Senin, 22 April 2013.
.
“Jadi, Pandu,” ujar Mona dengan suara perlahan pagi itu, “sebetulnya ada apa, sih, waktu kamu live in di sini tahun 2009?”
Pandu mengernyit sambil melempar senyum kecut ke arah kakak sepupunya itu. “Mbak Via belum cerita, ya?”
Mona menggeleng. “Dia cuma bilang, itu sesuatu yang cuma boleh diceritain oleh yang bersangkutan. Eh, awas!”
Pandu nyaris terpeleset di pematang sawah sempit yang bahkan bagi satu orang untuk berjalan saja sangat sulit itu. Untungnya Mona dengan cekatan menangkap lengan Pandu dan menghindarkannya dari mandi lumpur.
Rencana pagi itu adalah jalan-jalan ke Sungai Senowo dan melihat-lihat bendungannya. Mona, yang sehari sebelumnya telah pergi ke sana bersama teman-teman pendaki gunungnya, berperan sebagai pemandu jalan sekarang. Pandu, Angga, serta Reni mengekornya dengan was-was semenjak mereka memasuki sawah-sawah.
Gita? Oh, karena kakinya belum sembuh, ia terpaksa tinggal di rumah Mbah Parjo. Orang tua itu sendiri masih kuat berkebun, dan itulah aktivitasnya sehari-hari. Meski begitu, tak mungkin Gita bisa dilibatkan mengeruk tanah dan menimbun bibit di berbagai lokasi.
Tentu saja Gita tak menyukai keadaannya yang demikian. Tadinya Reni mengatakan ingin menemaninya di rumah, tapi tawaran jalan-jalan ke sungai di hari secerah itu jelas lebih menarik daripada mendekam di dalam ruangan seharian. Reni sebenarnya juga tak tega meninggalkan Gita sendirian jadi pengangguran ....
Budhe Asih, ibu Gilang, yang akhirnya membawa solusi. Ia mengajak Gita ke rumahnya dan menariknya masuk ke dapur. Gita memang suka memasak dan pekerjaannya kali ini bisa dilakukannya sambil duduk—mengupas bawang, mengulek cabai, menggoreng kerupuk—yang disebut terakhir ini memang lebih nyaman dilakukan dengan posisi duduk, karena mereka menggunakan tungku berbahan bakar kayu yang tertanam di lantai. Meski asapnya bikin Gita senewen dalam hati lantaran baunya mengendap di rambut yang baru dikeramas, dia berterima kasih. Setidaknya dia ada kerjaan dan kakinya akan lebih cepat sembuh.
“Hati-hati, Ndu,” ujar Angga dari belakang Pandu, berbaris di pematang sawah. “Whoops!” Ia sendiri nyaris tergelincir ke belakang setelah mengucapkannya. Untung ada Reni yang menahan jatuhnya.
“Gila, Ngga! Kamu berat banget,” keluh cewek itu.
“Sori, sori,” seru Angga.
“Kalian coba jalan sambil merentangkan kedua tangan seperti ini,” Mona memberi saran, “Tubuh kalian bisa lebih seimbang.”
Angga mulai menyesal membawa tas selempang berisi banyak bekal dan botol minum yang membuat salah satu sisi tubuhnya lebih berat.
“Lain kali bawa ransel aja,” ujar Mona sambil tertawa. “Nggak lucu kalau kamu jatuh di sawah gara-gara kebanyakan bawa camilan.”
Pada akhirnya, mereka pun tiba di sungai yang dimaksud. Tidak banyak orang tampak, hanya beberapa anak kecil bermain-main tak jauh dari tempat mereka berhenti.
Airnya jernih, batu-batuan berbagai ukuran tampak di dasarnya.
“Pandu udah pernah ke sini, ‘kan?” tanya Mona.
Yang ditanya mengiyakan. “Tapi, dulu nggak lewat pematang sawah yang sempit kayak barusan, Mbak,” tambah Pandu.
