Sore hari.
Kepala Desa mengumumkan agar semua warga desanya menuju lapangan sepak bola. Lapangan itu jauh dari bibir pantai. Beberapa tenda darurat sudah didirikan oleh para petugas di sana. Mendengar kabar tersebut, Azfar, Azizah dan Adirah segera menuju ke sana. Sesamapainya di sana, mereka melihat banyak petugas sedang membagi-bagikan makanan.
“Ibu dan Adirah tunggu di tenda saja, biar Azfar saja yang mengambil makanan,” kata Azfar.
Sepagi tadi, semua warga belum makan sama sekali, termasuk Azfar dan keluarganya.
Azfar mendapatkan dua nasi bungkus dan dua botol air mineral. Dia memberikan dua bungkus nasi itu kepada Azizah dan Adirah. Azizah menggeleng lalu berkata:
“Azfar dan Adirah duluan saja makan, ibu masih kenyang.”
Azfar menggeleng tegas, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Azizah. Ia yakin bahwa Azizah berbohong. Azfar pernah mendengar ceramah agama di sekolah, bahwa seorang ibu sering berbohong pada anak-anaknya. Berbohong bukan karena seorang ibu jahat, tapi demi kebaikan anak-anaknya. Jika ada makanan, seorang ibu akan mementingkan perut anaknya terisi terlebih dulu, padahal sesungguhnya ia juga lapar.
“Ibu dan Adirah saja yang duluan makan, aku masih kenyang,” Azfar balas berbohong. Lelaki itu berpamitan sebentar pada Ibunya, bilang ada sesusatu yang penting, padahal tak ada sesuatu yang penting sama sekali. Itu semua ia lakukan agar Azizah dan Adirah bisa makan dengan kenyang.
“Azfar, satu bungkus ini bisa untuk ibu dan kamu, ibu tahu kamu juga pasti lapar.” Azizah tersenyum, membuka bungkusan nasi, menyodorkan pada Azfar. Tapi Azfar tetap harus pergi, baginya, sebungkus nasi itu belum cukup untuk mengenyangkan perut Azizah.
“Iya, Bu, makan saja duluan, Azfar mau pergi sebentar.”
“Baiklah.” Azizah mengalah dengan tingkah putranya seperti itu.
Azfar sangat sayang sekali pada Azizah dan Adirah. Apapun akan dia lakukan demi mereka. Semenjak mendengar ceramah di sekolah itu, ia mulai mendahulukan Ibunya makan sebelum dia. Sebelum bencana itu menimpa, setiap hendak berangkat ke sekolah, Azizah selalu mendahulukan anak-anaknya makan, tapi Azfar malah mengancam: "Jika Ibu tidak ikut makan, Azfar juga tidak akan makan.”
***
Malam harinya, petugas menyalakan genset, beberapa petugas lagi ada yang memasang lampu di dalam dan di luar tenda. Untung saja langit cerah, terlihat di angkasa bulan menggantung dengan indah, dihiasi jutaan bintang di sisi-sisinya. Jika saja hujan turun, bagaimana dengan nasib korban yang tak bisa masuk ke dalam tenda darurat, karena sudah penuh oleh korban lainnya?
Tenda terasa pengap, satu dua suara tangisan bayi terdengar. Malam itu juga sebagian petugas membagikan nasi bungkus ke para pengungsi. Kali ini Azfar mendapatkan tiga nasi bungkus. Azizah sangat senang.
Azizah memiliki akhlak yang baik. Ia adalah wanita yang sholehah, makanya tak heran, putra-putrinya tumbuh dengan cerdas, akhlak yang baik, dan paham sedikit demi sedikit ilmu agama. Azizah tak pernah meninggalkan salat lima waktunya. Karena kebiasaannya yang tak pernah meninggalkan salat, kebiasaan itu terbawa kepada kedua anaknya.
Usai makan malam, Azizah mengajak Azfar dan Adirah untuk pergi mengambil air wudhu, mereka akan melaksanakan salat Isya.
