Aku melihat keluar melalui kaca jendela. Terlihat Rona dan Runi berbincang akrab saling melepas rindu. Sesekali kulihat Om Bira menimpali Rona. Beberapa kali kuperhatikan dia mengarahkan pandangannya ke campervan kami. Tiba-tiba denyut jantungku berdegup tak keruan saat matanya menangkap mataku yang sedang melihatnya dari balik jendela.
Aku segera bersembunyi di balik kaca. Aku menenangkan diri dengan mengatur napasku sedemikian rupa agar Raya tak curiga. Namun, gerak-gerikku yang tampak tak natural membuat Raya sekali lagi menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Aku bingung apakah kali ini harus jujur pada Raya. Aku tak tahu apakah ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semua kejadian masa lalu kelamku kepadanya. Namun, aku ragu. Apakah harus menceritakan kejadian itu dengan sebenar-benarnya? Bukankah itu berarti aku harus membuka semua aib yang selama ini sudah kututup rapat-rapat? Ataukah aku tetap menutupinya hingga akhir hayat? Sementara ,perasaan di hatiku yang paling dalam begitu resah. Ingin rasanya kuungkapkan semua gundah agar hati ini menjadi lega.
“Kau baik-baik saja kan, Lang?”
Aku mengangguk pelan. Raya tak percaya begitu saja.
“Cerita saja kalau ada yang mengganjal di hatimu.”
Raya menatapku. Dari matanya kudapati ketulusan seolah ingin menjadi pemberi solusi atas masalah yang sedang kuhadapi. Raut wajah Raya pun mendadak berubah serius. Tambah lagi ia meyakinkanku agar aku bisa terbuka padanya dengan mengutip kata-kata bijak seorang pujangga.
“Keindahan persahabatan adalah bahwa kamu tahu kepada siapa kamu dapat mempercayakan rahasia,” ucap Raya mengutip perkataan Alessandro Manzoni seorang penyair dan novelis Italia yang terkenal dengan novel The Betrothed-nya.
Sebenarnya aku ingin menceritakan tentang pertemuanku dengan Om Bira beberapa waktu lalu di Queenstown Mall, sebelum melanjutkan perjalanan ke Danau Wakatipu. Namun, bukannya aku makin yakin, malah sebaliknya. Aku makin ragu untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Masalahnya ini bukan semata kisah di masa lalu. Ini tentang maksiat yang pernah kubuat. Aku tak mungkin membongkat aib-aibku sementara Allah sudah menutupinya rapat-rapat.
“Kau masih ingat, saat kita makan kebab di … ?”
Aku belum sempat menyudahi ucapanku. Rona memanggil kami untuk segera bergabung bersama mereka.
“Honey,” teriak Rona.
“Iya, sebentar Sayang,” jawab Raya,
Raya meminta waktu beberapa saat lagi karena menunggu ucapanku yang terputus. Raya penasaran mendengar ucapanku yang masih menggantung. Namun, Rona terus memanggil Raya. Kulihat wajah Rona berubah kesal saat Raya masih tetap belum beranjak dari dalam campervan.
“Iya kenapa, Lang?”
“Hmm …” Aku ragu untuk melanjutkannya, “Tuh lihat Rona sudah ngambek.”
Raya melihat ke arah istrinya. “Iya Sayang, ini lagi cek kamera.”
Raya pun segera beranjak saat tahu istri kesayangannya itu merajuk sambil mengajakku untuk segera bergabung.
“Ayo, Lang. Lagian juga nanti juga bisa kau rapikan tasmu saat kita diperjalanan.”
“Kau turun duluan saja.”
Aku meminta waktu sebentar untuk berdiam diri sejenak dan membiarkan Raya bergabung lebih dulu.
Raya terlihat ragu dengan ucapanku karena aku mengulur-ulur waktu. Aku berusaha meyakinkan Raya agar menyusul sesegera mungkin untuk berkumpul bersama mereka. Raya beranjak keluar sambil membawa kameranya. Lalu, dia bergabung bersama mereka dan meninggalkanku sendirian dengan perasaan campur aduk antara sedih dan gelisah.
***
Demi CINTA
Seorang rela menghitung tetesan samudera
Tenggelam paling dalam demi mutiara
Meski papa
Ia rela berjalan tanpa lelah
Meski bagi hati yang awam
semua hanya percuma
Namun, bagi sang pecinta
tersimpan maha rahasia
Suara lembut itu terdengar merdu tak jauh dariku. Kuangkat wajahku perlahan. Kulihat Runi berdiri tepat di pintu campervan sambil membacakan puisi yang pernah kubuat saat kami masih menjalin hubungan. Aku hampir tak mengenalinya. Sekian tahun berpisah ternyata sudah banyak yang berubah darinya.
“Assalamu’alaikum, Wellang.”
Runi menyapaku sambil menyematkan senyumnya yang masih belum berubah. Masih manis dan membuatku salah tingkah.
“Apa kabar, sudah lama ya nggak ketemu.”
Bahagia sekali rasanya bisa melihat kembali tawa dan senyumnya yang indah.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah,” jawabku membalas sapaannya meski dengan gugup bercampur keringat dingin yang mengucur dari pelipisku.
“Jauh-jauh dari Indonesia datang ke sini, tapi hanya betah di campervan?”
Aku tak menjawabnya. Aku langsung bangkit dari tempatku lalu keluar dari campervan dan kini aku berdiri dengannya berhadap-hadapan. Aku melihatnya secara utuh dari ujung kaki hingga kepala.
Runi yang dulu kukenal sebagai gadis manis dengan pakaian sexy kini berubah menjadi sosok anggun dengan balutan hijab syari. Dia terlihat makin cantik dan masih membuat jantungku berdegup tak keruan persis saat pertama kali aku mengenalnya. Kali ini aku menemukan sosok Runi yang sungguh luar bisa jauh berbeda.
“Masyaallah,” kagumku dalam hati.
***