Satu pekan berlalu, kegiatan Porseni resmi dibuka oleh Kepala Sekolah, setiap perlombaan sudah dimulai. Selama Porseni berlangsung, tak ada mata pelajaran masuk, guru-guru asyik menonton murid-murid yang berlomba, beberapa guru menjadi juri.
Di lapangan futsal sekolah sudah banyak siswa yang berkumpul, tak sabar menanti pertandingan futsal antara kelas XI IPS-2 melawan XI IPA-2. Entah kenapa, takdir mempertemukan kelas Azfar dengan kelas Fiskal tuk bertanding dalam olahraga futsal.
Saat peluit pertanda pertandingan dimulai, heboh kedua kelas saling mendukung para tim mereka yang bertanding di tengah lapangan, namun tidak bagi Ainun, gadis itu sejak tadi hanya diam, bingung mendukung tim mana; tim yang satu ada Azfar, seorang lelaki yang selalu membuat hari-harinya bahagia. Tim satunya lagi adalah kelasnya sendiri.
“Hei, kenapa tidak memberi semangat ke kelas kita? Tuh lihat, setengah mati teman-teman kelas kita bertanding.” Nining menyikut lengan Ainun.
Tak ada respon dari Ainun, gadis itu hanya fokus memandang Azfar yang tengah bertanding di lapangan. Nining mengikuti arah bola mata Ainun.
“Mmm... ternyata cinta merubah segalanya, ya. Lebih memilih orang yang dicintai ketimbang kelas sendiri!” celetuk Nining.
“Diam!” Ainun menatap sinis, membuat Nining berhenti menggodanya. Nining kembali fokus berteriak heboh, mendukung kelasnya.
Pertandingan semakin seru, skor imbang 1-1. Di tengah lapangan Fiskal terlihat ganas bertanding, lelaki itu ingin mengincar Azfar, menunggu bola berada di kaki lelaki itu.
Saat Azfar menggiring bola, dengan lajunya Fiskal berlari menghampirinya, padahal posisi mereka sangatlah jauh. Fiskal tiba pada Azfar saat bola berada di kaki lelaki itu. Fiskal langsung menendang dengan kuat—bukan bola tujuannya, melainkan kaki Azfar. Bugh. Tulang kering kaki kiri Azfar terkena tendangan kaki Fiskal. Azfar terpelanting ke depan, ia gunakan kedua tangannya untuk melindungi tubuh. Kulit telapak tangan Azfar terkelupas, berdarah. Wasit meniup peluit tanda pelanggaran. Beberapa teman se tim Azfar menghampiri Azfar yang terjatuh meringis kesakitan. Abimanyu dan Salman mendorong kuat-kuat tubuh Fiskal. Kedua tim hampir saling adu fisik, untung saja beberapa guru laki-laki segera melerai kedua tim. Azfar dibawa ke pinggir lapangan, lelaki itu masih saja meringis kesakitan. Kedua tangannya berdarah, dan…. bagian tulang kering kaki kirinya bengkak. Kasihan sekali! Dendam kesumat di diri Fiskal terus membara, tak ada setitik pun rasa kasihannya terhadap Azfar.
Ainun duduk bersimpuh di samping Azfar, menatap iba lelaki itu. Lelaki yang lemah lembut, selalu sabar jika disakiti. Kenapa harus ada orang yang membencinya? Hanya manusia tidak punya akal yang menyakiti orang seperti itu.
Tubuh Azfar diangkat beberapa siswa, dibawa ke ruang UKS dengan tergopoh-gopoh. Ainun dan Nining mengikut dari belakang.
Fiskal mendapatkan kartu merah, lelaki itu tak bisa lagi bermain, namun dia sudah puas, karena tugasnya di lapangan sudah selesai, yakni menyakiti Azfar.
Di ruang UKS.
Beberapa siswa, juga salah satu guru lelaki mulai meninggalkan Azfar yang terbaring kesakitan. Guru itu berpesan agar Azfar jangan dulu banyak gerak. Di ruang UKS tersisa Ainun, Nining, dan Azfar yang sedang dirawat.
Azfar terduduk di atas ranjang perawatan, menatap lamat-lamat kakinya yang bengkak.
“Aku sampai tidak habis pikir dengan Fiskal. Kenapa dia begitu tega melakukan ini pada Azfar.” Nining memecah keheningan di antara mereka. Ainun di sebelahnya meneteskan air mata, kasihan melihat keadaan Azfar.
“Eh, jangan menangis!” tegur Azfar saat melihat mata Ainun menetaskan butir air.
Ainun menyeka air matanya di pipi, “Sakit ya?”
