Melupakanmu adalah cara tersulit
teramat sakit
lalu perlahan kupasrahkan
segala tentangmu kuhempaskan
sebab jika tidak begitu
makin lama rindu ini akan membunuhku
sementara kau adalah langit biru
yang tak mungkin tersentuh, jauh
Suasana panas diskusi akhirnya reda. Felix dan Fritz sudah akur seperti biasa. Bahkan mereka sudah saling bercanda. Mereka meledekku dengan membacakan caption instagram dari akun Kiara. Kiara menulisnya dalam bahasa Indonesia. Mereka mengira itu sebuah puisi ungkapan cinta. Maklum saja jika mereka menebaknya demikian. Mereka memang tidak terlalu fasih berbahasa, tidak seperti Kiara. Mereka pun hanya tahu bahwa sebentar lagi ada dua hati yang bersatu dalam biduk cinta.
“Kau tahu maksud caption-nya?” tanya Fritz usai Felix membacakan caption posting-an Kiara.
“Tentang ungkapan cinta Kiara kepada pengeran pujannya kan?” jawab Felix sambil melirik ke arahku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Ah andai saja mereka paham isi pesan di dalamnya, tentu mereka pun akan bersedih karena ada hati yang kecewa,” batinku.
Tak lama kemudian handphone-ku berdering. Tampak di layar ada telepon masuk dari nomor asing. Aku ragu mengangkatnya.
“Siapa?” tanya Felix.
Aku mengangkat kedua bahu tanda tidak tahu, lalu kubiarkan handphone-ku terus berdering di atas meja. Hingga akhirnya berhenti sendiri.
“Kenapa tak kau angkat?” tanya Fritz.
“Siapa tahu saja ada urusan penting,” sambung Felix.
Aku mengambil handphone-ku dan menatap layarnya sambil bertanya-tanya Nomor siapa yang baru saja meneleponku.
“Kalau memang urusan penting denganku tentu dia akan meneleponku kembali,” jawabku.
“Will see …,” ucap Felix, “By the way, bagaimana kelanjutan kisah cintamu dengan Kiara?”
“Iya, aku sudah tidak sabar menjadi saksi di hari pernikahanmu,” tambah Fritz.
Aku hanya tersenyum dingin.
“Kau sudah sudah menelepon Emakmu lagi?” tanya Fritz.
Aku mengangguk pelan.
“Bagaimana? Emakmu setuju?” tanya Felix tak mau kalah, “Lalu bagaimana ….?”
Felix belum menuntaskan ucapanya.
Handphone-ku berdering lagi. Kulihat, di layarnya ternyata Nomor asing. Nomor yang sama tadi menghubungiku kembali,
“See … dia menghubungimu lagi,” ucap Felix, “bisa jadi ini urusan penting.”
Aku ragu mengangkatnya. Aku trauma mengangkat telepon dari Nomor yang tak kukenal. Aku punya pengalaman tak menyenangkan dengan Nomor asing yang meneleponku. Pernah ada yang menerorku. Memaki-maki dengan kata kotor dan kasar. Mengancamku keluargaku. Bahkan sampai mengancam mau membunuhku. Beruntung semua segera berlalu. Tak lama akhirnya aku tahu siapa pelaku di balik itu. Seorang wanita yang sakit hati, telah menyewa seseorang untuk melakukan tindakan itu. Bukan salahku hingga membuat hatinya kecewa. Bukan karena aku sengaja menolak cintanya. Hanya saja, bukankah cinta itu tak bisa dipaksa?
“Hey Fyan, kau benar-benar tidak ingin mengangkatnya?” Felix terlihat gemas mendengar handphone yang terus berdering.
Aku menghela napas.
“Mungkin saja ia sangat perlu denganmu?” tambah Fritz, ”makanya dia meneleponmu kembali, Fyan.”
“Kau masih trauma sejak kejadian tempo hari?” tanya Felix.
Aku hanya mengakat bahuku, lalu melipat kedua tanganku.
“Angkat saja kalau kau mau,” ucapku santai.
Tanpa basa-basi lagi Felix langsung mengambil handphone yang ada di atas meja.
“Hallo …,” ucap Felix sambil me-load speaker suaranya.
Hening sejenak. Tak ada jawaban dari seberang sana.
“Benar kan kataku, hanya ulah orang iseng saja,” ucapku.
“Assalamu’alaikum …,” ucap Fritz lembut menyapa seseorang di seberang sana.
“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang lelaki dengan suara beratnya, “Sofyan?”
“Bukan. Saya Fritz, temannya.”
“Bisa saya berbicara dengannya?”
Dari suara terdengar tak asing di telinga. Namun, aku masih belum bisa menebaknya. Felix melihat ke arahku. Tanpa suara, bibirnya bergerak seperti bicara, menanyakan siapa sosok yang sedang berbicara dengan Fritz di telepon. Aku mengangkat bahu. Lalu Felix melihat ke arah Fritz dan menanyakan hal serupa. Fritz pun melakukan hal sama. Bahkan ia menaruh telunjuk di depan bibirnya agar kami tidak bersuara.
“Bisa saya berbicara dengan Sofyan?” ulangnya sekali lagi.
Fritz melihat ke arahku. Ia meminta persetujuan, apakah aku ingin menerima telepon itu atau tidak.
“Tolong sampaikan pada Sofyan, ada hal penting yang ingin saya bicarakan padanya.”
Kami saling menatap satu dengan lainnya sambil menebak-nebak siapa sebenarnya lelaki yang sedang berbicara di seberang sana.
“Hezron?” tebakku dalam hati, “Apa mungkin yang sedang berbicara di telepon itu dia? Ada urusan apa lagi dia denganku? Dari mana dia tahu Nomor teleponku?”
***