“Jalur barusan itu yang paling cepet dari Dukuh Waluh tempat kalian nginep,” sahut Mona. “Jalurmu dulu pasti lebih deket, karena Dukuh Semen memang yang paling dekat dengan Sungai Senowo. Aku sama temen-temen lewat jalur yang itu kemarin.”
“Iya, sih,” timpal Pandu cengengesan. “Eh, dulu aku juga minum air ini, lho!”
“Dan pulangnya nggak sakit perut?” sindir Reni.
Pandu menggeleng. “Coba aja, Ren.”
Reni ragu-ragu, tapi Angga langsung membungkuk di tepi sungai dan meraup air itu dengan tangannya. Tiba-tiba seseorang berkata,
“Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan minum.”
Air itu sudah berada di mulut Angga, belum jadi ditelan, dan cowok itu menoleh.
Seorang pria muda berkacamata berdiri agak jauh di belakang mereka, pakaiannya tampak trendy dengan kaos kerah berwarna hijau lumut dipadu celana jeans. Ia mencangklong sebuah tas kerja berwarna hitam di pundak kirinya serta menggenggam kalkulator di tangan kanannya. Orang itu sepertinya ramah dan Mona menyapanya.
Pria itu tersenyum sekilas. “Percaya padaku, jangan minum,” ujarnya pada Angga. Ia mendekat ke bibir sungai sembari memasukkan kalkulatornya ke dalam tas.
Reni mengeriutkan wajah dengan jijik sementara Angga menyemburkan air keluar.
“Kapan kamu pernah minum air ini?” Orang itu bertanya pada Pandu.
“Err ... sekitar tiga setengah tahun yang lalu,” sahut Pandu, yang mengenali orang itu sebagai guru pengawas ujian yang mereka lihat di antara penonton Topeng Ireng malam sebelumnya.
Pandangan pria itu menerawang di balik lensa segi empatnya. “Ya, itu sebelum letusan besar 2010 ... kabarnya, tumpukan abunya baru benar-benar hilang setelah setengah tahun.”
“Oh. Maksud Anda, mungkin air di sini masih tercemar abu vulkanik sejak itu?” ujar Mona.
Pria itu mengangguk. “Mungkin tidak kelihatan, tapi untuk amannya, lebih baik memasaknya dulu. Lagipula, setahuku Sungai Senowo ini adalah salah satu jalur lahar dingin dalam bencana itu.”
Pandu memandangi sungai itu, sungai yang baginya penuh dengan kenangan. Benarkah lahar dingin pernah melewatinya tahun 2010?
Reni berujar pada orang asing itu, “Apa Anda seorang guru?”
“Ya,” sahut yang ditanya.
“Kami pernah lihat Anda di sekolah. Anda jadi salah satu pengawas kami saat Ujian Nasional,” kata Reni.
“Oh, ya?” orang itu tampak tertarik. “Kalian dari SMA mana?”
*
Bertemu anak-anak yang sama-sama dari Solo mungkin kebetulan yang menguntungkan bagi Indra. Perkenalannya dengan mereka berjalan singkat dan menyenangkan. Dan rupanya kakak sepupu Pandu, Mona, adalah lulusan UNS seperti dirinya, hanya saja Indra dua tahun lebih tua. Percakapan ringan bertopik universitas pilihan pun mengalir.
“Jadi, Pandu dan Reni menunggu pengumuman SNMPTN, ya,” ujar Indra. “Kalau Angga, masih menunggu pengumuman di universitas swasta?”
Si Gempal mengiyakan dengan tersipu-sipu. “Saya pengin nyoba kuliah di swasta, Pak.”
“PTS juga banyak yang bagus, kok,” sahut Indra. “Aku sendiri mengajar di sekolah swasta.” Ia menyebutkan nama sekolah itu.
“Ah, iya. Bapak ke sini karena sedang cuti?” tanya Reni. Setahunya saat ini belum libur sekolah bagi adik-adik kelas satu dan dua, sementara anak kelas tiga memang libur pascaujian.
