Kedatangan Kiara kali ini memang tidak semata memberikan sebuah tanda mata. Ada hal yang ingin disampaikannya. Sebuah permintaan maaf. Namun, bukan atas kesalahan yang dia perbuat. Kiara meminta minta maaf atas sikap Om Thimoty, ayahnya. Kiara merasa bersalah atas sikap yang telah dilakukan ayahnya itu kepadaku beberapa waktu lalu. Kiara terus menerus menghubungiku melalui telepon maupun pesan WhatsApp untuk sekadar meminta maaf. Meski aku sudah meyakinkan padanya bahwa aku baik-baik saja. Puncaknya hari ini, ia datang menemuiku. Meminta maaf secara langsung padaku.
“Mohon maaf atas kejadian tempo hari,” ucap Kiara beberapa waktu lalu.
“Iya. Nggak apa-apa. Bukan salahmu. Bukan salah ayahmu. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini,” jawabku.
Sabtu, 31 Agustus. Usai acara wisuda di TCU Place, sore harinya Kiara memberitahuku kalau ayah dan ibunya singgah sebentar di apartemennya sebelum kembali ke Regina. Aku membaca pesan yang disampaikannya itu melalui pesan WhatsApp. Aku pikir hanya sebatas informasi biasa saja. Jujur aku kurang peka dengan pesan yang dikirimkan Kiara. Aku mengabaikannya. Hingga jeda beberapa menit akhirnya masuk lagi pesan berikutnya.
Kali ini pesannya sungguh membuat jantungku berdegup tak keruan. Pesan yang tak biasa. Bukan seperti pesan sebelum-sebelumnya saat ia mengajukan pertanyaan diskusi keislaman yang biasa kami lakukan. Seketika adrenalinku melonjak saat membaca pesan yang ia kirimkan. Sebuah pesan begitu menegangkan. Lebih menantang dan menegangkan dibandingkan sidang tesis yang beberapa hari lalu baru saja kutunaikan. Sebuah pesan yang meminta bukti keseriusan atas apa yang telah aku ucapkan beberapa waktu lalu di hadapannya.
Ucapanmu tempo hari apakah berarti kau akan menikahiku, Fyan?
Datanglah ke apartemenku
Temuilah ayahku
Itu pun jika kau bersungguh-sungguh
***
Beberapa waktu lalu akhirnya aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya. Tulus. Dari hatiku terdalam kepada dia sang gadis jelita yang akhirnya tercelup hidayah-Nya. Kiara. Entah kekuatan dari mana, akhirnya dengan berani mengungkapkan juga isi hati ini kepadanya. Entah apakah caraku itu benar atau salah. Yang jelas aku hanya berusaha jujur dan menuruti kata hati. Tanpa ada yang memaksa. Mengalir begitu saja. Taman kampus telah menjadi saksi. Betapa aku masih ingat dengan jelas air bening yang keluar dari mata gadis bermata biru saat aku mengucapkan itu.
“Izinkan aku menjadi detak nadimu
dan mengalir dalam desah napasmu.”
Kiara, seorang gadis yang begitu menarik perhatian setiap lelaki yang memandangnya itu menjatuhkan pilihannya padaku. Hatiku berbunga. Ada rasa lapang di dada. Aku bagai terbang di udara. Entah, bagaimana harus kuungkapkan rasa ini seperti apa. Sulit untuk diungkap dengan kata-kata. Dua hati yang merindu kini bertemu. Dia memintaku untuk menjadi imam yang setia menjaga hati untuk dibimbing dalam sucinya cinta.
Sore hari, aku menelepon Emak. Setelah siang harinya aku menceritakan betapa bahagia hati ini atas kelulusan, kali ini aku menelepon Emak untuk menyampaikan hal yang berbeda. Aku ingin menyampaikan sebuah ungkapan hati tentang perasaan yang tengah dilanda cinta. Aku hendak meminta restu pada Emak atas pilihan hatiku yang jatuh pada seorang gadis yang selama ini diam-diam aku pinjam namanya untuk kuselipkan dalam doa.
Sayangnya semua itu belum tuntas terlaksana. Belum sempat aku mengatakan maksud dan tujuanku itu, telepon harus terputus. Mendadak, ada gangguan sinyal. Berkali-kali aku mencoba menghubungi kembali. Sayangnya masih juga tetap tidak tersambung. Sebenarnya bisa saja aku melanjutkan perbincangan itu melalui pesan di WhatsApp. Namun, perkara sebesar ini rasanya tak arif jika harus kusampaikan tanpa membicarakannya langsung lewat suara. Aku terus berusaha menghubungi Emak di pagi harinya. Ternyata masih sama seperti kejadian tadi malam. Beberapa saat setelah telepon terhubung, lalu jaringan kembali memburuk. Berkali-kali kuhubungi. Namun, tetap tak kunjung tersambung. Entah, pertanda apa ini?
Kau seriuskan, Fyan?
Jam berapa kau mau datang?
Malam ini ayah dan ibuku akan kembali ke Regina.
Sejam berlalu dari pesan WhatsApp pertama. Aku belum juga menjawabnya. Aku belum berani memberikan kepastian, sebab aku harus terlebih dahulu meminta restu kepada Emak. Kiara kembali mengirimkan pesannya. Nyatanya pesan WhatsApp dari Kiara itu memacu adrenalinku untuk bertamu ke apartemennya. Membakar rasa semangatku untuk segera menemui Om Thimoty di sana. Detak jantungku tak keruan. Deru napas tak beraturan. Keringat dingin bercucuran. Sebelum meluncur ke apartemen Kiara di lantai lima, kembali aku mencoba menghubungi Emak. Meminta restunya. Atau paling tidak memberitahukan rencanku ini untuk melamar seorang gadis yang akan menjadi menantunya.