“Geli.” Azfar bergurau, ia berusaha membuat kedua sahabatnya itu tersenyum, tak ingin ia dikasihani. Bagi Azfar, ia baik-baik saja.
Ainun dan Nining tentu tidak tertawa mendengar gurauan Azfar. Situasi seperti ini tak pantas untuk dibawa bercanda.
“Kenapa diam terus? Seharusnya kamu memberi pelajaran pada Fiskal!” Ainun berkata pelan.
“Pelajaran apa? Matematika? Sejarah?” Sambil menahan sakit, Azfar tetap terus bergurau.
Ainun medengus di sampingnya.
Azfar tersenyum. “Aku tidak bisa membalas perbuatan Fiskal dengan balasan yang sama, aku hanya bisa berdoa, semoga Allah menyentuh hatinya dan bisa berubah.”
Ruang UKS lengang, menyisakan suara jam di dinding.
“Kamu tidak bisa berjalan pulang nanti. Aku yang akan mengantarmu, pakai motor Ibu Mut,” kata Ainun, nada bicaranya serius.
Azfar menggeleng, “Biar Abi saja, dia bisa pinjam motor salah satu guru.”
Ainun hanya diam, namun hatinya tetap mengelak. Saat jam pulang nanti, Ainun berencana akan segera menemui Abimanyu.
“Kalau nanti Azfar memintamu untuk mengantarkannya ke panti, bilang saja kalau kamu ada urusan penting, oke?” pinta Ainun pada Abimanyu. Sekarang sudah jam pulang.
“Mengapa begitu?” Abimanyu tidak mengerti.
“Supaya aku yang mengantarnya pulang ke panti.”
“Oooh.” Abimanyu manggut-manggut, paham. “Cieeee...,” lanjutnya menggoda.
Ainun tersipu malu karena godaan Abimanyu.
Berjalan di koridor sekolah, Azfar di rangkul Salman, kaki kirinya masih terasa nyeri. Azfar bertanya-tanya di mana keberadaan Abimanyu.
“Katanya tadi dia ada urusan, jadi tidak bisa pulang sama-sama dengan kalian,” jawab Salman. Abimanyu juga sudah memberitahu pada Salman bahwa dia sedang ada uruan penting.
Dari kejauhan, Ainun berlari-lari kecil ke arah Azfar dan Salman.
“Motor sudah siap di depan gerbang, Ibu Mut mengizinkan aku untuk mengantarmu pulang,” kata Ainun saat tepat berada di hadapan Azfar.
“Tapi—”
“Syut! Tidak usah bawel, kamu harus segera pulang, biar segera istirahat.” Ainun memotong ucapan Azfar.
Benar kata Ainun, ia harus banyak istirahat. Jika pulang dengan berjalan kaki, itu tidak mungkin, kaki Azfar masih nyeri. Azfar pun mengangguk setuju. Hati Ainun gembira, ia akan membonceng lelaki pujaannya.
“Nining bagaimana? Jalan sendirian?” tanya Azfar.
Nining nyengir lebar, “Bonceng dua boleh?”
“Enak saja, nanti ban motor kempes.” Ainun bergurau, membuat mereka semua tertawa.
Dengan hati-hati Azfar menaiki jok belakang motor, agar kakinya tidak terbentur apapun.
“Hati-hati bonceng dia Ainun, dia lagi sakit.” Nining menepuk bahu Ainun. Ainun mengangguk, tersenyum. Hatinya diselimuti rasa bahagia, karena orang yang sedang dia bonceng adalah Azfar.
Motor jalan pelan membelah jalanan kota, beberapa siswa yang berjalan pulang memerhatikan mereka berdua. Aneh, cewek bonceng cowok?
“Ibu Mut benar-benar mengizinkan kamu mengantarku pulang?” tanya Azfar di atas motor.
“Ya ampun, iya, Azfar. Kamu masih belum percaya?”
‘Aku hanya takut Ibu Mut akan memarahimu saat tiba di rumah. Ibu akan mengira kita punya hubungan spesial.”
“Memangnya kenapa kalau Ibu mengira seperti itu? Sebuah masalah? Kan' nanti bisa aku jawab kalau kita hanya teman.”
Azfar tidak menjawab, dia termangu di jok belakang.
Ainun senyum-senyum mengendari motori. Angin menerpa wajahnya, matahari siang menyengat begitu panas, namun Ainun merasa tidak kepanasan, karena bisa didinginkan dengan rasa nyaman berdekatan dengan Azfar. Butir-butir cinta mulai hadir di dalam hati gadis itu.
Sepuluh menit, motor berhenti tepat di depan gerbang panti. Azfar turun, lalu bilang ‘terimakasih’ pada Ainun.
