Salah seorang pendakwah wanita mendadak terkenal lantaran latar belakang hidupnya. Titelnya yang mengaku sebagai seorang mantan biarawati membuatku tertarik dengan materi ceramah yang disampaikannya. Gaya ceramahnya membuatku terpukau. Meskipun aku hanya melihatnya dari layar kaca. Tidak hanya ceramahnya yang kulihat dari youtube, aku pun sempat membaca beberapa artikel dan buku yang ditulisnya.
Jujur, aku belum pernah mendengar kesaksiannya sebagai mantan biarawati langsung keluar dari ucapannya. Namun, penyematan label “mantan biarawati” itu selalu ditulis di setiap poster atau flyer undangan pengajian yang menghadirkan dirinya sebagai pengisi acara. Moderator di setiap acara yang mengadirkan dirinya pun sering mengulang-ulang latar belakang Sang Daiyah. Saat berceramah di hadapan umat, tak pernah sekalipun dia mengklarifikasi apakah label “mantan biarawati” itu tepat atau tidak disematkan padanya? Jika ia tidak mengklarifikasi, maka secara tidak langsung dia telah mengakui bahwa label “mantan biarawati” yang disematkan padanya itu benar adanya.
Hingga akhirnya, Allah menakdirkan aku menyimak secara langsung kajiannya. Siang itu bakda zuhur di Masjid At-Taqwa, aku dan ‘Aini menghadiri kajian dengan sang pendakwah. Sungguh sebuah kesempatan yang luar biasa. Akhirnya aku bisa menatapnya secara langsung. Bahkan sempat mengajukan pertanyaan padanya. Siang itu tema kajiannya begitu provokatif. Tema kajian yang sangat tak lazim itu membuatku penasaran untuk hadir ke majelis ilmu Sang Daiyah.
“Abang ngapain sih semangat banget datang ke kajian itu?” tanya ‘Aini sesaat sebelum kami berangkat ke masjid.
“Temanya seru,” jawabku.
“Apa?”
‘Aini menyandarkan bahunya di kursi ruang tamu.
“Ternyata Yesus poligami.”
“Hah … yang benar, Bang?” ‘Aini terpegun dengan mulut ternganga.
***
Jamaah Masjid At-Taqwa tampak lebih ramai dari biasanya. Kajian dengan tema provokatif itu ternyata membuat banyak orang penasaran. Jamaah memenuhi ruang utama masjid yang terletak di tepi Sungai Kuantan. Bakda Zuhur, acara pun dimulai. Isi kajiannya sesuai dengan tema. Membahas tentang Yesus yang diduga pernah menikah. Bahkan menjalankan praktik poligami dengan dua orang wanita. Aku melihat sekeliling ruangan. Semua jamaah tampak khusyuk menyimak uraian sang mantan biarawati. Tak terkecuali ‘Aini. Aku pun menyimak dengan saksama semua penjelasan. Hingga akhirnya aku merasakan ada sesuatu yang janggal.
“Bagaimana bisa, ada seorang ustadzah memaparkan sebuah ayat Al-Qur’an dan menafsirkan isinya tanpa merujuk ayat Al-Qur’an yang lain? Tanpa merujuk hadits atau ajaran para ulama dan orang-orang saleh yang kompeten di bidangnya?” batinku.
Aku heran, sang mantan biarawati itu malah mengutip pendapat Prof. Dr Barbara Theiring, seorang sejarawan dari University of Sidney Australia yang mendalami The Dead Sea Scrolls, sebuah naskah Injil tertua dalam bentuk gulungan-gulungan yang ditemukan di laut mati. Dari hasil riset yang dilakukan selama 20 tahun dan telah dibukukan dalam Jesus The Man itu menyimpulkan hal yang begitu mencengangkan. Bahwa ternyata Yesus pernah menikah. Bahkan melakukan praktik poligami.
Dalam buku Jesus The Man, Prof. Dr Barbara Theiring menyebutkan bahwa Yesus telah menikah dengan Maria Magdalena. Menurutnya, peristiwa ini tergambar saat Maria Magdalena mencurahkan minyak dan mencium kaki Yesus. Dalam buku Jesus The Man menjelaskan pula bahwa telah terjadi upacara-upacara pernikahan Yesus sebagaimana yang tercatat dalam Injil.
Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus.[1]
(maria magdalena membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi) sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kakinya, lalu membasahi kakinya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kakinya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu.[2]
Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.[3]
Padahal menurut adat Yahudi, haram hukumnya bagi seseorang untuk mencium orang lain yang bukan mahramnya. Jika ada yang melanggar, maka sang pelaku mendapatkan hukuman mati sebagai tebusannya. Sementara, perbuatan Maria Magdalena mencium kaki Yesus itu tidak mendapat reaksi sebagai orang yang melanggar hukum. Mengapa ia tak dijatuhi hukuman mati sebagaimana yang telah berlaku dalam tradisi?
