Hari ke empat setelah bencana. 1 Oktober 2018.
Pukul sepuluh pagi, Azfar ingin melihat keadaan di luar sana—menyaksikan kesibukan para petugas yang terus mengevakuasi korban, melihat mobil-mobil relawan berlalu-lalang di jalan poros, juga alat-alat berat yang terus bekerja. Azfar berjalan kaki menuju desanya, lokasi paling parah diterjang tsunami. Pertama, ia singgah di pelataran bekas rumahnya; puing-puing rumah masih menggunung di sana. Alat-alat berat masih saja sibuk menyingkirkan puing-puing tersebut yang menutupi jalan poros, mungkin beberapa hari lagi akan diangkut ke truk dan entah dibuang ke mana. Azfar terus berjalan hingga bertemu dengan sekumpulan anak remaja yang juga satu desa dengannya. Semua remaja itu teman-teman Azfar juga—mereka semua duduk di pinggir jalan poros.
Wajah remaja-remaja itu penuh dengan rasa ikhlas menerima semua yang telah terjadi, senyum yang terukir di wajah mereka indah bagai hilal di langit yang kelam. Sesekali ketika melihat truk petugas yang melintas, mereka akan meneriaki: “SEMANGAT, BAPAK-BAPAK. TERIMA KASIH SUDAH MEMBANTU KAMI.” Kadang para petugas membalas teriakan itu dengan lambaian tangan dan ada juga yang balas berteriak dari truk: “SEMANGAT! PASIGALA KUAT, PASIGALA BANGKIT!” Teriakan-teriakan itu disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari anak-anak remaja korban bencana. Senyum indah terlukis kembali di wajah mereka.
“Hei, Pasigala itu apa?” Seorang remaja bernama Abimanyu menyikut lengan Azfar, bertanya.
“Palu-Sigi-Donggala,” jawab Azfar.
Bukan hanya truk-truk petugas, juga ada mobil-mobil relawan yang melintas. Pagi itu, sebuah mobil relawan singgah karena melihat anak-anak remaja yang berkumpul. Beberapa relawan turun dari mobil sambil mengeluarkan sekantong plastik besar berisi nasi bungkus untuk diberikan kepada mereka semua. Beberapa remaja berlari menghampiri dan menerima nasi bungkus tersebut seraya mengucapkan 'terimakasih'.
Setelah mobil relawan berlalu pergi, Azfar dan kawan-kawannya langsung menyantap nasi bungkus yang diberikan relawan. Mereka makannya sangat lahap. Beberapa menit berlalu, makanan mereka telah tandas dari bungkusannya.
Ada berbagai macam cara relawan membantu para korban bencana; ada yang mencari korban hilang, ada yang mengobati korban yang terluka, ada yang menurunkan bantuan ke posko bencana, ada pula yang turun langsung membagi kebutuhan pokok pada masyarakat.
Sudah pukul setengah dua belas, Azfar pergi berjalan menuju Masjid untuk menunaikan ibadah salat Zuhur, beberapa temannya juga ikut. Mereka salat di Masjid yang tak jauh dari lokasi mereka berkumpul. Masjid itu tetap berdiri kokoh setelah dihantam tsunami setinggi tujuh sampai sepuluh meter. Kaca-kaca jendela Masjid saja yang pecah. Anehnya, puluhan rumah penduduk yang ada di sekitaran masjid telah rata dengan tanah, tapi Masjid itu tetap berdiri dengan kokoh.
Dua hari yang lalu—setelah para warga mengumpulkan barang-barang milik mereka yang masih layak pakai, mereka kembali bergotongroyong membersihkan Masjid agar bisa dipakai beribadah kembali.
Di depan Masjid itu berdiri satu posko bencana. Usai salat, Azfar melihat dua truk terparkir di halaman Masjid. Di samping truk itu terpasang spanduk besar bertuliskan: Pemerintah Kota Mamuju Peduli Bencana Palu, Sigi, Donggala. Truk itu mengangkut sandang dan pangan. Beberapa karung beras dan dos mi instan diturunkan dari truk. Orang-orang memikulnya—diletakan ke posko. Azfar dan teman-temannya sempat mengamati orang-orang menurunkan beberapa karung dengan santai, seperti tidak terlihat berat. Apa isi karung itu? Tak mungkin isinya beras, batin Azfar.