“Ehm ... bukan.” Indra mengedarkan pandangan, kelihatan agak gugup. “Aku ke sini dalam rangka penelitian. Dan, maaf.” Ia merendahkan suaranya. “Seharusnya ini rahasia. Tolong jangan bertanya lagi.”
“Wah, begitu. Maafkan kami,” ujar Mona.
Pandu dan Reni saling lirik tanpa sadar. Penelitian rahasia! Sepertinya menarik.
“Hm, kalau boleh tahu, Pak Indra guru mata pelajaran apa, ya?” celetuk Angga.
Indra membetulkan letak kacamatanya dengan sedikit gaya lalu tersenyum. “Mau menebak?”
“Yang pasti bukan matematika,” seloroh Pandu.
“Kok bisa?” Mona keheranan.
“Lebih mungkin biologi atau sejarah,” sambung Reni.
“Kalian berdua!” erang Angga sembari memutar bola matanya.
“Menurutku sejarah,” ujar Pandu penuh kemenangan. “Benar nggak, Pak?”
Indra kelihatan terkejut, namun selanjutnya ia tertawa. “Dari mana kamu bisa tahu?”
“Satu hal jelas banget. Guru matematika biasanya nggak perlu bawa kalkulator,” ujar Pandu sambil nyengir. “Entah Bapak sedang menghitung apa tadi, tapi saya sempat lihat Bapak megang kalkulator sebelum mendekat ke sini.”
“Bapak mengampu pelajaran yang butuh banyak hapalan,” tambah Reni, menunjuk tas kerja Indra. “Karena Bapak jarang nulis di papan dan sering bawa laptop ke mana-mana, mungkin untuk modul dalam powerpoint.”
“Sementara, guru matematika selalu pakai papan tulis,” imbuh Pandu. “Karena agak sulit bikin modul digital yang isinya rumus matematika. Fisika dan kimia juga gitu.”
“Tahu dari mana tas ini biasanya berisi laptop?” tanya Indra dengan dahi berkerut.
“Cara Bapak menggendong tas; Bapak menyokong bagian bawahnya, seolah melindungi isinya dari benturan,” jawab Reni sambil memperagakan. “Bisa juga sekarang isinya buku-buku tebal, tapi biasanya laptop. Bapak terbiasa melakukannya, menyokong tas di bagian bawah, bahkan meski isinya bukan lagi laptop.”
“Dan di tas Bapak ada sulaman lambang swastika,” sambung Pandu dengan nada final, seolah inilah kunci dari segala petunjuk. “Dahulu itu lambang Nazi, dan hanya orang-orang yang tekun menelusuri sejarah yang tahu makna sebenarnya lambang itu.”
“Lambang yang suci menurut kepercayaan Hindu dan Buddha, yang tercemar gara-gara digunakan oleh Hitler,” Reni menjelaskan.
Indra tertegun selama beberapa detik sebelum senyumnya merekah.
“Hebat! Luar biasa!” serunya sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya, tampak bingung mau berkata apa lagi.
“Mereka berdua memang kayak begitu, Pak,” timpal Angga dengan nada bosan.
“Hahaha. Kalian anak-anak pintar,” ujar Indra agak malu.
“Rezeki anak soleh, Pak,” gurau Pandu.
“Eh? Padahal kita sering pengajian bareng,” seloroh Angga yang merasa tidak terima. “Salat sama puasaku juga nggak pernah bolong, lho!”
“Halah, dasar Pandu! Bukan soal itu, Ngga, tapi kamunya aja yang nggak suka baca buku detektif,” timpal Reni.
“Habis, temanya berat ...,” rengek si Gempal.
“Tapi seru, lho, Ngga. Kamu nanti bisa menilai orang dari penampilannya aja,” sahut Pandu.
Angga membantah, “Bukannya malah serem? Kayak ahli nujum aja.”
“Husy, beda, lah!” balas Reni. “Itu namanya logika.”