“Bu, kita salat di mana? Di dalam tenda tidak ada ruang untuk salat,” tanya Azfar.
“Kita salat di luar tenda saja.”
Azfar mengangguk, lelaki itu segera menuju tenda petugas, bertanya apakah ada tikar atau terpal yang bisa dipinjam untuk salat. Salah satu petugas mengangguk, memberikan selembar tikar untuk Azfar.
Salat pun mereka laksanakan di luar tenda—Azfar imam. Dalam salat, Adirah masih menengok kiri dan kanan; seperti itulah salat seorang anak kecil—belum bisa serius, mereka perlu diberikan bimbingan dan contoh lagi. Jika seorang anak sejak usia dini diajarkan dan dibiasakan untuk salat, maka hingga tumbuh dewasa ia tak akan pernah meninggalkannya, karena sudah terbiasa sejak dini dan mulai cinta terhadap salat, bahkan meninggalkannya satu waktu saja akan merasa gelisah.
Sepuluh menit, salat isya pun selesai. Azfar, Azizah dan Adirah segera masuk ke tenda darurat, hendak istirahat.
Di dalam tenda, para pengungsi tidur hanya beralaskan terpal, tak ada bantal dan selimut. Udara sangat dingin sampai menusuk ke tulang. Tak perlu menunggu lama merebahkan badan ke tarpal, Adirah sudah terlelap dalam tidurnya. Azizah menatap putrinya yang masih berusia 6 tahun itu dengan raut wajah sedih.
Suasana di dalam tenda lengang. Semua pengungsi mulai beristirahat.
***
Hari ke tiga setelah bencana. 30 September 2018.
Azfar, Azizah dan Adirah sudah dua hari tidak menganti pakaian. Di tubuh mereka masih dengan pakaian di kejadian dua hari yang lalu. Azfar masih mengenakan celana pramuka yang saat ia tertelan lumpur kemarin, dan baju kaos loreng pemberian TNI.
Para petugas terus beroperasi di lokasi terpaan tsunami. Kabarnya, sampai saat ini masih ada warga yang belum ditemukan. Hari ke tiga setelah bencana itu, jumlah mayat yang ditemukan terus bertambah.
Di tenda darurat itu, Azfar didatangi oleh pamannya—adik dari Azizah—namanya Zaldin, umurnya 29 tahun. Ia sudah menikah satu tahun yang lalu. Zaldin menemui mereka bertiga di tenda darurat.
“Apa kabar, Azizah?” sapa Zaldin.
“Alhamdulillah, baik. Dua hari yang lalu buruk," jawab Azizah, namun sambil tersenyum. Senyumnya manis. Mulai tampak kriput di kulit wajahnya.
Adirah melihat kedatangan pamannya seketika bersorak gembira. “Halo, Om Zaldin.” Wajah cantik dan imut itu terlihat sangat menggemaskan.
“Halo, Adirah.” Zaldin membalas sapaan Adirah.
Zaldin ikut duduk di tengah-tengah ramainya pengungsi, ia memperhatikan seluruh isi tenda; ada yang tertidur, ada seorang ibu yang menyusui anaknya, juga ada yang menghayal: mungkin isi kepalanya sarat, semua tentang kejadian dua hari yang lalu. Kejadian itu sangat menyakitkan sekali bagi para korban, seperti tak menyangka itu semua terjadi.
“Azizah, kamu dan anak-anakmu dipanggil Ibu ke rumah, katanya tinggal di rumah saja,” kata Zaldin.
Azizah tidak enakkan. Walaupun rumah itu dulu juga rumahnya, tapi sekarang di rumah itu sudah ada istri Zaldin. Ia tak ingin merepotkan siapa pun. Azizah menggeleng. Ia menolak.
“Azizah, aku mohon, kamu dan anak-anakmu tinggal di rumah Ibu saja. Itu juga rumahmu. Isriku juga menunggu kalian,” ajak Zaldin kembali, wajahnya serius.
