Raya masih asik menelepon dengan Om Hans. Sementara Rona terlihat sedang membaca kumpulan artikel yang kukumpulkan dari berbagai sumber di internet terkait segala hal tentang New Zealand. Kumpulan artikel itu kujilid rapi seukuran buku diary sehingga nyaman digenggam. Sengaja aku mengumpul berbagai artikel tentang New Zealand beberapa hari sebelum kami berangkat. Sebab kami selalu ingin tahu tentang tempat yang akan kami singgahi.
Aku merapikan kembali meja piknik ke tempat semula. Membersihkan sisa-sisa sarapan dan menaruhnya di kantong sampah yang mulai penuh. Kami harus membuang sampah dengan bertanggung jawab. Kami tidak bisa sembarangan membuang air limbah. Ada tempat khusus untuk mengosongkan toilet. Kami bisa menemukannya dengan mudah melalui aplikasi CamperMate. Biasanya ada dump station sign berwarna biru sebagai penanda untuk mempermudah wisatawan untuk membuang limbahnya. Setelah semua beres kami langsung masuk ke campervan.
Tak berapa lama kulihat Raya menyudahi teleponnya dan berjalan ke arahku lalu membantuku merapikan memasukkan sampah ke dalam kantong plastik. Aku banyak belajar dari Raya. Melihat sahabatku itu, aku bukanlah apa-apa. Secara kelengkapan anggota keluarga aku lebih beruntung dari dia, aku masih mempunyai keluarga yang utuh, sementara Raya tidak. Namun, meski demikian Raya tetap mandapatkan nilai-nilai ke-ayah-an yang dia dapatkan dari sosok Om Hans. Bahkan sebelumnya nilai-nilai itu keayahan itu dia dapatkan dari Kakeknya meski tak berlangsung lama. Om Hans mengambil alih pengasuhan itu karena kakek Raya harus menyusul ayahnya kembali menghadap Sang Maha Kuasa.
Seperti halnya yang dialami oleh baginda Nabi Muhammad Saw. Meski sudah menjadi yatim sejak beliau dalam kandungan, tapi sosok ayah tetap beliau dapatkan. Abdul Muthalib, sang kakek menjadi sosok penting dalam kehidupan sang nabi, sebab dirinya berperan mengisi kekosongan peran ayah. Pun ketika sang kakek meninggal, peran ayah dalam kehidupan sang nabi tetap ada. Abu Thalib, sang paman, menggantikan sang kakek untuk dalam mengasuh sang nabi.
***
Aku sudah bersiap di balik kemudi. Perjalanan kali ini aku yang menyetir. Setelah memastikan tak ada barang yang tertingal perjalanan di mulai. Tujuan pertama ke Christchurch, lalu menemui Runi di sekitar Canterbury Museum. Kami sudah bersiap. Kulihat dari kaca Rona sedang merapikan jilbabnya sementara Raya terlihat sedang membaca kumpulan artikel yang tadi dibaca Rona. Dari artikel itu kami banyak mengetahui banyak hal tentang New Zealand. Selain keindahan alamnya yang indah aku sempat terkejut mengetahui bahwa New Zealand termasuk dalam kategori negara paling islami.
Aku sempat terkejut dengan sebuah jurnal hasil penelitian bertajuk “How Islamic are Islamic Countries” yang dilakukan oleh Prof Dr Scheherazade S Rehman dan Prof Dr Hossein Askari dari The George Washington University. Jurnal yang diterbitkan tahun 2010 itu menyebutkan bahwa New Zealand termasuk dalam kategori negara paling islami. Mereka melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan ayat-ayat dari Al-Qur’an dan hadits-hadits. Kemudian, mereka mengolahnya sedemikian rupa. Lalu, merumuskannya menjadi beberapa variabel konkret secara kuantitatif. Hasilnya rumusan itu mereka jadikan sebagai dasar untuk menentukan kriteria negara islami.
