa harus celomok di muka, seperti kebanyakan murid perempuan di sekolahnya. Setiap murid baik lelaki mau pun perempuan selalu lebih dulu mengajaknya bicara, mengajak bermain entah ke mana, dan secara alami menjadi temannya. Sampai suatu hari itu, ketika salah satu murid di kelasnya bercerita dari mulut ke mulut. Perihal ibunya yang kumpul kebo dengan banyak lelaki atau bagaimana Milly lahir waktu ibunya masih sekolah. Dan secara alami lagi, orang-orang mulai enggan mendekatinya.
Beberapa murid perempuan akan berbisik di dekatnya, "Pastinya dia cantik. Lacur mana yang jelek saat ini, jika ibunya sudah begitu saat sekolah, maka dia pasti begitu sebentar lagi."
Begitu Milly menoleh pada mereka, semuanya akan membuang muka sambil tersenyum-senyum sendiri. Dan hingga kini Milly tidak bicara pada satu saja murid lebih dari setahun lamanya. Kecuali, beberapa murid yang kerap memintai uang padanya, atau Milly akan jadi bahan hinaan secara terang-terangan di kelas. Milly lebih mau memberi uang pada mereka ketimbang mendengar hinaan secara langsung, atau itu akan membuat rasa jijik pada ibunya menjadi-jadi. Sedangkan para guru juga tidak begitu mendekatinya, sebisa mungkin mereka tidak terlalu terlibat atau bahkan tidak perlu berhubungan dengannya.
Kelakuan orang-orang yang begitu padanya semakin membuatnya muak. Pernah saat pacar ibunya tidak di rumah, ketika Milly dan ibunya baru selesai makan malam. Milly meminta ibunya berhenti bermain-main dengan pria dan menikah saja. "Milly agak risi dengan cakap-cakap orang yang begitu. Kalau memang dia suka sama ibu, kenapa tidak menikah saja? Kecuali dia hanya mengincar tubuh ibu."
"Mulutmu itu tidak sekali saja pernah berubah dari kecil. Kalau ibu tidak seperti sekarang, kamu pikir dari mana asalnya makanan yang baru saja masuk ke perutmu itu? Jangan bicara buruk tentang pacar ibu!"
Ketika Milly memikirkan lagi semua perkataan ibunya itu di taman, semakin dia bertanya apakah ibunya menikmati situasi saat ini. Melarang bicara buruk tentang pacar ibunya yang jelas-jelas buruk dari segala sisi, kentara sudah ibunya juga suka pada lelaki itu. Saat berpikir di masa depan jika ibunya menikah dengan lelaki lain, pasti tidak akan mengubah pandangan orang-orang terhadapnya.
Dan tanpa sadar larut dalam pikirannya sendiri, hari sudah gelap. Milly belum juga ingin pulang. Ibunya masih ditiduri oleh lelaki. Jika dia pulang sekarang, dia akan muntah. Setiap kali Milly melihat hubungan ibunya yang tidak jelas dan tidak etis itu membuatnya jijik tidak karuan. Rasanya dia lebih baik tidur di taman itu saja.
Milly berpindah tempat duduk ke ayunan. Dia mendongak ke langit-langit dan berandai-andai bagaimana jika ayahnya tidak mati hari itu. Bagaimana jika ayahnya yang kikuk dengan tiap sindiran dari mulutnya tapi penyayang itu tidak jatuh dari lantai atas gedung yang dikerjakan sepuluh tahun lalu. Dan saat itu juga, dia tanpa sadar mengayun lebih kuat ke depan, dan terjerembab ke tanah. Jaket putih yang dikenakannya memang agak dekil, tapi jadi lebih jorok lagi kena tanah.
Milly bangun bertelut di tanah, menggelengkan kepalanya dan menampar-nampar kedua pipinya. Dia terlalu larut ke dalam pikirannya sendiri. Malu rasanya jika ada yang melihat, jadi dia celingak-celinguk memastikan tidak ada yang melihat. Begitu Milly menoleh ke kiri, ada pria seumuran ibunya yang tampak tidak asing mengatupkan bibir lekat-lekat. Milly tahu betul pria itu menahan tawa. Tanpa pikir panjang, dia mengambil tas dan berjalan cepat ke depan. Baru beberapa langkah, kakinya malah terpeleset di tanah yang licin. Kali ini mukanya yang menyentuh tanah. Setelah bangkit dan membersihkan muka, jaket, dan roknya, Milly menghampiri pria yang masih tengah menahan tawa dari tadi.
Saat itu juga Milly berniat mengeluarkan sindiran untuk pria itu sebab kesal bercampur malu. Milly menatap lekat-lekat wajah yang tertutup rambut ijuk sebagian itu. Wajah itu penuh parut. Urung langsung semua niat Milly yang tadi, dia terperanjat melihat wajah itu. Tidak salah lagi pria yang di depannya saat ini tetangganya yang sering ribut. Namun rasanya dia mengenal baik wajah itu, wajah yang sudah lama sekali ingin dia lihat. Bingung dengan diri sendiri, Milly pergi langsung meninggalkan pria itu di belakangnya.
Dan saat itu juga pria itu memanggilnya, "Milly ...?"
"Paman Hal ...?" bisik Milly berbalik ke belakang.
Tanpa sadar dan tanpa dapat mengendalikan diri, Milly kembali menghampiri paman yang tidak dia tahu bagaimana dia bisa tahu nama itu. Kedua tangan Milly langsung menarik rambut gondrong bau yang seperti ijuk paman itu ke belakang. Benar saja, Milly kenal baik orang di depannya. Bukan sebagai tetangga, tapi sebagai seseorang yang rasanya begitu dia rindukan.
Setelah agak lama, Milly melepas rambut paman itu. Dan kembali berbalik lagi, setengah berlari pulang ke rumah. Di jalan kembali Milly berpikir bagaimana dia tahu nama orang yang tadi dan kenapa rasanya hubungan mereka sangat dekat sampai rindu segala. Larut dalam pikirannya, Milly sudah sampai apartemen.
Ibunya di kamar mandi agaknya. Yang tengah duduk di ruang tamu adalah lelaki ibunya. Lelaki itu senyum memandangi Milly dan menjilat bibir sendiri. Itu yang paling mengganggunya, pandangan mesum dari lelaki itu. Rasanya lebih menjijikkan ketimbang para tetangga yang terus mencemooh. Milly langsung masuk ke kamar. Rasa bingung dan rindunya bertemu orang yang di taman tadi hancur. Digantikan rasa jijik pada lelaki ibunya.
Milly masuk ke dalam selimut tanpa melepas jaket dan seragam sekolahnya. Mencoba tidur untuk lupa tentang semua yang terjadi hari ini. Sesudahnya dentuman keras mengejutkan dirinya yang tengah terpejam mata. Milly keluar dari kamar, mendapati ibunya dengan lelaki itu sudah lebih dulu melihat keluar. Awalnya dia memang berencana melihat juga, tapi urung dan kembali ke kamarnya. Sementara di depan pintu rumahnya yang terbuka, seorang gadis melihat ke bawah, ke lantai satu. Gadis itu memandangi orang yang Milly temui di taman tadi berjalan meninggalkan apartemen.