“Jangan dulu banyak gerak, biar kakinya cepat sembuh. Biar bisa ketemu di sekolah lagi.” Sedikit perhatian dari Ainun.
“Iya.” Azfar memberikan senyuman termanisnya.
Motor dikendarai Ainun balik kanan, kembali ke sekolah, menjemput Ibu Mutmainah.
Saat Azfar dan Ainun meninggalkan gerbang sekolah tadi, bergegas Abimanyu menghampiri Nining—kedua remaja itu berjalan kaki pulang ke panti.
Saat di kamar panti, Azfar bertanya pada Abimanyu, urusan penting apa yang dia lakukan tadi, sehingga tak bisa mengantarnya pulang?
Abimanyu mengatakan yang sebenarnya: “Ainun menyuruhku beralasan seperti itu, agar dia yang mengantarmu pulang.”
Azfar menepuk dahinya, “Sudah kuduga, itu sudah dia rencanakan.”
Abimanyu nyengir lebar, “Dia menyukaimu.”
Pipi Azfar bersemu merah, ia juga mengira seperti itu. Dari perlakuan Ainun padanya, Azfar yakin bahwa gadis itu menyukainya. Azfar segera berpura-pura ke kamar mandi, ia tak ingin Abimanyu melihat wajahnya yang bersemu merah karena malu.
***
Dua hari setelah Azfar cedera.
Kaki Azfar sudah lumayan membaik, cara jalannya sudah hampir normal, namun bengkaknya masih terlihat. Hari ini Azfar harus hadir di sekolah, karena ia harus tampil dalam lomba tilawah.
Usai salat Zuhur nanti lomba tilawah akan dimulai. Lawan Azfar nanti bisa dikatakan lumayan berat, karena ada beberapa orang siswa yang juga seperti dirinya, seorang Qori/Qori'ah.
Kelas XI IPS-2 kembali bising saat guru mata pelajaran ekonomi meninggalkan kelas, satu-dua siswa bermain sepak takraw di kelas, dengan meja sebagai netnya. Beberapa menyusun kursi, mengepel lantai, lalu tidur. Lazimnya anak IPS. Para siswa kelas XI IPS-2 lebih banyak yang menuju ke kantin, dan Azfar, Abimanyu dan Salman di antaranya.
Saat berjalan di teras kelas, Azfar belok kiri, pamit kepada Abimanyu dan Salman, bilang bahwa hendak ke toilet sebentar.
“Kami tunggu di kantin ya, Azfar,” kata Abimanyu.
Azfar mengangguk, lalu berlari-lari kecil menuju toilet. Ia tidak tahan lagi.
Saat keluar dari toilet, dari belakang Azfar, tiba-tiba seseorang menarik paksa tubuhnya, disandarkan ke dinding, orang tersebut meremas kerak seragam batik Azfar.
“Fiskal? Ada apa?” Azfar bertanya sesantai mungkin, berusaha menghilangkan rasa takut. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
“Heh, Penjual Kripik!” Fiskal merapatkan wajahnya pada wajah Azfar. “Aku akan berhenti mengganggumu, menghinamu, tapi ada syaratnya!”
“Apa?” tanya Azfar.
“Jauhi Ainun!”
Azfar menelan ludah kasar. Bagaimana mungkin dia harus menjauhi Ainun, sedangkan mereka sudah bersahabat dekat.
“Kalau saja aku masih melihatmu jalan sama dia, aku akan terus mengganggumu. Kamu dengar, hah?!”
Wajah Fiskal merah padam, pipinya mengeluarkan otot karena emosi. Menilik perlakuan Fiskal terhadap Azfar, dia benar-benar cinta mati pada Ainun, hingga lelaki manapun yang mendekati gadis itu, pasti Fiskal akan memusuhinya.
“Tapi kami berdua hanya sebatas teman, Fiskal, tidak lebih dari itu.” Azfar berkata jujur.
“Arghhh, teman, pacar, atau apapun itu, tetap jauhi Ainun!” Suara Fiskal mulai meninggi.
Azfar geming sejenak, dia bingung apakah harus menerima syarat itu atau tidak. Ainun sahabat baiknya, malah hati mereka sudah mulai menimbulkan bening-bening cinta. Di sisi lain, menjauhi Ainun, Fiskal akan berhenti mengganggu dan menghinanya. Sejujurnya, Azfar juga malu bila dirinya dilontarkan dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati.
Azfar mengangguk samar, “Baiklah, aku akan menjauhi Ainun.” Suara Azfar pelan, seperti tak tega memenuhi syarat itu.
“Awas saja kalau masih dekat-dekat dengan Ainun!” Fiskal melepas cengkeraman tangan dari kerak baju Azfar, lelaki itu pun melangkah sombong meninggalkan Azfar yang termangu di belakang.