“Reni betul. Detektif bukannya bisa baca pikiran atau semacamnya, tapi bikin kesimpulan dari fakta yang ada,” dukung Pandu.
“Ya, ampun,” seloroh Indra, berusaha mencairkan suasana perdebatan. “Sepertinya nanti kalian bahkan bisa menebak tanggal lahirku.”
Semuanya tertawa.
“Kalian sendiri, sedang liburan, ya?” tanya Indra yang tawanya paling cepat mereda.
“Iya, Pak, ada keluarga di sini,” sahut Pandu. “Kalau Mbak Mona ini bawa teman-teman hiking-nya mendaki Merapi.”
Indra mengangguk-angguk.
“Ya, tapi hari ini kami mau jalan-jalan ke bendungan,” terang Mona.
“Bendungan?” Kali ini dahi Indra berkerut.
“Bendungan Senowo. Ah, Anda mungkin baru pertama kali ke sini, ya? Bendungannya ada di sebelah sana,” Mona menunjuk, “Pemandangan dari atasnya cukup bagus. Mau ikut bareng kami?”
“Oh, boleh saja.”
“Dulu belum ada bendungan, Mbak, waktu aku live in,” ujar Pandu, baru teringat bahwa, kalau tidak salah, kemarin Evan juga menyebut-nyebut tentang bendungan. “Memang bendungan baru?”
“Kabarnya baru dibangun setahun lalu, untuk pengendali banjir suatu saat,” sahut Mona.
“Banjir?” ulang Reni. “Di gunung bisa banjir?”
“Banjir lahar dingin. Bendungan kayak gitu namanya sabo dam, banyak dibangun di sekitar lereng. Jadi, kalau suatu saat Merapi meletus lagi, sudah ada jalur material vulkaniknya.”
Setelah sepuluh menit berjalan lagi ke arah hulu sungai, mereka akhirnya tiba di sebelah atas bendungan. Lapisan beton setinggi sepuluh meter dan panjang sekitar dua kalinya itu menjulang di sisi bentangan sungai yang mengalir tiada henti.
“Wah!” seru Angga kagum. “Meskipun nggak terlalu tinggi, tapi dari sini semua bisa kelihatan!”
Yang dikatakan si Gempal ada benarnya. Sawah dan rumah-rumah tampak seperti miniatur maket yang indah di antara dataran tinggi dan pepohonan. Mungkin kalau mereka ke sini di malam hari, apa yang tampak adalah titik-titik cahaya di bentangan alam.
“Lihat, di situ ada banyak parit,” ujar Mona sembari menunjuk. Di hadapan kaki bendungan tempat mereka berdiri ada sebuah sungai, dan di seberang sungai itulah parit yang ditunjuk.
“Hah? Parit?” celetuk Angga.
“Itu parit apa, Mbak?” tanya Reni.
“Kemarin dijelasin sama penduduk sini. Katanya dulu yang sebelah situ sudah pernah digali pasirnya, dan mau diterusin buat dijadiin fondasi bendungan. Tapi ternyata ada bagian yang tanahnya keras dan banyak batunya, nggak bisa digali pakai alat biasa. Daripada diledakin, proyek bendungannya digeser ke sisi sungai yang satunya, yaitu di sini.” Mona menjelaskan.
“Bentuknya rapi, ya ...?” komentar Indra sambil mengamati. “Hampir persegi sama sisi.”
“Menurut cerita, karena udah terlanjur digali, jadi oleh para pekerja dipakai untuk istirahat. Makanya bentuk paritnya dirapikan sedikit, tuh, bahkan di beberapa bagian ditutupi kayu tripleks, buat nahan angin dari atas. Yang bagian tengah, tanahnya lebih keras dan katanya dijadiin tempat makan atau kumpul,” tutur Mona bak pemandu wisata.
“Kayaknya asyik kalau main ke paritnya,” usul Angga.
“Ayo, lah!” sahut Pandu. “Lewat situ!”