Syukurnya sinyal mulai bersahabat. Namun, sayangnya teleponku tak juga tersambung ke ujung sana. Terdengar nada sibuk. Berkali-kali kucoba, tetap belum bisa tersambung. Sementara aku harus berburu waktu untuk menemui Om Thimoty di apartemen Kiara. Sekitar satu jam lagi Ayah dan Ibu Kiara akan kembali ke Regina. Aku ingin memanfaatkan kesempatan dengan waktu sangat terbatas ini untuk mengutarakan maksud hatiku melamar putri mereka.
Aku nekat memenuhi undangan Kiara, meski belum sempat mengabarkan tentang rencanaku hari ini pada Emak. Aku meminta Fritz dan Felix menemaniku untuk bertandang ke sana. Sebelumnya aku telah membalas pesan Kiara agar memberitahukan kedatanganku kepada kedua orang tuanya.
***
Kurang dari sepuluh menit aku tiba di apartemen Kiara. Aku menunggu di ruang tamu. Fritz dan Felix mengungsi di dapur bersama Eva. Suasana terasa sunyi. Bahkan detak jarum jam dinding terdengar begitu jelas. Kiara memanggil orang tuanya. Sementara dari arah dapur kulihat Fritz, Felix dan Eva mengintipku yang sedang duduk sendirian dengan detak jantung yang tak keruan.
Tak berapa lama, Om Thimoty dan Tante Anna keluar dari kamar Kiara. Aku bangkit dari duduk, lalu mengulurkan tangan kepada Om Thimoty bermaksud menjabat tangannya. Sikap Om Thimoty kali ini tak seramah seperti yang kudapati siang tadi saat bertemunya di acara wisuda. Uluran tanganku tak disambutnya. Aku makin salah tingkah. Aku menarik kembali tanganku, lalu mengarahkan pandanganku ke Tante Anna. Kulihat, wajahnya yang bersahaja. Sikapnya tak ada yang berubah saat terakhir aku bertemu dengannya usai acara wisuda. Kutangkupkan kedua tangan di depan dada. Tante Anna membalasnya dengan hal serupa.
Sejenak kami mematung hingga Kiara memintaku duduk kembali di tempat semula. Om Thimoty dan Tante Anna pun duduk. Kami saling berhadapan. Sementara Kiara duduk di belakang mereka. Suasana terasa sangat tegang. Rasanya lebih tegang dibanding sidang tesisku beberapa waktu lalu. Tanpa menunggu lama, Kiara memulai bicaranya untuk mencairkan suasana.
“Pa … Ma … maksud Sofyan datang ….”
Belum sempat Kiara menyelesaikan ucapannya, Om Thimoty memberikan kode dengan tangannya agar Kiara tak perlu melanjutakan ucapannya. Sementara jantungku berdenyut makin tak keruan. Mau pingsan rasanya. Suhu dingin ruangan dari AC yang terpasang seolah tak mampu mendinginkan suhu tubuhku yang mendadak demam. Keringatku bercucuran. Pandanganku lurus ke depan. Bukan ke arah Om Thimoty yang tepat duduk di hadapanku. Tapi ke arah dinding berwarna krem tepat di sebelah pintu kamar Kiara.
“Hmmm ….” Suara yang keluar dari kerongkongan tanpa mulut terbuka ditambah dengan sikap dingin Om Thimoty itu membuat Kiara bergeming.
Aku bingung mesti bagaimana memulainya. Jarum jam terus berputar. Aku tahu kedatanganku kali ini kurang tepat. Om Thimoty dan Tante Anna tak banyak waktu untuk menerima kedatanganku dengan berlama-lama. Kulihat, dari pakaiannya, sepertinya mereka telah bersiap-siap untuk segera kembali ke Regina. Tentu mereka juga khawatir dengan waktu yang semakin memburu dan tak ingin kemalaman tiba di rumah.
“Saya tidak punya banyak waktu,” ucap dingin Om Thimoty sambil melihat jam di tangannya.
“Be-begini Om, Tante …,” ucapku gugup.
Aku berhenti sejenak. Mengatur napas sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. Setelah agak tenang kulanjutkan lagi pembicaraanku dengan Om Thimoty yang sempat tertunda. Akhirnya aku meberanikan diri mengutarakan maksud kedatanganku menemuinya. Aku jelaskan pada Om Thimoty bahwa kedatanganku adalah sebagai tanda keseriusan pada Kiara. Aku bermaksud untuk melamar putrinya.
“Maksud kedatanganku ke sini tidak lain untuk melamar Kiara,” ucapku mantap meski dengan dada bergemuruh tak keruan.
Lega rasanya, meski keringat dinginku bercucuran. Akhirnya, aku berhasil juga mengungkapkan maksud kedatanganku. Sontak Om Thimoty berdiri usai kuutarakan maksudku untuk melamar putri kesayangannya. Aku tak berani memandangnya. Aku hanya dapat merasakan dia berdiri mematung mengarahkan pandangannya ke arahku. Tanpa sepatah kata pun yang terucap, Om Thimoty membalikkan badannya. Ia masuk ke kamar Kiara. Om Thimoty meninggalkan kami di ruang tamu tanpa jawaban.
***