Kami pun beranjak dari kafe dan berjalan memasuki lorong menuju pesawat yang berhiaskan pemandangan alam New Zealand yang tampak alami dengan adanya sound kicauan burung yang saling bersahutan.
“Hi, Uncle Prince….”
Kudengar ada suara memanggil namaku. Kubalikkan badanku. Kulihat dua gadis kecil berteriak memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya. Kukerutkan dahiku mencoba melihat dengan seksama wajah-wajah sang bocah yang sepertinya tak asing lagi di mataku. Kulihat kedua gadis kecil itu seperti meminta izin kepada ayah ibunya untuk menghampiriku. Benar saja mereka berlari-lari kecil ke arahku.
Kali ini aku bertemu dengan mereka lagi setelah pertemuan sebelumnya di Lake Tekapo beberapa waktu lalu. Ini kali ketiga perjumpaanku dengan mereka. Pertama sekali kami bertemu saat mendarat di Bandara Queenstown. Saat itu mereka salah masuk barisan saat antri di imigrasi. Dengan santainya Alma menghampiriku lalu bergelayutan di kakiku. Mungkin ia mengira aku ayahnya yang juga sedang mengantri menunggu giliran.
“Alma … Papa di sini ….,” ucap sang ayah waktu itu.
Alma langsung melihat ke wajahku dan buru-buru melepaskan tangannya saat tahu yang sedang digelayuti itu bukan ayahnya. Alma segera berlari ke ayahnya yang sedang mengantri di belakangku. Sang Ayah meminta maaf padaku atas kelakuan putrinya. Aku tersenyum sambil membelai lembut kepala Alma. Alma yang malu langsung bersembunyi di belakang ayahnya.
“Halo Uncle Prince…,” ucap Alma sambil memberikan senyumnya yang manis padaku.
“Uncle Prince mau pulang juga?” tanya Alya.
Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya. Wajahnya mereka yang hampir tak ada beda dan pakaian yang sama membuatku sulit membedakan mana adik dan mana kakak. Aku pun bertanya pada mereka siapa yang jadi kakak, Alma atau Alya. Dua bocah lucu itu pun menjawab kompak memberitahuku kalau Alma adalah kakak dan Alya adiknya.
Lalu mereka mengujiku dengan menanyakan apa perbedaan fisik yang tampak dari mereka. Aku berpikir keras sambil memperhatikan wajah mereka satu persatu dari ujung kaki hingga kepala. Aku hampir-hampir tak menemukan perbedaan di antara mereka. Sampai akhirnya, mataku tertuju pada sebuah tanda di dekat alis Alma. Alma memiliki tahi lalat di dekat alis sebelah kanannya.
Akhirnya kami pun berjalan masuk menuju pesawat bersama-sama. Alya di sebelah kanan dan Alma di sebelah kiri berjalan kompak sambil menggandeng tanganku. Mereka bercerita tentang keseruan menunggang kuda saat mengunjungi tempat yang menjadi lokasi syuting film terkenal Lord of the Ring. Kulihat ayah dan ibu mereka hanya tersenyum melihat kelakuan kedua putrinya yang bisa begitu akrab denganku.
Aku mendengar celoteh dua gadis itu bercerita tentang boneka teddy bear hadiah special ulang tahun dari ayanya beberapa hari lalu. Betapa bahagianya mereka. Setidaknya itu yang kulihat di wajah keduanya dan dari cerita mereka yang sangat bangga memiliki orang tua yang baik hatinya.
Gadis kembar berusia tujuh tahun itu terus bercerita sampai kami tiba di kursi pesawat. Ayah ibunya meminta maaf padaku atas kelakuan kedua puterinya karena khawatir kelakuan kedua putrinya menggangu kenyamananku. Aku tersenyum sambil memastikan bahwa aku tak terganggu dan mengatakan mereka gadis yang manis dan sangat beruntung memiliki orang tua seperti mereka.
Kulihat Rona dan Raya tersenyum melihat kedekatanku dengan dua gadis kembar itu. Lalu, mereka meledekku kalau aku sudah cocok menjadi seorang ayah dan menyindirku untuk segera menikah. Aku pura-pura tak mendengarnya sambil menaruh tasku.
Sebuah benda terjatuh saat aku menaruh tas dibagasi kabin pesawat. Bingkisan kecil dari Pamannya Runi yang kuselipkan di tas menimpa wajahku. Sebetulnya ingin kubuang bingkisan itu di Sungai Avon tadi. Namun, Raya mengambilnya dan mengembalikan padaku karena dia mengira bingkisan itu terjatuh ke sungai padahal aku sengaja membuangnya. Kuselipkan kembali bingkisan itu ke tas lalu duduk di sebelah Raya.
Rona yang duduk di dekat kaca terlihat sedang memandangi area luar bandara melihat pesawat-pesawat lain yang akan bersiap terbang. Dua gadis kembar yang duduk di deretan kursi depan kulihat sedang bercanda dengan ayah ibunya dengan sesekali diiringi tawa yang memenuhi ruangan pesawat.
Sesaat kemudian, beberapa orang pramugari muncul dan berdiri di beberapa tempat. Mereka memeragakan cara memakai alat keselamatan. Kami memperhatikannya dengan seksama dari awal hingga selesai. Tak berapa lama kemudian, pilot pun mengumumkan bahwa pesawat akan segera take off dan meminta penumpang agar memakai sabuk pengaman.
Perjalanan pulang kali ini membuat jantungku berdebar-debar. Bukan karena pesawat akan lepas landas. Namun, ucapan Raya sesaat pesawat akan lepas landas membuat perasaanku campur aduk dibuatnya.
“Aku sudah memesankan tiket pulang untukmu ke Makassar.”
***