Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba 601 Spadina Crescent East di ujung tenggara Central Business District, pusat komersial Saskatoon. Kami tiba di sebuah hotel bersejarah bergaya Châteauesque. Aku kagum melihat kemegahan bangunan yang dibuka sejak tahun 1935 ini. Bangunan sepuluh lantai yang tingginya hampir 60 meter ini begitu gagah. Fritz memberikan kunci mobilnya ke petugas valley. Kami berjalan memasuki loby Delta Hotels by Marriott Bessborough.
“Nanti kau jadi mengisi acara, Fyan?” tanya Fritz.
“Insyaallah,” jawabku.
“So pasti bakalan makin keren acara nanti,” timpal Felix.
Tempo hari saat Kiara datang ke apartemen, ia memintaku untuk membacakan sebuah puisi di pesta kelulusannya. Jujur aku bingung. Entah, harus menjawab apa atas permintaannya. Sudah lama sekali aku tak membaca puisi di hadapan orang banyak. Terakhir kali aku membaca puisi, yaitu pada saat lomba di masa Sekolah Menengah Atas. Waktu itu aku kelas dua. Aku sempat menolaknya. Namun, Kiara terus memohon padaku untuk menuruti permintaannya.
“Yakin deh kalau Sofyan yang baca puisi bakalan bikin para gadis klepek-klepek,” ucap Felix.
Akhirnya kami tiba di tempat acara. Sungai Saskatchewan Selatan yang terletak di sebelah timur hotel seolah tersenyum menyambut kami. Kami segera menuju venue tempat berlangsungnya acara.
“O iya, bagaimana jika ternyata hari ini Om Thimoty merestuimu, Fyan?” tanya Felix.
“Pastinya senang bangetlah, Fel,” sahut Fritz.
Aku hanya tersenyum mendengar kedua sahabatku yang terus menggoda. Akhirnya kami tiba di salah salah satu ruangan private berukuran sedang di Delta Hotels by Marriott Bessborough yang dihias begitu cantik. Bangunan bersejarah yang menghadap ke sungai dan terletak di pusat kota Saskatoon seolah turut tersenyum dengan ruangan dihias penuh bunga.
Di ruangan yang bisa menampung sekitar seratus orang itu, tersedia meja-meja kecil yang diatur sedemikian rupa untuk para tamu undangan. Kulihat, meja tamu hampir penuh. Suasana begitu syahdu dengan diiringi lagu-lagu romantis yang dimainkan oleh para pemain musik yang berada di sudut dekat meja utama.
Aku melemparkan pandangan ke segala arah untuk mencari teman-temanku yang sudah tiba lebih dulu.
“Itu mereka di sana,” ucap Felix sambil menunjuk ke salah satu meja.
Mataku langsung menuju arah yang dimaksud Felix. Zahra, Eva dan Jasmine duduk di satu meja yang sama tak jauh dari meja prasmanan. Sementara kulihat Mario sendirian duduk di meja sebelahnya. Aku, Fritz dan Felix berjalan mendekat ke meja Mario, lalu bergabung duduk bersamanya.
“Kiaranya mana?” tanya Felix ke Mario.
“Mungkin sedang ke toilet.”
Mataku menyisir seisi ruangan. Di meja utama yang terletak di dekat para pemain musik sudah ada Om Thimoty dan Tante Anna beserta Paman Kiara yang lainnya. Paman Gamaliel dan Paman Moses tampak gagah dengan setelan jas warna gelap. Sementara Paman Daud memakai kurta warna broken white dipadu celana bahan warna khaki yang membuatnya tampak lebih segar dan terlihat lebih muda.
“Fyan, kau lihat lelaki gagah dengan setelaj jas hitam yang duduk di tengah,” bisik Felix.
“Om Thimoty?”
Felix mengangkat kedua alisnya.
“Bagaimana jika Om Thimoty menyetujui lamaranmu hari ini?”
“Kau kan tahu sendiri Fel, bukankah Om Thimoty sudah menolakku tempo hari?”
“Menolakmu?” heran Felix, “Tapi seingatku tidak ada kata-kata penolakan. Ya kan Fritz?”
“Iya,” jawab Fritz singkat.
“Mungkin waktu itu Om Thimoty hanya perlu berpikir. Maklum, Kiara kan anak semata wayang. Aku yakin Om Thimoty nggak akan sembarangan memberikan puteri kesayangannya itu,” ucap Felix.
Entah apakah tebakanku itu benar atau salah. Sikap Om Thimoty waktu itu seperti bentuk penolakannya secara halus kepadaku. Tentu saja aku kecewa, sebab tak bisa bersanding dengan seorang gadis yang diam-diam selama ini kucinta. Namun, bagaimana jika ucapan Felix yang benar? Om Thimoty hanya perlu waktu sejenak untuk berpikir masak-masak. Entahlah. Lagi pula mereka hanya sedang berandai-andai saja.
***
Tak berapa lama, kulihat Om Thimoty bangkit dari tempat duduknya. Sebuah wireless mic sudah berada di genggamannya. Dengan lambaian tangan ia meminta para pemusik menghentikan permainan musiknya. Om Thimoty berdiri gagah. Ia merapikan simpul dasinya, lalu menatap para tamu sebelum memulai bicara. Terlihat wajahnya begitu bahagia. Dengan suara beratnya yang berwibawa, Om Thimoty menyapa para tamu undangan yang sebagian besar adalah koleganya. Tak lupa ia pun menyampaikan maksud dan tujuan acara yang dilaksanakan begitu meriah. Sebuah perayaan kelulusan putri semata wayangnya.
