“Sappo, uppammu lisu. Siuleng labe'e mujancika. Lettu makkokkoe de'pa napita tappamu. Dettoga mallupai laleng lisue?”[1]
Tak berapa lama kulihat ada pesan masuk di WhatsApp. Dari Enre. Aku pun membaca isi pesannya. Seperti biasa, dia selalu menanyakan kapan aku pulang. Kali ini pun sama. Dia menagih janji yang kuucapkan padanya sebulan lalu untuk pulang. Rindu katanya. Rindu bertualang bersama seperti yang pernah kami lakukan ketika masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Atas di Sengkang.
Sudah tak terhitung berapa kali kami menjelajahi tanah Celebes bersama-sama. Dengan perjalanan ala backpacker kami menapaki berbagai tempat yang indah di alam terbuka. Mulai dari jarak yang masih dekat seperti air terjun Sumpang Puli yang berada di tengah Pegunungan Keera, di Dusun Bekkae, Desa Awo. Hingga ke Danau Matano, danau terdalam ke-12 di dunia dengan kedalaman 590 meter, lebih dalam sekitar 40 meter dibandingkan Danau Toba. Bahkan, kami pernah menjelajah hingga ke Moncong Lompobattang, gunung setinggi 2.874 meter yang menempati peringkat ke-116 di dunia sebab keunggulan topografinya.
Sudah cukup lama aku tak berjumpa lagi dengannya. Sejak tujuh tahun lalu aku memutuskan untuk hijrah ke Tanah Pasundan. Aku memutuskan untuk memilih melanjutkan pendidikan di salah satu universitas negeri di sana. Selama tujuh tahun itu pula belum pernah sekalipun aku pulang.
Jika sebagian besar orang begitu memimpikan indahnya pulang kampung saat lebaran, nyatanya itu tak berlaku bagiku. Jangankan berencana, bahkan terpikirkan untuk pulang pun tidak. Kubuang jauh-jauh perasaan itu. Rasanya aku lebih betah di kampung orang dari pada pulang ke rumah.
Rindu kampung halaman ibarat bintang di kala malam. Sementara ingatan tentang bapak ibarat matahari yang terang benderang. Kala matahari menampakkan wujudnya, hilang pula bintang di telan siang. Begitupun dengan rinduku. Mendadak hilang saat mengingat segala kenangan buruk tentang bapak padaku di masa lalu.
Seberapa banyak rinduku untuk pulang?
Sebanyak jumlah bintang-gemintang
Di malam cemerlang
Lalu ketika terbit siang
Saat semua menjadi benderang
Kerlip bintang semalam pun hengkang
Lenyap berganti terang
Begitulah rinduku untuk pulang
Terbang melayang
Sebab sikapmu yang garang
Mungkin
Aku akan pulang
Nanti
Saat engkau telah mati
Entah berapa ribu kali kebohongan kubuat. Segala macam alasan kureka sedemikian rupa agar aku tak menjejakan kaki kembali ke rumah. Empat tahun pertama alasan sangat mudah diterima. Kondisiku saat itu sebagai mahasiswa dan pekerjaan part time yang kulakukan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Meskipun kadang ada kawan yang berbaik hati meminjamkan uang untuk membeli tiket pulang. Tetap saja aku enggan menerima tawarannya. Sebab permasalahan sesunguhnya bukan itu. Bukan tentang perkara uang.
Namun, saat sekarang kondisi keuanganku semakin membaik itu bukan berarti melapangkan jalanku untuk kembali pulang. Lagi-lagi selalu saja ada alas an. Aku tetap berkilah dengan seribu alasan yang kubuat-buat agar tidak menjejakan kaki ke tanah kelahiran. Alasan klise-nya adalah karena kesibukan pekerjaan. Alasan utamanya, lagi-lagi karena rasa perih di hatiku belum juga kunjung reda. Bagiku, Sengkang begitu menyimpan banyak perih-perih kehidupan yang sulit terlupakan.
Meski aku harus jujur pada perasaanku, bahwa selama kurun waktu itu pula aku begitu merindukan ibu dan satu-satunya adik perempuan kesayangan. Tambah lagi aku sering mendengar ibu yang sudah mulai sakit-sakitan. Namun, lagi-lagi rasa perih di hati membuyarkannya dan membuatku enggan pulang.
Sengaja aku meninggalkan rumah karena begitu banyak kenangan duka di dalamnya. Bagiku rumah ibarat neraka yang membuatku panas dan tidak betah. Itulah salah satu sebabnya mengapa akhirnya aku sangat menyukai petualangan. Aku bisa bebas. Aku bisa bernapas. Aku bisa tertawa lepas. Bagiku berpetualang adalah cara minggat dari rumah dengan cara yang indah.
Keluar dari rumah adalah sebuah cita-cita yang begitu kurindukan. Rasanya mungkin persis seperti narapidana yang keluar dari penjara dan menghirup udara kebebasan. Aku memiliki rumah tapi tidak memiliki keluarga. Jika sudah begini aku selalu merasa bahwa Tuhan sepertinya tak adil kepadaku.
Aku merasa takdir-Nya begitu menyakitkan karena telah menggoreskan kisah hidupku sebagai seorang anak yang memiliki ayah akan tetapi tak dirasakan keberadaanya. Aku ibarat yatim meski ayahku masih hidup dan sehat raganya.
***
[1] Bro, kapan pulang. Sudah dari sebulan lalu kau janji. sampai sekarang masih belum kelihatan juga batang hidungnya. jangan bilang kau lupa jalan pulang.