Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU
About Us  

Dua puluh orang berbaris membujur seraya bergerak rancak. Pendopo terbuka berlatarbelakangkan langit malam itu menjadi hidup oleh irama musik yang bergemuruh; sesekali nadanya meloncat naik atau menukik turun, tiap kali diikuti gerakan ala pencak silat.

Sekelompok orang lagi dalam jumlah yang kira-kira sama berbaris masuk dari sebelah kiri panggung, menyemarakkan suasana. Tepuk tangan penonton menyambut mereka. Kelompok kedua ini menggoyang-goyangkan kepala mereka yang berhias bulu seperti suku Indian, mengimbangi gerakan kelompok satunya yang menderap-derapkan sepatu boots masing-masing.

Kedua kelompok itu tiba-tiba melebur jadi satu dan terbagi kembali menjadi beberapa kelompok kecil. Dua kelompok yang terdepan, masing-masing tiga orang, melakukan gerakan silat lagi seolah saling bertarung.

“Wooohh ....”

Penonton terkagum-kagum menyaksikan ketangkasan para penari.

“Eh,” bisik Angga pada Evan di sisi kirinya, “mataku yang bermasalah, atau yang itu emang Mbak Helen?” Dia menunjuk ke salah satu penari pada kelompok terdepan.

“Matamu baik-baik aja. Itu memang dia,” sahut Evan bersemangat. “Dia salah satu penari terbaik.”

“Keren!” ujar Gita, smartphone dipegangnya sejajar dengan mata. Sementara Reni di sebelahnya juga sedang merekam pertunjukan itu dengan kamera digitalnya.

Di dekat mereka, Via dan Gilang juga menikmati pertunjukan. Mona dan kawan-kawan hiking-nya duduk juga di dekat situ. Tri sibuk menjepret dengan SLR-nya.

Fragmen itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah. Panggung kosong, namun musik dari gamelan asli tetap berkumandang.

Seorang pria berbicara melalui pengeras suara dalam bahasa Jawa kental, menjelaskan filosofi pertunjukan itu. Topeng Ireng—yang berarti “Topeng Hitam”—sebetulnya merupakan akronim dalam bahasa Jawa. Ia berasal dari kata toto—menata, lempeng—lurus, irama—nada, dan kenceng—keras. ‘Menata dengan lurus nada-nada yang bunyinya keras.’

Kelompok penari berikutnya memasuki panggung dan penonton kembali bertepuk tangan.

“Ngomong-ngomong,” ujar Angga lagi, “yang nonton di sini nggak cuma penduduk lokal, ya. Tuh, ada Masato di depan.”

Gita langsung memekik, “Mana?” Untuk sesaat, kedua netranya teralih dari layar smartphone. Reni juga ikut celingukan mencari-cari.

“Harusnya kamu nggak bilang, Ngga,” canda Pandu yang dari tadi diam saking terpesonanya dengan pertunjukan yang nostalgis itu.

“Aku suka caranya berpakaian,” seloroh Reni setelah menemukan sosok Masato di barisan depan penonton. “Dia orang luar negeri tapi pakai batik. Tadi siang juga, ‘kan?”

Yeah. Hidup produk Indonesia!” timpal Gita sembari tersenyum. “Aku suka lihat orang asing pakai batik. Artinya, ‘kan, batik betul-betul sudah mendunia.”

“Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu kalau dia orang Jepang, Ndu?” tanya Angga.

“Oh. Aku denger dia bergumam-gumam tentang bunga sakura. Kayaknya dia berharap pemandangan di gunung sini mirip kayak dari Gunung Fuji waktu musim semi. Itu lho, yang ada festival menonton bunga, hanami. Banyak bunga sakura di daerah itu, ‘kan?”

“Kamu bisa denger dan paham sebanyak itu, Ndu?” selidik Reni. Dia saja bahkan nggak sadar Masato bicara dalam bahasa Jepang meski cukup menguasainya. “Kamu nggak ngarang, ‘kan?”

