Runi tampak lebih tenang. Tidak seperti beberapa tahun lalu. Aku mengenalnya saat kuliah di semester dua. Dia begitu agresif mengejarku. Tak jarang dia sering lebih dulu berinisiatif mengajakku nonton atau sekadar menemaninya makan siang di kantin kampus. Dia yang memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku mengiyakan saja meski saat itu dengan perasaan masih hampa. Aku yakin cinta akan tumbuh karena terbiasa.
Benar saja, perhatian dan kasih sayangnya ibarat benih yang disebar di hati lalu tumbuh bermekaran bunga-bunga. Makin hari, aku makin nyaman berada di dekatnya. Akhirnya aku pun merasakan juga bagaimana rasanya jatuh cinta. Entah apa sebenarnya kelebihanku di matanya. Entahlah apa yang menarik dariku hingga ia begitu jatuh cinta. Padahal banyak lelaki yang lebih tampan dan juga kaya raya yang mengejar untuk menjadikan dia pacarnya.
Namun, Runi selalu menghindar. Katanya ia lebih nyaman berada di dekatku yang terlihat sederhana dan tampil apa adanya. Yang pasti sejak mengenalnya aku mendadak romantis. Aku sering kali membuatkan untuknya kata-kata puitis. Mungkin itu yang membuatnya melayang tinggi ke udara serasa bidadari nan jelita.
Banyak lelaki yang sakit hati dengan Runi dan menuduhku telah berbuat jahat. Aku difitnah menggunakan ilmu hitam untuk meluluhkan hati Runi. Aku dituduh telah melakukan guna-guna melalui tulisan-tulisan puisi yang sering kuberikan padanya. Aku tak mempedulikan fitnahan mereka. Sebejat-bejatnya perbuatanku aku masih tahu dosa besar jika menyekutukan-Nya. Aku tulus mencintai Runi dari hati. Bukan sebuah kepura-puraan. Bukan pula seperti tuduhan mereka yang mengatakan aku mencintainya karena dia anak orang kaya dan ingin memanfaatkannya.
“Dasar orang kampung miskin. Kau mendekati Runi, karena mau dengan hartanya kan?” ucap salah seorang yang pernah sakit hati kepadaku karena Runi menolak cintanya.
Makin hari aku makin merasakan perhatian Runi yang makin melimpah. Dia tak mempedulikanku yang saat itu tak bisa memberikannya apa-apa seperti kebanyakan lelaki kepada kekasihnya. Bahkan sebaliknya, dia kerap memberikan perhatiannya dengan melalui hadiah-hadiah mahal yang aku sendiri tak sanggup membelinya: jam tangan, sepatu dan barang-barang bermerk lainnya. Runi begitu baik hati dan makin membuatku jatuh cinta. Runi hanya selalu berusaha ingin membuatku bahagia.
Runi yang sudah terlanjur jatuh hati tak mampu menolak segala apa yang kuminta. Mungkin ada benarnya ucapan mereka yang mengatakan aku jahat karena ingin memanfaatkan Runi untuk kepentingan pribadi. Aku tak pernah meminta sesuatu secara frontal. Kadang hanya sekadar iseng berucap, tapi anehnya dia selalu berusaha mewujudkan semua yang kuminta. Bahkan termasuk saat aku meminta kehormatannya. Ah, hina sekali rasanya jika harus mengingat kejadian malam itu. Aku yakin dia akan membenci dan menyimpan dendam kesumat yang begitu dalam.
Seminggu setelah kejadian malam itu aku mengajaknya bertemu di sebuah cafe di kawasan Dago. Tempat itu adalah tempat. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan kepadanya. Akhirnya di tempat dan waktu yang sudah ditentukan kami pun bertemu. Aku sudah tiba lebih dulu. Runi baru tiba sekira sepuluh menit kemudian. Jeda beberapa saat kami memesan minuman. Aku espresso dan dia cappuccino.
“Ada apa, tumben kau mengajakku ke sini?” tanya Runi dengan senyumnya yang masih belum berubah.
Aku hanya terdiam sambil menatap matanya. Jujur, melihat senyumannya membuatku menjadi tak tega. Sebab, tujuanku bertemu dengannya kali ini bertolak belakang dengan senyumnya yang merekah bunga. Justru sebaliknya. Aku yakin, justru malah akan membuat hatinya patah. Aku yang mendadak diam seribu bahasa, hanya membuat Runi bingung. Sebab tak biasanya dia mendapatiku seperti ini. Sikapku yang dingin dan lebih banyak menundukkan kepala membuat Runi bertanya-tanya.
“Ada apa?” tanya Runi.
Kuambil napas dalam lalu mengembuskannya pelan. Kuatur sedemikian rupa untuk mengatur jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Pelan, kuarahkan tanganku meraih segelas espresso di hadapan. Kuseruput kopi tanpa gula itu lalu meletakkannya kembali ke tempat semula. Aku mencoba mengangkat kepala dan tatapanku jatuh tepat di matanya. Aku bingung mesti memulainya dari mana.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Runi,” ucapku lalu menundukkan kepala.
Runi yang baru saja menyeruput cappuccino-nya pun tersedak. Mungkin dia tidak mengira bahwa tujuanku kali ini mengajaknya bertemu hanya ingin menegaskan hubunganku dengannya. Putus.
“Ma-maafkan aku, Runi.” ucapku penuh penyesalan.
Mendadak hening. Terdengar jelas, napas runi naik turun mengontrol emosinya.
“Maaf? Mudah sekali kau mengucapkan itu setelah apa yang kita buat seminggu lalu.”
Aku hanya terdiam. Aku mengaku salah karena telah merenggut kehormatannya. Aku benar-benar bejat. Aku ibarat kumbang yang pergi usai menghisap madu bunga di taman. Sepah dibuang setelah kuhisap manisnya.
“Bukankah kau sendiri yang berjanji padaku kalau kau ingin hubungan kita ini untuk selamanya? Bukankah kau sendiri yang berjanji bahwa usai lulus kuliah nanti kau akan datang ke orang tuaku? Kau berjanji akan melamarku. Lalu, tiba-tiba kau memutuskan hubungan kita setelah aku memberikan hal paling berharga kepadamu?
***