Setelah menurunkan semua isi truk, salah satu rombongan dari Mamuju memberi instruksi kepada warga yang ada di sekitaran posko agar segera ke lapangan pengungsian, mereka akan memberikan pakaian layak pakai di sana. Mendengar instruksi itu, Azfar dan seluruh warga yang mendengar terlihat sangat senang. Bantuan berupa pakaian sangat berharga bagi mereka. Azfar dan kawan-kawan berlari-lari kecil menuju lapangan pengungsian—jaraknya dari Masjid cukup jauh.
Truk duluan sampai di lapangan pengungsian—lapangan pengungsian yang kemarin Azfar, Azizah dan Adirah tinggal di sana. Lima menit kemudian Azfar dan kawan-kawannya juga sudah tiba. Azfar sudah mendapati banyak warga di sana.
Ada yang membuat Azfar kaget ketika datang di lapangan pengungsian. Setelah perpindahan Azfar dan keluarganya dari lapangan pengungsian ke rumah Nenek Arni, para relawan dari negara Swis tiba di lapangan itu, mereka mendirikan ratusan tenda. Tenda berwarna putih bertuliskan ‘Swis’ di setiap tenda. Ukuran masing-masing tenda 3×3 meter. Mata Azfar berbinar melihat ratusan tenda pengungsi tertancap dengan rapi di atas rerumputan hijau lapangan.
Di area kosong yang tidak ditancapi tenda, rombongan dari Mamuju menggelar terpal untuk tempat pakaian-pakaian yang ada di dalam karung. Karung-karung itu pun dibuka—pakaian berhamburan di terpal.
Setelah sudah diberi izin untuk mengambil pakaian tersebut, para korban segera berebutan memilih pakaian yang cocok untuk mereka. Azfar pun ikut rebutan. Beberapa orang tua mencari pakaian untuk anak-anak mereka. Azfar menemukan sebuah gamis anak-anak yang sepertinya pas di tubuh adik kesayangannya, Adirah.
Rasa gembira terlukis di wajah para korban yang sedang memilih-milih pakaian. Jika rasa gembira terlukis di wajah para korban, maka rasa haru terlukis di wajah para rombongan dari Mamuju dan relawan-relawan lainnya yang menyaksikan momen tersebut. Bahkan relawan dari negara Swis juga ikut terharu. Satu-dua dari bule itu berkaca-kaca matanya, padahal tak paham dengan bahasa para korban yang sedang berebut pakaian.
Azfar pun pulang ke rumah. Ia membawa beberapa pakaian yang cocok untuk Azizah dan Adirah.
“Siang, Adirah. Ibu di mana?” Azfar menyapa adiknya yang sedang bermain masak-masakkan di luar rumah.
“Eh, Kak Azfar sudah pulang. Ibu ada di samping rumah Kak. Lagi memasak.” Adirah beranjak berdiri dari duduknya. Ia terlihat lucu saat mengenakan yang diberikan Indri padanya—badannya ditelan oleh baju kaos besar itu. Adirah bergegas berdiri karena melihat kantongan plastik besar yang dipegang oleh Azfar.
Seluruh warga korban bencana belum ada yang berani beraktivitas di dalam rumah, karena gempa susulan masih terus ada, entah sampai kapan pulihnya bumi bagian Palu, Sigi dan Donggala itu.
“Itu apa, Kak?” Adirah mendekati kantongan plastik besar itu yang sudah diletakkan Azfar di atas terpal.
“Kantongan plastik,” jawab Azfar bergurau.
Adirah memelotot ke arah Azfar, “Maksud adirah, apa isi dari kantongan itu, Kaaakk?!” Bocah enam tahun itu menatap kesal. Terlihat menggemaskan saat marah. Azfar hanya cekikikan.
