Midtown Plaza menjadi tempat pertemuan kami. Bakda salat Jumat, aku segera meluncur ke sana. Dari ratusan tenan makanan, kami memilih restoran Chinese food sebagai tempat pertemuan kali ini. Tempatnya luas dan lumayan tenang dibandingkan tempat yang lain. Kami memilih meja dekat Shufa, kaligrafi ala Tiongkok, yang menempel di dinding. Kaligrafi berukuran besar itu tampak mewah dengan bingkai emas. Kata-kata yang ditulis dengan tinta hitam di atas kanvas berwarna merah itu berisi puisi tentang cinta. Begitu kata penjaga toko beberapa saat lalu sesaat kami usai memesan menu makanan.
Meski penjaga toko tak bisa menjelaskan lebih rinci bagaimana isinya, tetapi mendengar kata cinta membuat imajinasiku berlayar kemana-mana. Mendadak melintas huruf-huruf tersusun lalu merangkai kata. Saling menjalin menjadi bait-bait. Seorang gadis yang duduk di hadapan mata membuatku bingung dengan sebuah rasa yang ada dalam dada. Entah, harus kuberi nama apa. Cinta? Rindu? Entahlah.
Inikah buah rindu
Getar nadi berubah merdu
Candu melagukan namamu
Ke manakah hendak bermuara
Kepada cinta yang menjelma surga
Atau sebatas romansa dunia yang fana
Sungguh misteri
Akankah cinta menyelimuti hati penuh kasih
Ataukah menyayat hati menjadi perih
Kami duduk bertiga. Kiara, aku, dan lelaki yang tadi berbicara denganku di dalam telepon. Aku salah menebak. Aku mengira Hezron yang meneleponku. Sekilas suaranya mirip sekali. Namun, akhirnya aku bisa menebak tanpa ia menyebutkan terlebih dulu namanya. Hanya dengan satu kalimat “Saya pamannya Kiara”. Belum sempat dia menyebutkan nama, aku langsung bisa menebaknya
***
“Paman Daud,” lirihku beberapa saat lalu di telepon.
Felix dan Fritz melihat ke arahku. Sigap, aku langsung mengambil handphone-ku yang dipegang Felix. Aku mengucapkan salam, lalu Paman Daud menjawab salamnya.
“Maaf Paman. Aku memang paling tidak suka kalau mengangkat nomor yang tidak kukenal. Hmmm … maksudku ….”
“Tidak masalah. Seharusnya Paman chat kamu dulu supaya kau bisa save nomor paman. Tapi ini ada masalah yang lebih penting ….”
Sejenak Paman Daud menghentikan bicaranya. Seperti ada hal berat yang ingin disampaikannya. Mendadak, jantungku berdetak tak beraturan. Felix dan Fritz beradu pandang, lalu bersamaan melihat ke arahku. Aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan Paman Daud selanjutnya.
“Kiara sudah menceritakan semuanya pada Paman.”
Ternyata tebakanku benar. Paman Daud akan membahas tentang kelanjutan niatku untuk melamar Kiara. Paman Daud adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam melancarkan niatku ini. Wajar saja jika Paman Daud menaruh perhatian begitu besar untuk mewujudkan niatku. Sebab, dia adalah satu-satunya keluarga Kiara yang beragama Islam dari jalur ayahnya. Hanya dia satu-satunya orang dari keluarga Kiara yang bisa menjadi wali nikahnya.
Felix dan Fritz hanya bisa terpaku usai mendengar percakapan kami di telepon.
“Kau sudah bilang apa ke Kiara, Fyan?” tanya Fritz.
“Apalagi kalau bukan hari pernikahan dan bulan madu,” tebak Felix, “Pasti bulan madunya akan sangat romantis.”
“Tapi bagaimana kau bisa tahu yang tadi bicara itu adalah Paman Daud?” heran Fritz, “padahal dia belum menyebutkan namanya.”
“Iya, aku juga heran,” sambut Felix.
“Masa begitu saja kalian tidak tahu? Bukannya tadi Paman Daud bilang di telepon kalau dia itu pamannya Kiara, Fritz?”
“Tapi kan dia belum menyebutkan namanya,” sanggah Fritz, “Lagi pula pamannya Kiara itu bukan hanya satu orang saja. Ada Paman Gamaliel, Paman Daud dan Paman Moses. Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku hanya menebak-nebak saja.”
“Hmmm … semudah itu?” tanya Fritz.
Aku mengangguk. Lalu Fritz memandang ke Felix seolah ragu dengan jawabanku. Aku tak mempedulikannya. Aku bersiap-siap menuju Downton Saskatoon 201 1st Avenue South.
“Masa hal seperti itu saja bikin kamu penasaran, Fritz?” heran Felix, “Cuma hal sepele ….”
“Aku hanya penasaran saja.”
“Dan kau tetap tak bisa menebaknya?”
“Memang kau bisa?”
Felix mengangguk. Fritz mengerutkan dahinya. Sementara aku hanya tersenyum menonton keributan kecil dari pertunjukan yang sedang dimainkan oleh keduanya.
“Aku pergi sebentar,” ucapku.
“Ok,” jawab mereka kompak.
“Aku numpang tidur sebentar di kasurmu ya, Fyan?” ucap Fritz langsung merebahkan badannya.
***
Suasana tampak tak sehangat pertemuan sebelumnya. Aku bisa merasakan ada hati yang tengah gelisah. Entah, apakah pertemuan kami kali ini sebagai pertanda baik? Akankah menemukan jalan keluar untuk kisah kami berdua.
“Kiara sudah menceritakan semuanya.”
Akhirnya Paman Daud angkat bicara. Memecah hening yang beberapa saat lalu membekukan suasana. Dari nada suaranya, Paman Daud terdengar sangat kecewa. Aku tertunduk. Merasa bersalah.
“Aku bingung mesti bagaimana Paman,” ucapku gamang.
“Sebagai lelaki, kau harus punya sikap yang jelas,” tegas Paman Daud, “Kau jangan mempermainkan perasaan wanita, bagaimanapun Paman punya tangung jawab moral untuk memastikan kebahagiaan Kiara. Kelak, Paman yang akan menjadi walinya.”
Aku sangat memaklumi sikap Paman Daud. Sebagai wali Kiara sagat wajar jika dia meminta agar aku segera memutuskan sikap. Sebab waktu yang ia miliki untuk mengurus rencana pernikahan kami tak banyak. Sebelum jumat depan aku harus sudah memberikan kepastian. Jika memang rencana pernikahanku jadi terlaksana, maka Paman Daud hanya bisa mewalikan Kiara paling lambat hari Jumat. Lusa Paman Daud kembali ke tempat Paman Gamaliel di Regina dan Jumat malamnya ia harus berangkat ke London untuk urusan bisnis dalam jangka waktu yang cukup lama. Sementara sabtu pagi aku harus sudah berada di bandara untuk kembali ke Indonesia.
“Bisakah kau memastikan semuanya dalam tiga hari ini, Fyan?”
Wajahku yang semula menunduk sekita langsung menatap wajah Paman Daud. Kulihat, ia tak main-main dengan ucapanya. Dalam tiga hari ini aku sudah memberikan kepastian hubunganku dengan Kiara.
“Tiga hari?” kagetku.
Paman Daud mengangguk.
***