Hari-hari melesat begitu cepat, tak terasa hampir tiga bulan sudah Azfar, Abimanyu dan Nining bersekolah di SMA Sultan Alauddin.
Di pagi senin yang cerah, matahari menyiram lembut pelataran sekolah. Siswa silih berganti memasuki gerbang sekolah. Sepuluh menit lagi bel pertanda upacara akan berbunyi.
“Nining, kamu mau langsung ke kelas atau temani kami berdua dulu antar Jalangkote ke kantin?” Abimanyu bertanya pada Nining, mereka sedang berjalan di tengah lapangan basket, Azfar juga bersama mereka.
“Aku ikut ke kantin,” jawab Nining.
Tiba di kantin, Azfar menyerahkan tupperware besar berisi limapuluh Jalangkote ke Ibu pemilik kantin. “Ini jalangkote hari ini, Bu.”
“Oke, Azfar. Letakkan saja di situ.” Ibu kantin merogoh tas selempang kecilnya, lalu mengeluarkan uang sebesar empatpuluh ribu. “Ini hasil jualan kemarin.”
“Baik, terima kasih banyak, Bu.” Azfar tersenyum.
Setiap harinya, Azfar dan Abimanyu menyerahkan limapuluh Jalangkote ke kantin langganan mereka, dan itu semua selalu laku terjual. Satu Jalangkote harganya seribu rupiah. Azfar dan Abimanyu mendapatkan uang empatpuluh ribu perhari, dan sepuluh ribu untuk Ibu kantin.
Bisnis Kentang Arab mereka juga masih terus berjalan. Setiap harinya mereka membawa duapuluh bungkus. Nining selalu turut membantu dalam penjualan Kentang Arab. Jiwa bisnis mereka mulai membara dalam diri. Bagi mereka, berbisnis itu menyenangkan, apa lagi jika sudah mendapatkan hasilnya, rasanya begitu menyenangkan; senang karena bisa mendapatkan penghasilan sendiri, dan bisa meringankan beban orang tua.
Bel berbunyi, para siswa berarak-arakkan menuju lapangan upacara.
“Assalamualaikum.” Seseorang menyapa Azfar dari belakang saat lelaki itu berjalan menuju lapangan.
“Waalaikumussalam. Eh, Ainun.” Azfar tersenyum. Setengah wajahnya diterpa sinar matahari. Azfar selalu tampil dengan rapi saat di sekolah.
“Dasi sudah rapi, baju juga sudah, rambut jugaa....” Ainun mengamati Azfar dari ujung kaki sampai kepala. “Mmm.... Apa lagi ya?.... Eh, iya, topinya dipakai, dong.”
Azfar memakai topi sekolahnya.
“Nah, sempurna, dan.... Ganteng.” Jemari Ainun berkacak, tubuh gadis itu bergoyang-goyang karena sedikit malu.
“Eh, ayo, nanti kita dicambuk sama Ibu Novi kalau terlalu lama berdiri di sini.” Buru-buru Azfar mengalihkan suasana baper-baperan, ia menahan gerak-gerik tubuhnya yang hampir saja salah tingkah karena ulah Ainun.
Segera Azfar dan Ainun masuk ke barisan kelas masing-masing.
Azfar berlari-lari kecil menuju barisan, tiba-tiba seorang siswa lelaki menyenggolnya dengan keras, sambil berucap: “Minggir, anak miskin!”
Azfar memperbaiki bajunya dan dasinya sedikit bengkok, sambil menatap lelaki yang menyenggolnya itu berlari menuju barisannya. Azfar kenal dengan lelaki itu, dia teman sekelas Ainun, namanya Fiskal. Awal mula kedekatan Azfar dan Ainun, Fiskal mulai menampakkan kebenciannya pada Azfar.
Pembina upacara pada pagi itu adalah Kepala Sekolah (Kepsek). Kepsek menyampaikan beberapa hal, salah satunya adalah kegiatan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) yang akan dibuka pekan depan.
“Dengan menyambut hari ulang tahun sekolah kita yang ke-16 tahun, tepatnya pada tanggal 30 Januari nanti, maka para guru, dan semua anggota OSIS mengadakan Pekan Olahraga dan Seni atau Porseni. Kegiatan ini diadakan setiap tahunnya menjelang ulang tahun SMA kita. Insya Allah, kegiatannya akan dibuka pekan depan, tanggal 23 Januari, dan baru ditutup tepat di hari ulang tahun nanti, sekalian penerimaan hadiah bagi para pemenang.” Demikian penyampaian akhir Kepsek yang disambut gemuruh suara tepuk tangan para siswa, semua terlihat gembira, karena kegiatan ini yang para siswa tunggu-tunggu.