Pandu hanya nyengir dan Reni menyikutnya. “Dasar!” gerutu cewek itu.

“Aku cuma membumbui faktanya sedikit,” kilah Pandu. “Intinya tentang bunga sakura, ini beneran, kok.”

Sebetulnya Pandu mendengar Masato membicarakan sebuah keyakinan aliran Zen Buddhist, dan bahwa dia bisa paham adalah karena pernah membaca tentang hal serupa di buku milik ayahnya. Persisnya Masato menyebut, “Aku pengin ada hanami di sini, seperti di Gunung Fuji. Menikmati bunga sakura di fase mereka yang paling indah, yaitu di masa sebelum akhirnya gugur.” Daripada dicela karena bacaan yang filosofis, Pandu memilih menyimpan bagian itu untuk dirinya sendiri sambil mencatat satu kesamaan antara dirinya dan Masato.

Gita mengamati sekeliling dan mendadak ekspresinya berubah. “Huuh. Si Bule juga ada di sini,” gerutunya. Tentu saja Gita masih kesal akibat kejadian siang tadi. “Dasar penjajah!”

“Husy, jangan ngomong kayak gitu,” tegur Pandu. “Kita belum tahu pasti dia orang Jerman atau Belanda. Lagian, Masato ‘kan, dari Jepang? Jepang dan Belanda ‘kan, sama-sama pernah ....”

“Iya, iya. Maaf, deh,” tangkis Gita. “Aku tahu, nggak baik menganggap orang buruk hanya karena sejarah bangsanya. Tapi, aku sentimen aja sama Om Bule yang satu itu.”

“Eh,” seloroh Reni, “Aku ngerasa pernah lihat orang itu.” Ia menunjuk ke sebelah kanan; beberapa penonton yang tidak kebagian tempat duduk berdiri di sana.

“Yang mana?” tanya Angga, celingukan.

“Yang ketiga dari kanan,” sahut Reni.

“Mas-mas yang pakai kacamata itu?” tanya Gita, ikut celingak-celinguk.

“Mas-mas? Itu bukannya guru, ya? Dia pernah jadi pengawas waktu UN,” ujar Reni.

“Oh, iya. Aku inget. Dia pengawas di ruangan kita di hari terakhir UN,” Pandu menyahut.

Angga dan Gita tentu saja tidak tahu—jurusan saja beda, apalagi ruang ujian!

“Kenapa banyak orang Solo berkumpul di sini e?” keluh Evan seolah hal itu mengganggunya.

“Memangnya nggak boleh, Van?” tantang Pandu dengan nada bercanda.

“Hahaha, kebetulan …,” seloroh Angga. “Kebetulan aja mereka pilih tanggal yang sama dengan kita untuk wisata ke Merapi.”

*

“Mbak Helen tadi keren banget!” puji Gita. “Gerakan-gerakan silatnya itu, lho.”

“Semua penari bisa gerakannya kok … tapi, makasih, ya,” sahut Helen merendah. Wajahnya sudah bersih dari riasan dan ia sedang mengemasi barang bawaannya.

Seusai pertunjukan Topeng Ireng, kelima remaja itu menunggu untuk bertemu kakak Grego itu. Evan, karena memang ia akan berjalan pulang dari pendopo Gereja Gubug Selo Merapi, tempat pertunjukan itu, bersama Helen. Sedangkan yang lain-lain ingin beramah-tamah saja, apalagi karena tadi mereka mengganggu gadis itu sewaktu bertugas gara-gara kecelakaan yang dialami Gita.

“Gimana kakimu, Me?” tanya Helen. Ia ikut memanggil Gita dengan cara yang sama dengan Evan.

“Udah mendingan, Mbak,” sahut yang ditanya. Agak keseleo, tapi sepertinya akan cepat pulih. Ini berkat obat oles tradisional Mbah Parjo yang ampuh namun baunya minta ampun. Kata beliau, itu obat racikan dari tetumbuhan di lereng Merapi. Gita terpaksa betah dengan baunya sepanjang sore tadi, namun hasilnya cukup memuaskan.

