Sejujurnya jika harus memilih, maka aku memilih untuk tetap berada di dalam campervan. Bukan bermaksud tidak sopan atau tidak menghargai Runi dan Om Bira. Namun, aku khawatir pertemuan ini akan membangkitkan kenanganku di masa lalu. Kenangan pahit yang sedang berusaha kukubur dalam-dalam dan tak ingin kuingat kembali. Sebab aku tak ingin usahaku memperbaiki diri selama bertahun-tahun ternoda karena pertemuanku dengan mereka.
Dua orang di masa lalu itu begitu membekas dalam ingatanku. Seruni Pratiwi dan Danu Bira Tresna, dua orang yang memiliki hubungan darah itu pernah mewarnai hari-hariku. Warna yang semula kukira indah. Namun, nyatanya berakhir dengan bencana. Hubunganku dengan mereka memiliki masa-masa paling hitam dalam hidupku. Masa yang membuatku lupa untuk bersyukur sebagai hamba-Nya.
Aku yang terjerembab dalam dosa dan kini tengah berusaha memperbaiki diri untuk lebih baik di hadapan-Nya. Namun, hari ini? Mengapa mesti mengingatkanku lagi dengan masa-masa itu dengan dipertemukan lagi orang-orang di masa lalu?
“Ya Allah, mengapa aku mesti bertemu dengan mereka lagi?” batinku.
Raya sepertinya membaca gelagatku yang terlihat tak nyaman lalu ia mendekatiku. Raya menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku hanya mengangguk pelan. Namun, bukan Raya namanya yang bisa percaya begitu saja. Dia hapal betul dengan sifatku karena kami sudah bertahun-tahun dalam kebersamaan.
“Kamu baik-baik saja, Wellang?”
Aku mengangguk pelan tanpa melihat matanya. Aku masih pura-pura sibuk dengan mengecek isi tasku.
“Are you Ok?” tanya Raya sekali lagi.
Lagi-lagi aku mengangguk. Kali ini aku menatap mata Raya sambil tersenyum untuk meyakinkannya. Raya mendekatiku. Sepertinya dia merasakan ketidaknyamanan yang aku rasakan.
“Aku yakin, kau sedang tidak baik-baik saja,” ucap Raya sambil menepuk pundakku.
“E i-iya. Mungkin aku hanya sedikit lelah,” jawabku sedikit kaku.
Raya menggeleng pelan.
“Kau malu bertemu dengan Runi?”
Aku hanya terdiam sambil terus berpura-pura sibuk memeriksa isi tasku.
“Betul kan?”
“Itu salah satunya,” jawabku.
“Ada hal yang lain?” tanya Raya bingung.
“Nggak ada,” jawabku singkat sambil menggeleng pelan.
“Apa kamu masih sakit hati sama dia?”
Aku menarik napas dalam. Kemudian menggelengkan kepala.
Raya terlihat bingung dengan jawabanku. Kulihat kerutan di dahinya. Lalu, dia mencoba menenangkanku dengan melepas senyuman kecil.
“Santai saja,” ucap Raya sambil menepuk pundakku pelan, “anggap saja silaturahim biasa.”
Aku hanya mengangguk. Lalu, Raya mengulang kembali cerita tentang alasanku memutuskan hubungan dengan Runi waktu itu. Raya hanya tahu alasanku memutuskan hubungan dengan Runi karena memergokinya dengan lelaki lain yang ternyata adalah Om Bira. Tidak lebih dari itu. Aku tak ingin dia mengetahui alasanku yang sesungguhnya.
Raya tidak pernah tahu ada hubungan apa sebenarnya antara aku dengan Om Bira. Raya pun tidak pernah tahu kejadian kelam di masa lalu antara aku dengan lelaki yang kini kutemui kembali tanpa disengaja, tanpa direncanakan sebelumnya.
Alasanku memutuskan hubungan dengan Runi sebenarnya hanya alasan yang kubuat-buat agar bisa berpisah. Bahkan, saat Runi masih di Indonesia, dia sering kali meyakinkanku bahwa semua hanya kesalahpahaman semata. Runi selalu berusaha untuk mempertahankan dan ingin melanjutkan kan kembali hubungan antara aku dengannya. Namun, sungguh aku tidak mau melanjutkan itu karena satu hal yang tak ingin kuungkapkan padanya.
***