“Ehh ... hati-hati!” seru Mona, namun kedua remaja laki-laki itu sudah menuruni bendungan.
“Kayak anak kecil aja,” gerutu Reni. “Ayo kita susul mereka, Mbak.”
Reni, Mona, dan Indra ikut turun lewat tangga beton di sisi bendungan. Pandu dan Angga sudah masuk ke salah satu parit yang ternyata dalamnya hampir dua meter. Suara mereka bergaung di bawah sana.
“Ini kayak pasir di pantai!”
“Hei, dindingnya sebelah sini lembut banget. Wah! Mudah runtuh, pula!”
“Kalian bisa terkubur kalau nggak hati-hati, lho!” seru Mona menakut-nakuti. “Ayo keluar!”
Kedua remaja laki-laki itu tertawa-tawa sambil naik lewat suatu undak-undakan dari campuran pasir dan lumpur yang mengeras, yang menjadi akses keluar-masuk parit. Pakaian mereka kotor terkena pasir.
“Duh, duh!” komentar Reni sementara Angga dan Pandu sibuk menepuk-nepuk baju dalam upaya membersihkan diri.
Mona berkacak pinggang, setengah kesal dan setengah geli. “Kalian sih, udah lari duluan sebelum aku sempat bilang kalau sebagian pasir di sini ada yang halus banget. Saking halusnya, teksturnya jadi rapuh dan mudah dikeruk.”
“Tadi Mbak Mona bilang tanahnya keras dan berbatu. Ternyata ada juga yang berpasir lembut?” balas Pandu, masih menepuk-nepuk baju.
“Aku juga sudah bilang pasirnya pernah digali, ‘kan?” sahut Mona.
“Yah ... iya, sih. Ya, udah, lah. Yuk, kita pulang. Aku geli, banyak pasir di badanku,” ujar Pandu lagi.
“Siapa suruh main pasir?” sambar Reni, yang melirik ke arah Pak Indra dan Mbak Mona untuk mencari dukungan.
Perjalanan pulang terasa lebih singkat, meski mereka memilih untuk jalan terus ke Dukuh Semen dan bukan berbalik arah langsung ke Dukuh Waluh. Barangkali karena mereka merasa lebih senang dibanding saat berangkat? Bisa jadi.
Indra berpamitan di persimpangan jalan dekat kios sembako. Katanya, penginapannya ada di ujung jalan itu. Kalau anak-anak mau berkunjung, dia akan menyambut dengan senang hati.
“Ndu. Aku punya firasat nggak enak tentang Pak Indra,” bisik Reni sepeninggal yang bersangkutan. Mona dan Angga tengah asyik berdiskusi tentang menu makan malam di rumah keluarga Gilang, sementara Reni dan Pandu mengekor di belakang mereka.
Pandu diam sejenak sebelum menyahut dengan berbisik juga, “Firasat kayak gimana memangnya?”
“Tadi waktu kalian turun ke parit, dia lebih banyak diem, padahal tingkah kalian konyol banget. Dia kayak ... mengamati, mencari-cari sesuatu? Lagian, sekilas tadi aku lihat bahwa lensa kacamatanya netral. Kalau minus, harusnya bagian tepi yang kulihat dari belakang lensanya bakal agak melengkung. Tahu maksudku, ‘kan?”
Pandu mengangguk sambil berpikir-pikir. Reni berujar lagi,
“Kacamata samaran? Bisa jadi, ‘kan? Dia guru, lho, nggak mungkin ‘kan, pakai kacamata cuma buat gaya?”
Pandu membalas, “Satu hal, dia, ‘kan, guru muda. Menurutku, umurnya dua lima paling banyak. Masih pantes, sih, ikut tren anak muda.”
“Oke, katakanlah dia guru ngetren zaman sekarang. Kalau memang gitu, kenapa dia ngomong pakai bahasa baku? Itu nggak sinkron, dong. Bergaya anak muda tapi bicaranya formal banget.”