“Baguslah,” ujar Helen. “Oh iya, kalian kalau ada masalah apa-apa di sini, jangan sampai misuh ya.”

“Kenapa, Mbak?” tanya Angga.

“Penduduk lereng Merapi percaya daerah ini keramat,” Pandu yang menjelaskan. “Banyak hal-hal mistis.”

“Itu dia,” sahut Helen membenarkan. “Dulu pernah ada anak yang misuh—ya, anak kota yang live in di sini—dan setelahnya dia terpaksa dipulangkan gara-gara diare parah. Padahal teman serumahnya, yang makan-minum makanan dan minuman yang sama dengannya, nggak kenapa-kenapa.”

“Waktu aku live in juga pernah ada kejadian begitu,” sela Pandu.

“Beneran, Mbak?” seloroh Gita sambil melirik Pandu, agak merasa takut.

Helen mengangguk. “Jadi, hati-hati, ya.” Dia melihat jam tangannya. “Udah makin malem, nih. Yuk, pada pulang.”

“Apa Kak Niko pulang bareng kita, Kak?” tanya Evan. Ia menoleh ke sana ke mari, mencari seseorang.

“Nggak, dia masih ada job.”

“Berarti kita pulang sekarang, Kakak?”

“Yaps. Kalian juga, pulang sana! Tadi kamu bareng sama kakakmu, ‘kan?” Helen bertanya pada Pandu.

“Iya, tapi tadi aku udah bilang duluan aja …,” sahut Pandu. “Lagian, katanya dia mau ketemu temen-temen kuliahnya tadi.” Dia celingukan mencari sosok Via dan menemukannya di sudut pendopo bersama beberapa orang. “Tuh, Mbak Via masih di sana.”

“Tapi Mbak Helen bener, udah malem. Ayo kita hampiri Mbak Via,” ujar Reni. “Besok kita juga mau pergi bareng Mbak Mona, ‘kan? Istirahat dulu, lah.”

Dan setelah pamitan singkat dengan Helen serta Evan lalu pamitan yang lebih panjang antara Via dengan kawan lamanya, Santika, rombongan dari Solo pun pulang. Liburan di Merapi baru berjalan dua hari; apa lagi hal menarik yang menanti mereka esok hari?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rumah Jingga.
2149      828     4     
Horror
"KAMU tidAK seharusnya baca ceritA iNi, aku pasti meneMani di sAmpingmu saaT membaca, karena inI kisahku!" -Jingga-
Jalan-jalan ke Majapahit
4356      1281     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
13 AGUSTUS
587      395     0     
Short Story
Snazzy Girl O Mine
525      331     1     
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa. Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota. Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota. ...
Orang Ladang
953      573     5     
Short Story
Aku khawatir bukan main, Mak Nah tak kunjung terlihat juga. Segera kudatangi pintu belakang rumahnya. Semua nampak normal, hingga akhirnya kutemukan Mak Nah dengan sesuatu yang mengerikan.
Lullaby Untuk Lisa
4692      1499     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
Orange Haze
443      316     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Cinta untuk Yasmine
2063      902     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
Kembang Sukmo
1211      507     3     
Horror
Teka-teki kelam dari masa lalu mulai menghantui Samara Nadra sejak ibunya menghilang. Kala surat misterius diterimanya, Samara berpikir ada sesuatu yang besar dirahasiakan ibunya. Kebenaran berlahan terkuak, tak disangka, ibunya menyembunyikan diri sebagai anak raja terhormat. Gusti Larasati, hendak mewarisi ilmu Kembang Sukmo padanya. Samara yang tengah dilanda gundah amarah tak siap menerima il...
Bee And Friends 2
2694      952     0     
Fantasy
Kehidupan Bee masih saja seperti sebelumnya dan masih cupu seperti dulu. Melakukan aktivitas sehari-harinya dengan monoton yang membosankan namun hatinya masih dilanda berkabung. Dalam kesehariannya, masalah yang muncul, ketiga teman imajinasinya selalu menemani dan menghiburnya.