“Kamu akan ikut lomba apa, Azfar?” Abimanyu bertanya saat jam istirahat, di kantin. Di sana juga ada Nining, Ainun, dan Salman. Mereka duduk di satu meja besar.
“Futsal dan Tilawah.” Azfar berkata mantap.
“Wah, keren! Kalau lomba tilawah, kamu tidak perlu diragukan lagi, suara kamu indah dan merdu.” Ainun mengacungkan jempol pada Azfar.
Mereka berlima menghabiskan waktu istirahat di kantin. Percakapan masih berlanjut tentang Porseni. Abimanyu juga akan mengikuti lomba futsal. Salman akan ikut lomba bulutangkis. Ainun ikut lomba baca puisi dan cerdas-cermat. Dan Nining, gadis gempal itu akan ikut lomba Volly, olahraga itu adalah hobinya sejak SMP.
“Andai saja ada lomba lari maraton, aku ingin Nining mengikuti lomba itu, supaya berat badannya turun drastis,” celetuk Abimanyu.
“Apa kamu bilang!” Nining mencubit sangat keras lengan Abimanyu, hingga lelaki itu meringis kesakitan.
Meja kantin tempat mereka duduk dipenuhi gelak tawa. Mereka kembali menikmati pesanan mereka masing-masing. Tiba-tiba, seseorang mengambil gelas minuman Azfar, lalu disiramkannya ke baju lelaki itu, hingga basah dan bernoda. Seketika itu juga Abimanyu dan Salman bangkit dari duduknya.
“Hei! Ada apa ini, Fiskal?” Hardik Abimanyu, wajahnya merah padam.
Fiskal tak menjawab, ia hanya berkata pada Ainun: “Kamu tidak pantas dekat sama si laki-laki Miskin ini!” Fiskal menunjuk ke arah Azfar.
“Hei! Jaga mulut kamu!” Abimanyu memukul keras meja kantin, lalu maju menghampiri Fiskal. Tangannya mengepal kuat.
Azfar hanya diam, wajahnya teduh, seperti tak terjadi apa-apa. Cacian dari mulut Fiskal bukannya mambuat Azfar marah, ia hanya menenangkan sahabat-sahabatnya.
Kantin yang tadinya bising karena percakapan, sesekali gelak tawa oleh para siswa pengunjung, kini menjadi lengang seketika. Semua mata tertuju pada mereka yang sedang berkonflik.
Azfar manahan tubuh Abimanyu agar lelaki itu tidak mendekat pada Fiskal. Azfar khawatir, Abimanyu akan melayangkan tinjunya pada Fiskal. Adalah tipe Abimanyu seperti itu, jika sahabatnya, atau orang terdekatnya disakiti, dia akan menjadi garda terdepan untuk membela.
“Maksud kamu apa, Fiskal?!” Ainun juga menghardik lelaki itu, wajahnya juga penuh emosi, tatapan benci dia lemparkan pada Fiskal.
“Kamu tidak pantas dekat sama dia! Lihatlah, seorang pendatang, miskin, sebatang kara!” Lagi-lagi Fiskal menunjuk ke arah Azfar.
Dari belakang Azfar, seorang lelaki melangkah dengan penuh emosi ke arah Fiskal, lalu melayangkan tinjunnya.
Bugh, bugh, bugh.
“Salmaaann!!” teriak Azfar, ia langsung mendekap erat tubuh Salman, melerainya agar berhenti meninju.
Fiskal memegang pipinya, ia meringis kesakitan. Tinjuan Salman begitu kuat.
Saat Salman maju, menghajar Fiskal, banyak siswa yang terkejut, betapa tidak? seorang pendiam, baru kali ini beraksi seperti itu.
Puluhan siswa sudah mengelilingi mereka, hingga tiba beberapa guru laki-laki, melerai perkelahian mereka. Azfar, Abimanyu, Salman dan Fiskal dibawa ke kantor untuk diinterogasi.
Baju disiram, dihina, tapi Azfar terlihat biasa saja. Ia menerima semua perlakuan Fiskal itu dengan penuh kesabaran. Namun, saat dipanggil ke kantor, hal itu yang membuat Azfar tidak suka. Ia khawatir, karena: pertama, ia adalah siswa pendatang dari Palu, itu akan membuat namanya dan kota asalnya jadi buruk di mata para guru. Kedua, Azfar sangat malu jika Fiskal mengatakan yang sebenarnya, atau Abimanyu dan Salman yang akan mengatakannya: hanya karena satu cewek, mereka jadi berkelahi. Apa yang harus Azfar utarakan di depan guru nanti saat diinterogasi? Boleh jadi, guru-guru akan mengira salah satu dari mereka adalah pacar dari Ainun. Yang paling Azfar malukan lagi, jika di kantor nanti ada Ibu Mutmainah melihat dan mendengar semuanya, karena Ibu Mutmainah adalah kakak kandung Ainun.
