Ah, lucu rasanya mengingat kembali peristiwa itu. Aku yang sedang putus asa, marah-marah kepada Yang Maha Kuasa. Maklum saja saat itu aku sedang labil-labilnya. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, mengapa Tuhan masih saja memberiku cobaan seberat ini? Padahal aku merasa sudah menjalankan perintah-Nya. Salat lima waktu tak pernah aku tinggalkan. Membaca Al-Qur'an selalu aku lakukan.
Kata-kata labilku yang dulu kulontarkan kepada Enre sempat pula kulontarkan kepada Raya. Namun, reaksi Raya sangat jauh berbeda. Mungkin karena faktor usia. Dulu usiaku masih usia remaja. Jauh berbeda dengan usia kami saat ini yang sudah jauh lebih dewasa.
Jika Enre tak memberikan jawaban, lain halnya dengan Raya. Jawaban Raya itu begitu menamparku. Mengingatkanku kembali bahwa cara berpikirku perlu diperbaiki. Aku yang mudah berburuk sangka, bahkan pada takdir-Nya, menyadari betapa lemahnya diri ini. Aku merasa seolah ibadahku sudah paling sempurna. Aku merasa Allah kejam hingga membuat hidupku menderita.
Aku mempertanyakan bagaimana bisa ketika seorang hamba sudah susah payah menyembah-Nya, mengapa Tuhan masih saja membuat kemalangan dalam hidupnya?
“Mengapa Allah masih menguji kita, meski kita sudah rajin beribadah?” tanyaku kepada Raya tempo hari.
“Supaya menjadi jelas apakah ibadah yang kita lakukan itu ikhlas karena Allah atau hanya sekadar berpura-pura. Jangan-jangan salat kita, puasa kita, tilawah kita hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja?”
Aku diam seraya mengangguk.
“Lagi pula Allah sudah menyatakannya sendiri dalam firman-Nya
Lalu, Raya mengutipkan terjemahan salah satu ayat dalam Al-Qura’an surat Al- 'Ankabut[1]: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?
Lagi, aku mengangguk pelan mendengar penjelasan Raya.
“Bisa jadi, solat, puasa, tilawah dan ibadah lain yang kau lakukan beluk cukup jika kau bandingkan dengan nikmat yang sudah Allah berikan. Bisa jadi, ibadah-ibadah yang kau lakukan itu malah yang menjadi penguat hingga kau bisa melalui ujian-ujian hingga saat ini.”
“Tapi, rasanya aku nggak kuat dengan semua ini, Raya.”
“Itu kan menurut kamu, Wellang. Memangnya kamu kira Allah salah ngasih ujian gitu buat hamba-hamba-Nya?”
Aku hanya mengangkat kedua bahuku menjawab pertanyaan Raya.
“Ya tentu aja nggak lah, Wellang. Allah sudah mengukur beban ujian sesuai kemampuan hamba-Nya.”
“Entahlah, kadang aku berpikir aku mau mati saja. Aku nggak kuat.”
“Sembarangan saja kalau bicara. Pake mau mati segala. Memangnya stok pahala kamu sudah berapa banyak? Yakin bakalan masuk surga? Yakin setelah mati akhirnya semua permasalahanmu akan selesai?”
“Yah kau kan nggak merasakan apa yang aku rasakan, Raya.”
“Benar. Aku memang tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Lalu, apa kamu merasakan apa yang aku rasakan? Nggak kan?”
Aku menggeleng. Raya tersenyum, lalu melanjutkan kembali ucapannya.
“Ujian tiap orang itu kan beda-beda. Ujian aku dengan ujian kamu berbeda. Bisa jadi jika kamu bertukar ujian denganku, belum tentu kamu sanggup melaluinya. Ibaratnya begini, ujian sekolah anak SD dengan anak SMP aja berbeda. Di mata anak SD kelas satu, ujian matematika tentang penjumlahan dan pengalian angka saja sudah sangat sulit. Guru tak mungkin memberinya ujian melebihi kadar kemampuanya dengan memberikan ujian anak SMP tentang sinus cosinus kan?”
“I see, aku paham.”
“Pernah Rasulullah ditanya oleh sahabatnya,” ucap Raya sambil serius menatapku, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?”
Seperti biasa, Raya akan semakin serius ketika dia menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an atau pun hadits. Aku menyimaknya.
“Kau tahu apa jawaban Rasulullah?”
Aku menggeleng tanda tidak tahu. Lalu, Raya melanjutkan ucapannya.
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.[2]”
Beruntung aku bertemu Raya. Banyak hal yang bisa aku dapat darinya. Tidak hanya tentang perkara duni, tapi juga tentang perkara agama yang banyak belum aku ketahui sebelumnya .
“Apapun musibah atau ujian hidup yang kita alami, jangan sampai itu menghalangi kita untuk tetap taat dan beribadah kepada-Nya,” ucap Raya menutup percakapan kami.
“Insyaallah,” jawabku seraya menganggukkan kepala.
***
[1] QS Al- 'Ankabut: 2
[2] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.