Azizah mengangguk. Sebenarnya ia tetap tak ingin tinggal di rumah Ibunya. Karena memikirkan Adirah yang kalau malam kedinginan tidur di tenda darurat, membuat tidur jadi tidak nyenyak, dan Zaldin sangat memohon agar mereka tinggal di rumah Nenek, akhirnya Azizah mengiyakan permintaan Zaldin.
Rumah Nenek tak jauh dari lapangan pengungsian, sekitar duaratus meter, namun sudah berbeda desa dengan Azfar. Lapangan sepak bola yang saat ini dijadikan pengungsian masih bagian dari desa Azfar tinggal. Rumah Nenek Azfar juga jauh dari bibir pantai, sehingga tak terkena hantaman tsunami. Rumah Nenek utuh, hanya ada beberapa retakan akibat gempa, masih layak untuk dihuni.
Pagi itu, mereka akan pindah ke rumah Nenek. Azfar berpamitan pada petugas yang ada di tenda utama, bilang bahwa ia bersama Ibu dan Adiknya akan pindah ke desa sebelah.
Setiba di rumah Nenek, Azfar, Azizah dan Adirah disambut hangat oleh sang Nenek dan istri Zaldin, Indri.
Nenek Azfar bernama Arni, usianya sudah 70 tahun. Fisiknya masih kuat. Nenek Arni memiliki empat orang anak: Azizah adalah anak pertama. Tiga adik Azizah bernama Wina, Mawan, dan Zaldin. Semua anak Nenek Arni sudah menikah. Wina menikah dengan lelaki orang Jawa; sekarang ia tinggal di Jawa bersama suaminya. Sedangkan Mawan, ia menikah dengan wanita orang Bone, Sulawesi Selatan. Wina dan Mawan berkunjung ke rumah biasanya saat di hari-hari besar, seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
Wina dan Mawan sudah mengetahui berita yang menimpa kota Palu, Sigi dan Donggala dari televisi. Mereka berdua juga sudah berkali-kali menelepon ke nomor Azfar dan Zaldin, namun tak ada balasan. Tak ada balasan dari Azfar, karena ponselnya sudah rusak akibat terendam lumpur dua hari yang lalu. Sedangkan Zaldin, ponselnya aman, namun jaringan internet mati total di tiga kota terdampak bencana itu.
Di ruang tamu itu, mereka saling berbagi cerita tentang kejadian tiga hari yang lalu. Nenek Arni terisak saat mendengar cerita dari Azfar. Di tengah-tengah perbincangan mereka, Indri berdiri dan pergi ke kamar. Beberapa menit kemudian, ia pun keluar membawa pakaian.
“Kak Azizah, ini ada pakaian saya, silakan dipakai. Sekaran, baju saya baju Kakak juga,” ucap Indri, tersenyum.
Indri sangat baik. Melihat pakaian yang dipakai Azizah lusuh, tanpa menunggu perintah dari sang suami, ia segera mengambil baju di kamarnya.
“Terima kasih banyak, Indri,” Azizah balas tersenyum.
“Bagaiman dengan pakaian Adirah?” tanya Nenek Arni.
“Mungkin dia bisa pakai kaosku yang sudah kecil, Nek. Adirah mau?” jawab Indri yang kemudian bertanya pada Adirah.
Adirah mengangguk gembira.
Zaldin juga memberikan pakaiannya pada Azfar. Beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun sudah berganti pakaian.
“Wah, Adirah terlihat lebih cantik mengenakan baju itu,” Azfar cekikikan saat melihat Adirah yang sudah berganti pakaian. Baju yang Adirah kenakan menelan tubuh kecilnya.
“Aaa.... kakak pasti sedang meledek Adirah.” Adirah mengernyit.
“Hahaha... kakak tidak bermaksud meledek Adirah. Tapi, kalau boleh jujur, Adirah pakai baju apapun tetap terlihat cantik.”
Wajah gadis berusia enam tahun itu bersemu merah.