“Ooh, ternyata ada wajah-wajah pendatang yang berbuat masalah di sekolah ini,” kata Bapak Kepala Sekolah sambil berjalan mendekati keempat siswanya yang bermasalah.
“Kami tidak salah, Pak, dia ini yang sa—.”
“Diam!” Bapak Kepsek memotong pengakuan Abimanyu, suaranya menggema di ruang kantor.
“Apa benar, kalian berkelahi hanya karena satu cewek?” tanya Bapak Kepsek, suaranya sedikit meninggi.
Tidak ada jawaban, mereka berempat menunduk dalam.
“Apa benar itu penyebabnya?” tanya Bapak Kepsek sekali lagi, kali ini volume suaranya semakin meninggi.
“Tidak, Pak,” jawab Azfar cepat.
“Terus, kenapa sampai kalian berkelahi?” Wajah Kepala sekolah merapat ke kepala Azfar.
“Ada kesalahpahaman, Pak.... Fiskal seperti tidak suka jika saya berteman dengan Ainun.” Azfar mengangkat sedikit wajahnya, melihat ke arah Bapak Kepsek.
“Berteman? Bapak dengar kalian pacaran?”
Azfar menggeram dalam hati. Benar saja, guru-guru akan mengira bahwa Ainun adalah pacarnya, padahal tidak.
“Panggilkan Ainun!” titah Bapak Kepsek ke salah satu murid yang ada di depan pintu kantor, ternyata Ainun juga sudah ada di sana, gadis itu segera masuk.
“Saya dan Azfar hanya berteman, Pak. Entah kenapa Fiskal tiba-tiba langsung menyiram baju Azfar dengan minuman. Bukan hanya itu, Fiskal juga menghina Azfar—,” suara Ainun tercekat sejenak, tatapannya tertuju pada Azfar.
“Dihina bagaimana?” tanya Bapak Kepsek tidak sabar.
“Azfar dikatai ‘orang miskin’, 'anak sebatang kara’,” Ainun berkata pelan. Azfar menunduk lebih dalam mendengarnya.
Kepala sekolah menarik telinga Fiskal kuat-kuat, ia merasa bersalah karena telah mengira bahwa kedua remaja pendatang itu yang membuat masalah duluan, ternyata Fiskal lah biangkeroknya.
Sebagai hukuman, Fiskal diskorsing, tak boleh masuk sekolah selama satu pekan.
“Kenapa tadi kamu malah manahan kami untuk menghajar si setan itu?” tanya Abimanyu saat mereka berjalan menuju kelas.
“Orang seperti itu tak usah diladeni, cukup anggap sebagai angin lewat saja setiap caciannya.” Azfar tersenyum. “Bukannya saat itu sedang terjadi transfer pahala dan dosa? Orang yang menghina kita, pahalanya akan berpindah ke kita, dan dosa kita pindah ke dia. Itu bagus sekali, bukan?” lanjut Azfar.
Abimanyu dan Salman hanya terdiam mendengar ucapan Azfar, hati mereka belum bisa se tabah Azfar.
Sejak kecil, Azfar sudah diajari Azizah akhlak-akhlak mulia. Azizah pernah berkata pada Azfar: jangan membalas kejahatan orang dengan balasan kejahatan pula. Balaslah dengan kebaikan, karena sesungguhnya itu akhlak paling mulia, derajatnya sangat besar di sisi Allah.
Kejadian di kantin tadi bukanlah akhir dari rasa benci Fiskal terhadap Azfar. Makin hari dendam Fiskal terhadap Azfar kian bertambah. Setelah dari kejadian di kantin itu, Fiskal tak henti-hentinya menghina Azfar, namun sekarang tak berani menghina di depan sahabat-sahabatnya, karena itu akan menimbulkan perkelahian lagi di antara mereka.
Saat berpapasan, Fiskal biasa meneriaki Azfar di depan banyaknya siswa, seperti: anak miskin, anak sebatang kara, si penjual kripik. Azfar selalu menanggapinya dengan senyuman. Bukan hanya sahabat-sahabat Azfar saja yang emosi dengan perlakuan Fiskal terhadapnya, tetapi juga siswa lainnya. Siswa lainnya berpikir: kenapa Azfar tidak membalas? Kenapa rasa sabarnya begitu besar? Apakah telinganya tidak panas mendengar setiap cucian dan hinaan dari Fiskal?