Azfar segera membuka kantongan plastik itu dan mengeluarkan isinya. Setelah menemukan pakaian yang pas dengan Adirah, Azfar membentangkannya ke hadapan adiknya itu.
Adirah sangat senang ketika melihat sebuah gamis yang cantik. Ia segera mengambilnya dari tangan Azfar. “Wah, baju ini bagus sekali, Kak.”
“Kamu suka?” Tanya Azfar. Ia tersenyum melihat ekpresi senang yang terlukis di wajah adiknya. Tak ada lagi raut wajah kesal di wajah menggemaskan itu.
“Suka, Kak.” Adirah menempelkan gamis itu ke badannya, memastikan apakah cocok atau tidak. Ternyata gamis itu sangat cocok di badannya.
Nenek Arni menghampiri kedua cucunya yang ada di depan rumah—ikut duduk bersama mereka berdua.
“Banyak betul bajunya, Azfar. Kamu dapat dari mana?” tanya Nenek Arni.
“Tadi ada truk yang datang ke pengungsian, Nek. Truk itu membawa banyak sekali logistik, juga puluhan karung berisi pakaian.” Azfar menjelaskan. “Truk itu datang dari Mamuju, Nek,” lanjutnya.
Nenek Arni mengangguk.
“Mamuju itu di mana, Kak?” tanya Adirah.
"Di Sulawesi Barat, Adirah. Pasti kamu akan bertanya lagi Sulawesi Barat itu di mana?” Azfar sudah tahu kalau adiknya akan bertanya seperti itu. Adirah memang suka banyak bertanya. “Sulawesi Barat itu cukup juah dari tempat tinggal kita. Memerlukan waktu kurang lebih sebelas jam perjalanan untuk sampai di sana.”
Adirah mengangguk, lalu ia kembali sibuk dengan pakaian-pakaian barunya.
Melihat pakaian yang dikenakan Adirah kebesaran, Nenek Arni menyuruh Adirah agar mengganti baju yang menelan tubuhnya itu dengan baju baru yang baru saja dibawa oleh Azfar. Adirah mengangguk dan berlari ke dalam rumah untuk mengganti pakaian.
“Masya Allah, cucu nenek makin cantik setelah mengenakan gamis ini,” rayu Nenek Arni sambil tersenyum lebar ketika melihat Adirah keluar dari rumah. Wajah gadis kecil itu bersemu merah karena mendengar pujian dari neneknya
“Iya, Nek. Bukan main cantiknya. Sudah seperti seorang putri raja saja, hihihi.” Azfar juga ikut merayu. Gadis cantik usia enam tahun itu tersipu malu.
“Sekarang, coba Adirah perlihatkan kepada Ibu, pasti dia juga akan mengatakan putrinya cantik seperti putri raja,” ucap Nenek Arni sambil tersenyum.
“Oke, Nek.” Adirah berlari menuju samping rumah untuk menemui Ibunya yang sedang memasak.
“Ibuuu!!” Adirah memberi kejutan.
Azizah menoleh, seketika ia terkejut karena melihat putrinya sudah berganti pakaian. “Wah, itu baju dari mana, Adirah? Cantik sekali, seperti seorang tuan putri.” Kali ini bukan seperti putri raja, tapu tuan putri. Sama saja indahnya pujian itu. Pipi gadis cantik itu kembali bersemu merah.
“Kak Azfar yang membawanya, Bu. Katanya dari pengungsian.”
Di dapur itu juga ada Indri yang menemani Azizah memasak. Indri juga merayu karena melihat Adirah yang bertambah cantik dan menggemaskan.
Setelah semua masakan siap santap, mereka pun berkumpul di depan rumah, duduk di atas terpal biru besar, di bawah tenda berukuran besar yang didirikan Zaldin dan Azfar.
Makan siang itu dibarengi dengan percakapan. Azfar menceritakan keseruan hari ini; saat mereka disapa Bapak-bapak petugas, mobil relawan yang singgah memberikan nasi bungkus, tenda pengungsi dari negara Swis, rebutan mengambil pakaian, dll.