Aku meminta maaf atas ketidaksengajaanku menginjak rem secara mendadak. Raya yang khawatir akan keselamatan kami menawarkan diri untuk menggantikanku menjadi supir.
“Kamu nggak apa-apa kan, Lang?” ucap Rona.
“I’m ok,” jawabku singkat.
“Kalau kau masih mengantuk, biar aku saja yang menyetir,” ucap Raya menawarkan diri sambil mendekat ke arahku.
“Insyaallah, aku nggak apa-apa.”
“Yakin?” ucap Raya.
“Iya, insyaallah yakin.”
Aku menolak tawaran Raya untuk menggantikanku menyetir. Aku meyakinkan dia bahwa aku baik-baik saja. Raya pun percaya setelah aku memberikan alasan mengapa mengerem mendadak. Aku bilang padanya ada binatang liar yang melintas di jalanan. Raya kembali ke tempat duduknya sambil mengingatkanku agar lebih berhati-hati lagi dalam berkendara.
“Kalian ini memang paling kompak kalau sudah mem-bully orang lain,” jawabku sambil membawa mobil ke sebelah kanan.
***
Aku berpura-pura santai dan bersikap natural seolah tak menggubris candaan Rona dan Raya. Padahal napasku tiba-tiba sesak dan dunia seolah berhenti berputar saat kata-kata itu keluar dari mulut mereka. Entah bagaimana jadinya jika mereka tahu tentang aib-aibku di masa lalu. Entah bagaimana jadinya jika Allah membuka segala kebobrokan moralku di masa-masa paling kelam dalam hidupku.
Andai saja Raya tahu kejadian sebenarnya saat kali pertama ia menolongku yang terbebas dari keroyokan massa di daerah Ciungwanara. Ah, aku tak tahu bagaimana jadinya jika Allah membongkar semuanya. Sebab amat mudah bagi-Nya membongkar skandal dan aib-aib kita.
“Jadi benar, orang yang kulihat kemarin di Queenstown itu dia?” batinku.
Mendengar jawaban Rona mendadak jantungku berdetak lebih cepat. Kegelisahanku hari ini bertambah. Bukan hanya karena rencana pertemuan kami dengan Runi, tapi juga pertemuan dengan pamannya yang akan terjadi beberapa saat lagi. Aku teringat perbincangan yang samar kudengar saat Rona dan Runi menelepon tempo hari. Saat itu
“Jadi, Runi sekarang melanjutkan studinya mengambil program doktoralnya di sana,” ucap Rona sesaat menyudahi teleponnya, “Nah, sekarang dia tinggal sama pamannya yang bekerja di salah satu perusahaan multi nasional di daerah Christchurch.”
Aku baru sadar yang dimaksudkan Rona tentang Pamannya Runi adalah orang yang sama: Danu Bira Tresna.
Tak berapa lama sejak kejadian pengeroyokan bertahun-tahun lalu saat Raya menemukanku malam itu aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Terakhir Om Bira hanya mengatakan akan pergi jauh. Namun, tak memberitakan dengan jelas ke mana. Komunikasi pun terputus. Segala akses media sosialnya pun terblokir.
Aku berpikiri positif bahwa Om Bira ingin menjalani hidup baru dan ia tak mau aku menjadi orang yang menghalanginya. Akhirnya misteri yang selama ini disembunyikan Om Bira dariku pun akhirnya terjawab hari ini. Om Bira pergi jauh dan menetap di New Zealand.
***
Lima menit berlalu dari pukul sembilan pagi dan akhirnya kami tiba di sebuah kota dengan ragam bangunan modern dengan budaya kontemporer dan meriah. Christchurch begitu cantik dan memamerkan pesonanya. Sepanjang jalan kami dapat melihat banyak pusat kreativitas modern hingga kontainer warna-warni yang digunakan sebagai toko yang menawarkan berbagai macam dagangan. Sebetulnya banyak yang bisa kami lakukan di sekitar Christchurch.
Selain berbelanja di toko-toko yang unik banyak juga tempat-tempat yang sudah menjadi tujuan favorit para traveler sejak lama seperti International Antarctic Centre, Orana Wildlife Park. Namun, sayangnya waktu kami terbatas hari ini sebab harus segera menuju Canterbury Museum untuk bertemu Runi.
Setibanya di lokasi aku memarkir campervan di jalanan depan museum. Terdapat marka jalan P120 yang berarti batas kami memarkir kendaran maksimal adalah 120 menit. Sebelum turun dari campervan Rona tak lupa menelepon Runi untuk mengabarkan bahwa kami baru saja tiba.
“Runi, kami baru saja tiba,” ucap Rona di telepon yang sengaja di-load speaker.
“Ok. Aku juga sudah sampai nih lima menit yang lalu.”
“Ok, Sayang. Ada yang udah nggak sabar nih pengen ketemu,” ucap Rona.
“Siapa?” tanya Runi penasaran.
“Ada deeeh,” jawab Rona cekikikan sambil melihat ke arahku.
Kulihat Rona sudah tak sabar ingin segera turun dari campervan lalu menemui sahabat lamanya itu. Apalagi Rona tahu kalau ternyata Runi sudah berada di sini lebih dulu. Tak berapa lama Rona menyudahi teleponnya lalu menggunakan tabir surya untuk melindungi kulit putihnya sebelum keluar dari campervan.
Sebelum kami turun tak lupa Raya mengingatkan bahwa kami tak bisa berlama-lama. Rencananya setelah makan siang, kami harus mengembalikan campervan ke kantor Wilderness di dekat bandara.
“Ingat ya, kita nggak bisa berlama-lama,” ucap Raya.
“Tapi, Honey,” ucap Rona merajuk.
“Iya aku paham, Sayang, tapi kita mesti mengejar waktu.”
“Dari awal kan sudah aku bilang, hari pertama setibanya kita di sini, langsung bertemu Runi,” ucap Rona sambil cemberut.
“Ya sudahlah, sudah terlanjur. Sekarang yang penting kita manfaatin waktu yang ada.”
“Nah, betul itu katamu, Wellang.”
Kami harus memanfaatkan waktu yang tersisa ini sebaik mungkin. Rona meminta izin kepada Raya untuk turun lebih dulu. Raya masih merapikan beberapa barangnya yang berantakan. Sementara, aku sengaja berlama-lama di dalam campervan karena ada perasaan yang begitu tidak mengenakan.
“Kau tak turun?” tanya Raya setelah selesai merapikan barangnya.
“Nanti saja.”
Entah bagaimana perasaanku saat ini. Yang jelas hatiku gelisah, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sebab, kali ini aku harus bertemu orang-orang di masa lalu.
***