Menurut Prof. Dr Barbara Theiring dalam bukunya menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan upacara pernikahan. Maria Magdalena dan Yesus tengah khusyuk melaksanakan upacara pernikahan sebagaimana lazimnya tradisi yang ada. Seorang wanita membawa minyak wangi, lalu menuangkan ke rambutnya kemudian mengusapkan rambutnya ke kaki laki-laki serta mencium kaki laki-laki merupakan upacara pernikahan bangsawan Yahudi. Demikian yang dikatakan Prof. Dr Barbara Theiring dalam bukunya. Sebagaimana yang terdapat dalam Kidung Agung pasal yang pertama.
Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur, harum bau minyakmu, bagaikan minyak yang tercurah ....
***
Hampir semua jamaah yang hadir berdecak kagum mendengar pemaparan yang begitu meyakinkan dari sang mantan biarawati. Tambah lagi saat slide show kajian menampilkan sebuah tabel yang berisikan fakta pernikahan Yesus. Semua mata seolah tersihir dibuatnya.
Lagi-lagi sang mantan biarawati itu mengutip dari hasil penelitian Prof. Thiering. Pada slide show itu ditampilkan kronologi perkawinan Yesus sebagimana yang dijelaskan dalam buku sang profesor berjudul: Jesus and The Riddle of The Dead Sea Scroll.
Tak hanya sampai di situ, makin lama aku makin heran dengan pemaparannya. Sebab sejak awal, ia mengutip dan menjelaskan dengan merujuk sumber dari luar hukum Islam. Padahal Islam itu memiliki dalil yang kuat dalam beragama. Setiap sendi kehidupan telah diatur sedemikian rupa dari sumber valid yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Bukan dari sumber yang tidak bisa dipastikan kesahihannya.
Hal lain yang membuatku makin heran adalah ketika sang mantan biarawati itu menjadikan sebuah karya fiksi sebagai bahan referensi. Sebuah novel “The Davinci Code” karya Dan Brown turut andil menjadi sumber rujukannya.
Jujur aku heran dengan pemaparan sang mantan biarawati itu. Sebab setahuku dalam pandangan Islam tidak ada penjelasan dari Al-Qur’an maupun hadits bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam pernah menikah. Informasi yang dapat kita ketahui secara umum terbatas pada ayat yang menyatakan bahwa para nabi pun menikah dan memiliki keturunan sebagaimana firman Allah dalam ayat ke-38 Al-Qur’an surat Ar-Ra’d.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”
Ceramah pun usai. Tiba pada sesi untuk tanya jawab. Moderator mengatur jalannya acara. Jamaah diberi kesempatan untuk bertanya. Segera kuangkat tangan. Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah sang moderator mempersilakan.
“Bu Ustadzah, apakah ada keterangan dari hadits baik itu yang sahih atau mungkin dhaif, bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam itu pernah menikah?” tanyaku waktu itu, “atau mungkin ada sumber lain dari ulama terdahulu yang menyatakan demikian? Bukan merujuk pada sumber-sumber non-Islam atau malah menggunakan buku The Davinci Code karya Dan Brown sebagai referensi.”
***
Aku sangat berharap mendapat jawaban yang memuaskan usai mengajukan pertanyaan. Sebuah jawaban yang harusnya sederhana. Jika dia mengetahuinya, aku sangat menginginkan jawaban itu. Jika pun dia tidak mengetahui referensi dari sumber Islam atas pertanyaan yang kumaksudkan, maka dia cukup menjawab saja dengan jujur atas ketidaktahuanya. Tak perlu malu mengakui keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Jamaah pun tentu akan memaklumi keterbatasannya. Bukankah Nabi Muhammad pun mengajarkan demikian? Saat umat bertanya dan Sang Nabi tak mengetahui jawabannya maka beliau tak asal menjawab dengan hawa nafsunya. Beliau hanya diam tak menjawab hingga turun wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril untuk menjawab pertanyaan umat.
Sang mantan biarawati itu berusaha menjawab pertanyaan yang kuajukan. Ia memaparkan dengan panjang lebar. Aku tetap menyimaknya dengan saksama. Meski bicaranya berputar-putar keluar dari materi yang disampaikan. Melenceng dari pertanyaan yang kuajukan. Tak ada satu kata pun yang keluar dari Sang mantan biarawati yang dapat dijadikan jawaban memuaskan. Mungkinkah ekspektasiku berlebihan? Rasanya tidak.
Justru aku terperangah ketika sang mantan biarawati itu menyerangku balik dengan ucapannya. Ia menyindirku seolah pertanyaanku itu tak layak diajukan padanya. Seolah aku telah mengancam eksistensinya sebagai penceramah. Atau mungkin aku dianggap telah mempermalukannya di hadapan jamaaah?