Karena tadi sudah berjanji pada Abimanyu dan Salman, Azfar tetap berjalan menuju kantin, walaupun dia tahu, di kantin pasti sudah ada Ainun dan Nining.
Benar saja, keempat sahabatnya sudah duduk saling berhadapan di kursi kantin. Azfar menghampiri mereka.
“Eh, Azfar. Dari mana saja? Ayo duduk. Tunggu sebentar ya, aku pesankan minuman kesukaan kamu.” Ainun berdiri, segera memesan.
Azfar menggeleng cepat, “Tidak usah, Ainun.”
Ainun tak menghiraukannya, gadis itu sudah berdiri, berjalan menuju meja pemesanan. Lima menit, gadis itu sudah membawa jus alpukat, lalu menyerahkannya pada Azfar.
“Terima kasih.” Azfar tersenyum. Sepertinya itu adalah senyuman terakhirnya untuk Ainun, setelah ini tak akan ada lagi. Azfar harus menjauh darinya.
Suasana kantin tidak ramai seperti biasanya, karena banyak siswa yang sedang asyik menonton setiap perlombaan. Di kantin ini, mereka berlima tak ada jadwal lomba, makanya bisa berkumpul dengan lengkap.
Ainun bercerita riang di hadapan Azfar. Azfar fokus menatap wajahnya. Dari bola mata gadis itu, seperti ada cahaya kasih sayang dan cinta terpancar di sana, dan cahaya itu, Azfar rasa ditujukan pada dirinya. Setiap perlakuan Ainun padanya, dia bisa merasakan kepingan rasa cinta gadis itu padanya sudah mulai membesar.
Sebetulnya, Azfar juga sudah memiliki perasaan pada Ainun. Kedua remaja itu aneh, sama-sama menimbulkan rasa suka, namun masih berstatus sebagai sahabat. Azfar pernah duduk berduaan dengan teman cewek sekelasnya, hanya untuk mengerjakan tugas sama-sama. Ainun melihatnya, seketika itu juga rasa cemburu merasuk di dadanya.
Lamunan Azfar karena menatap wajah cantik Ainun membuyar seketika saat Fiskal dari kejauhan mengepalkan tinjunya ke udara—ditujukan pada Azfar. Azfar menunduk, dan Ainun bingung kenapa wajah Azfar tiba-tiba lesu. Ainun menoleh ke belakang, dia melihat Fiskal berdiri di sana.
“Kenapa? Kamu diganggu Fiskal lagi?” tanya Ainun.
Azfar menggeleng, “Tidak ada.”
“Jangan bohong.”
“Iya, tidak ada.” Azfar terpaksa berbohong.
Di kiri-kanan Azfar, Abimanyu dan Salman geram karena Fiskal tak henti-hentinya mengganggu Azfar.
“Kalau aku berada di posisi Azfar, sudah kuhajar si Fiskal itu sampai bonyok.” Abimanyu mengepalkan tangannya, menumbuk-numbuk meja kantin. Entah Abimanyu sengaja atau tidak, ia menumbuk tangan gempal Nining di atas meja.
“Arghh! Hei, kamu jangan lampiaskan dendammu pada Fiskal kepadaku!” Nining berdiri, menuju ke belakang Abimanyu yang sedang duduk, gadis gempal itu lalu mencekik leher Abimanyu dari belakang dengan sikunya.
“Aaaaa….” Abimanyu kesusahan bernapas.
Salman dan Ainun setengah mati menahan tawa karena tingkah-laku Abimanyu dan Nining, namun Azfar hanya tersenyum tipis, wajahnya mulai terlihat tidak bersemangat.
Siku Nining masih melilit batang leher Abimanyu. Abimanyu tak lagi merasa kesakitan, karena penguncian Nining sudah dia pelankan. Abimanyu mendongak melihat Nining di belakang, matanya memberi kode pada Nining untuk melihat Azfar yang hanya menunduk.
“Hoi!” Nining menepuk pundak Azfar, membuat lelaki itu terkejut. “Kamu kenapa? Dari tadi keliatan tidak bersemangat. Ada masalah?”
“Tidak ada,” Azfar menjawab singkat. Ia beranjak dari duduknya. “Aku ke kelas dulu.”
“Jangan sembunyikan masalah dengan kami Azfar. Kalau ada masalah, cerita.” Kata Ainun pelan, menahan langkah Azfar.
“Aku baik-baik saja.” Azfar tersenyum, lalu kembali melangkah meninggalkan sahabat-sahabatnya.
Abimanyu menghembuskan napas pelan, “Mungkin dia kurang enak badan.”
Mulai detik itu juga, Azfar benar-benar menjauhi Ainun.