Om Thimoty memanggil Kiara untuk hadir bersamanya. Riuh tepuk tangan para tamu undangan pun mengudara memenuhi tempat acara. Semua mata seolah tersihir pada sosok yang begitu memesona. Seorang gadis bermata biru keluar dari balik pintu sambil tertunduk malu. Ia melangkah anggun bak putri raja dengan gaun putihnya yang begitu indah. Kulihat, raut wajah yang begitu gembira di sana. Sungguh jelita. Seolah ia bukanlah seorang wanita biasa, tapi bidadari yang sering disebut-sebut dalam kitab suci menjelma manusia. Cantik. Seolah Tuhan membuatnya langsung dengan tangan-Nya. Sempurna tanpa cela di antara ciptaan-Nya. Tergambar senyum manisnya yang menawan bertambah sempurna dengan rona merah pipinya.
Om Thimoty menyerahkan wireless mic kepada Kiara. Sambil tersenyum, Kiara menyapa semua tamu undangan. Sesekali kulihat ia mengarahkan matanya ke arahku. Aku menundukkan pandangan. Sementara Felix dan Fritz terus menggodaku yang terlihat begitu malu.
“Para hadirin sekalian, mari kita sambut penampilan istimewa dari seorang pujangga, Sofyan,” ucap Kiara menunjukk ke arahku.
Seisi ruangan riuh. Tepuk tangan bergemuruh. Aku mengangkat wajah. Aku gugup melihat sekelilingku. Semua mata tertuju padaku. Fritz menyenggol lenganku dengan sikunya. Ia tak sabar melihat penampilanku malam ini. Felix bangkit dari duduknya. Wajah Fritz terlihat heran.
“Bukan kau yang disuruh tampil, Fel, tapi Sofyan,” ucap Fritz.
“Sofyan yang membacakan puisi, aku yang mengiringinya dengan gitar akustik,” jawab Felix, “begitu kan, Fyan?”
Aku mangangguk sambil tersenyum.
“Seperti latihan kita tempo hari,” jawabku.
“O, jadi kalian berkolaborasi.”
Aku bangkit dari dudukku, lalu berjalan ke area tempat pemusik. Tepuk tangan makin bergemuruh mengiringi langkahku dan Felix. Aku mengatur napas untuk menghilangkan kebiasaan demam panggungku sebelum beraksi. Kulihat Kiara duduk di sebelah ibunya. Felix sudah bersiap dengan gitar akustik yang ia pinjam dari salah satu pemusik. Aku sudah siap dengan mic yang diberikan oleh sang vokalis.
Aku berusaha tenang. Felix tampak sudah bersiap. Dia mengacungkan jempolnya ke arahku. Aku memberanikan diri menatap seluruh undangan. Menyisir dari ujung satu ke ujung lainnya. Sebelum mulai aku berikan sebuah kata pengantar tentang persembahan yang sebentar lagi kami lakukan. Bukan sebuah nyanyian ataupun atraksi permainan alat musik. Aku ingin menampilkan pembacaan puisi. Puisi indah. Puisi tentang seorang anak manusia yang tengah menantikan jodoh hingga Allah mengabulkan permintaannya. Puisi yang pernah kutulis beberapa waktu lalu dalam Bahasa Indonesia dan kuposting di blog-ku. Kiara memintaku untuk membacakan puisi itu di pesta makan malam kelulusannya.
Felix memetik gitarnya. Aku memejam mata. Hingga pada petikan gitar yang sudah kuhafal, aku pun membuka suara. Namun, urung. Mendadak, Felix menghentikan permainannya. Aku membuka mata. Aku terkejut saat melihat Kiara sudah berdiri di sebelah kiri. Ia melihat ke arahku sambil tersenyum.
“Aku lupa para tamu tak mengerti bahasa,” bisik Kiara, “Izinkan aku menerjemahkannya.”
Felix kembali memetik gitarnya. Aku memulai membaca bait-bait puisiku. Lalu Kiara menerjemahkannya. Begitu seterusnya. Hingga selesai seluruh bait-baitnya.
Rangkaian napasku tak pernah lelah
Mencari dia yang entah bagaimana rupa dan suaranya
Entah ada di mana?
Di antara mutiarakah?
Atau sedang bermain-main
Bersama para bidadari di bawah pohon surga?
Entah pada doa yang ke berapa
Lalu
KAU mengirimkan dia
Bahkan kudapati lebih istimewa dari mutiara
Lebih indah dari bidadari yang kupinta dalam doa
Dan aku memilihnya
Ia mengisi hari-hariku
Dengan warna-warna pelangi dari hatinya
Mewarnai hitam-hitam laluku
Meleraikan kesesakan
Menguatkan kelemahan
Menyerap air mata
Dan mengubahnya menjadi mata air cinta
Ia serupa pelangi
Sederhana
Penuh warna
Ia seperti pagi
Dengan semangat Cahaya
Seperti embun
dengan jejak-jejak yang membasahi tanah
Ia Pelerai rindu
Penyempurna sayapku
Untuk terbang bersamanya
Menuju arasyMu