Dia tidak bisa memberikan jawaban yang menurutku harusnya sederhana. Dia cukup dengan menjawab “ada”, lalu menyebutkan dalil-dalil valid dari hadits atau ucapan para ulama terdahulu terkait materi yang disampaikannya. Atau cukup dengan menjawab “tidak ada” atau “tidak tahu” jika pada faktanya dia memang tidak mengetahui dalil-dalilnya. Sesederhan itu saja jawabannya. Entahlah. Yang jelas aku kecewa dengan sikapnya.
“Bukannya jawab pertanyaan Abang, lah kok malah Abang yang jadi dimarahin sama Bu Ustadzah?” heran ‘Aini saat kami berjalan pulang usai mengikuti kajian.
“Entahlah.” Aku tersenyum sambil mengangkat kedua bahuku.
***
Belakangan, aku baru tahu lebih jauh tentang latar belakang ustadzah yang mengaku sebagai mantan biarawati itu. Pernyataannya sebagai seorang mantan biarawati ternyata menuai kritikan. Pasalnya, sang pendakwah tersebut tidak pernah melalui tahapan yang seharusnya dilakukuan seseorang untuk menjadi seorang biarawati.
Sang pendakwah yang mengaku seorang mantan biarawati Katolik dari Ordo Biarawati Santa Ursula itu belum melalui proses Kleding, yakni proses penerimaan pakaian suster. Sebab tanpa proses Kleding ini, sangat mustahil bagi seseorang untuk menjadi biarawati sebagaimana tahapan yang seharusnya dilalui oleh seseorang untuk menjadi seorang Biarawati Ursulin, di tempatnya belajar. Selain itu, ia juga belum pernah mengambil janji kaul kekal sebagaimana mestinya hingga seseorang baru bisa disebut sebagai biarawati.
Faktanya, menurut kesaksian salah seorang suster dari biara tempatnya belajar. Dia hanyalah seorang Postulan, sebuah istilah untuk seorang yang ingin mengenal tata cara hidup seorang biarawati. Itu pun tak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan saja. Sementara proses seseorang untuk mejadi calon biarawati itu pada umumnya harus menjalani masa pendidikan awal sekitar dua hingga lima tahun lamanya. Setelah itu, barulah resmi disebut sebagai seorang biarawati.
Sementara ustadzah yang mengaku sebagai mantan biarawati itu tidak lebih dari dua tahun di Biara Santa Ursula. Lalu bagaimana bisa, julukan sebagai mantan biarawati itu selalu disematkan padanya? Bukankah itu sama saja dengan seseorang yang mengaku-ngaku sarjana? Padahal ia belum pernah membuat skripsi. Bahkan belum pernah mengikuti seluruh mata kuliahnya. Lalu apakah kesarjanaannya dapat diwakili dengan beberapa tahun masa kuliah tersebut?
Entah apa maksud di balik penggunaan titel sebagai mantan biarawati itu. Apakah ada tujuan tertentu yang bertujuan untuk memikat hati umat? Entahlah. Yang jelas bukankah dalam ajaran kitab suci agama mana pun tidak pernah diajarakan untuk bersaksi dusta? Tak terkecuali dalam ajaran Islam yang sangat melarang umatnya untuk melakukan tindakan tercela.
***
Kulirik jam tangan, lalu kusapu pandanganku untuk melihat sekitar. Dari meja-meja yang ada, hanya tinggal kami yang masih asik duduk di sini. Kulihat, baru saja dua orang yang duduknya tak jauh dari kami, beranjak setelah memberikan uang kepada salah satu pelayan yang menyerahkan billing padanya.
“Kita lanjutkan lain waktu,” ucapku kepada Fritz dan Felix sambil memberikan kode kepada salah seorang pelayan untuk membawakan billing kami.
Tak berapa lama, pelayan pun datang menghampiri meja kami, lalu meletakkan papan billing itu di hadapanku.
“Biar aku yang bayar,” ucap Felix sambil mengambil papan billing di atas meja.
“Wuih banyak uang kau, Fel,” ucap Fritz.
“Thank you, Fel,” ucapku berterima kasih.
Felix tersenyum, lalu menyerahkan papan billing sekaligus pembayarannya kepada pelayan. Kami pun beranjak.
“Besok jadi kan?”
Fritz mengingatkan kami untuk menghadiri acara Kiara di hotel delta.
“Jadi dong,” sahut Felix, “aku juga kan ingin jadi saksi sejarah di hari istimewa room mate-ku.”
“Aku?” heranku, “Sejarah apa?”
“Kita lihat saja kejutan apa besok,” ucap Felix.
Ucapan Felix membuatku penasaran. Setahuku besok adalah hari perayaan kelulusan Kiara. Hanya itu. Tak ada acara lain. Lalu apa hubungannya denganku?
***
[1] Markus 14 :3
[2] Lukas 7:37-38
[3] Yohanes 10:12