Aku mengira, negaraku yang mayoritas penduduknya muslim akan bertengger di urutan kedua setelah New Zealand. Apalagi, Indonesia merupakan populasi muslim terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya tebakanku salah. Urutan keduanya ternyata diduduki Luxemburg, negara dengan mayoritas penduduknya adalah non muslim. Aku heran dan dalam hati sempat bertanya: bukankah di sana negara dengan minoritas muslimnya? Informasi yang kudapatkan dari sebuah artikel menyebutkan bahwa mayoritas penduduk di sana beragama Kristen dengan denominasi Kristen terbesar adalah Anglikan dan Katolik Roma.
Aku makin mengelus dada saat membaca urutan negara-negara dengan kategori islami menurut dua orang peneliti itu. Ternyata, Indonesia tidak ada diurutan sepuluh besar. Bahkan di urutan lima puluh besar tidak. Indonesia kalah dengan Amerika yang berada di urutan ke-25. Indonesia berada di urutan ke-140. Itu pun masih kalah dengan negara tetangga, Malaysia, yang bertengger di urutan ke-38. Sementara, Arab Saudi berada diurutan ke-131.
Padahal Indonesia sangat juara pada persoalan ritualnya. Bayangkan, betapa banyak jamaah haji setiap tahunnya. Belum lagi saat Ramadhan tiba, setiap sudut kota hingga pelosok desa semarak dengan nuansa dakwah. Ditambah lagi banyaknya organisasi dan partai Islam yang makin menjamur di mana-mana.
Sayangnya penelitian itu tak menjadikan aspek ritual personal sebagai indikatornya. Namun, kriteria yang dimunculkan dalam penelitian oleh dua orang peniliti dari The George Washington University itu bukan dalam halam semarak ritual. Kriteria yang dimunculkan adalah seberapa jauh ajaran Islam membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan hadis.
***
Mobil melaju tenang menuju tujuan berikutnya. Perjalanan hari ini terasa begitu berat di hatiku. Padahal sebelum-sebelumnya aku selalu antusias dan tak sabar untuk melihat keajaiban apa lagi yang akan disuguhkan New Zealand. Bukan karena lelah melakukan perjalanan jauh. Namun, perjumpaan dengan Runi beberapa waktu ke depan membuat hatiku menjadi gamang. Berbeda dengan Rona yang kudengar sedang berbincang dengan Runi di telepon. Samar kudengar ia mengabarkan bahwa kami sedang dalam perjalanan menuju tempat pertemuan yang sudah kami janjikan. Rona tampak begitu bahagia. Sesekali kudengar gelak tawa di sela perbincangan mereka.
Kuusir kegelisahan dengan berbincang santai dengan Raya. Kami mengingat-ingat kembali perjalanan di hari-hari sebelumnya. Mengenang kembali saat kami berlayar dengan sebuah kapal menyaksikan pemandangan luar biasa memesona di sepanjang Milford Sound di hari ke empat. Lagi-lagi pemandangan yang disuguhkan kembali membuatku jatuh cinta dengan karya indah Sang Maha Pencipta. Destinasi berupa air laut yang membentang sepanjang 15 kilometer dari pedalaman dari Laut Tasman yang dikelilingi tebing-tebing tinggi dan hutan. Kami dapat merasakan dari dekat percikan air terjun yang deras jatuh dari ketinggian lebih dari 150 meter.
Pesona alam bertambah indah saat kami dapat menyaksikan secara langsung tingkah lucu anjing laut yang terlihat santai di atas bebatuan. Dengan keindahan alam yang begitu luar biasa bak surga dunia wajar jika banyak orang menjadikan Milford Sound sebagai salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Bahkan karena saking indahnya banyak orang bilang “wajib mengunjungi Milford Sound sebelum mati.”
Tak hanya Milford Sound yang menyajikan pemandangan indah. Sepanjang perjalanannya pun aku terkagum-kagum dengan kemegahan gunung yang menjulang tinggi. Meskipun kami berada di musim panas kami masih dapat melihat salju di pucuknya. Sebagian salju meleleh membentuk air terjun kecil di badan gunung yang mengalir indah. Hal yang paling istimewa lainnya selama perjalanan adalah saat kami harus menembus terowongan gunung batu “Homer Tunnel” sepanjang 1.27 kilometer.
“Ngomong-ngomong kenapa kalian putus, Lang?” tanya Rona beberapa saat setelah menutup teleponnya.
***