“Nggak seluruhnya omongannya formal nggak sih? Jangan-jangan memang gaya bicaranya aja yang kayak gitu. Bisa jadi karena kita otomatis bicara formal juga ke dia, karena baru kenal.”
“Kamu tahu, ‘kan, Ndu, firasatku tentang orang yang baru kukenal biasanya bener.”
Pandu tidak membantah akan kemampuan Reni yang satu itu. “Setiap orang punya rahasia kecil, Ren,” ujar Pandu akhirnya, “aku sendiri juga punya, haha.”
Reni menyikutnya pelan. “Itu sih kamunya aja yang sok main rahasia!”
“Aku udah kasih petunjuk nama fakultasnya, ‘kan!”
“Ya kali, jurusan di FISIPOL UGM, ‘kan, ada banyak!”
“Makanya, silakan menebak, atau tunggu aja pas pengumuman nanti.”
“Kamu ngalihin topik pembicaraan, ya.”
“Aku serius Ren,” sahut Pandu dengan nada rendah, “semua orang punya rahasia masing-masing dan kurasa nggak baik kalau kita mencampurinya. Mungkin aja karena penelitian yang disebutin Pak Indra itu benar-benar penting.”
“Bukannya aku mau ikut campur,” kilah Reni. “Tapi ada dua macam orang yang nyembunyiin identitas: superhero, atau penjahat. Dan kita juga tahu, di dunia nyata nggak ada yang namanya pahlawan super betulan. Jangan komentar nyebelin kayak, ‘Kamu kebanyakan nonton anime action,’ dan semacamnya. Kamu sendiri, ‘kan, tontonannya begituan!”
Mona menoleh kaget karena suara Reni meninggi di akhir kalimat. Kakak sepupu Pandu itu langsung menginterogasi, “Apanya yang begituan? Pandu nonton apaan?!”
Pandu hanya nyengir dengan wajah tanpa dosa.
*
“Dan semenjak itu, di malam hari ... kalau kalian belum tidur dan dengan sengaja memikirkan hal-hal jahat ... roh-roh itu akan datang ke kamar. Dan kemudian ....”
Mbah Parjo berhenti bicara.
“Kemudian ...?” Empat suara menyahut dengan tegang sekaligus penasaran.
Wajah renta itu memandangi keempat remaja di hadapannya satu per satu, meraih sesuatu dari balik punggungnya sambil tiba-tiba berseru,
“Haaa!”
Empat-empatnya, tak terkecuali Pandu, berteriak kaget melihat sesuatu berbulu hitam lebat diayunkan ke arah mereka.
Mbah Parjo terkekeh-kekeh di kursinya. Di tangannya ada sebuah ... kemoceng berwarna hitam.
“Ya, ampun, Mbah ... bikin deg-degan aja,” ujar Reni.
Seusai makan malam tadi, Mbah Parjo bercerita tentang ‘hal-hal mistis’ yang tak banyak diketahui generasi muda di daerah itu. Barusan ia sampai pada kisah kawanan perampok yang saling bunuh di lereng Merapi dan berujung pada semuanya tewas lalu bergentayangan.
“Mbah mau istirahat duluan, ya,” ujar kakek Gilang itu. “Inget, jangan tidur larut malam! Dan jangan mikir yang nggak baik!”
“Nggih, Mbah ....”
“Tapi, apa itu tadi beneran?” tanya Angga setelah Mbah Parjo meninggalkan ruangan.
“Nggak, lah. Itu petuah orang tua, cara mereka biar anak-anak patuh,” sahut Pandu.
“Ya. Lagian kalo dipikir-pikir, emangnya bisa sekelompok orang saling bunuh sampai semuanya mati?” timpal Reni. “Lantas, siapa yang ngebunuh orang terakhir?”
“Bisa aja sebetulnya,” Pandu menanggapi dengan gaya seorang profesor kimia yang menjelaskan stoikiometri dasar pada mahasiswanya. “Dua orang terakhir saling bunuh. Kalian tahu kisahnya di balik Aksara Jawa? Hanacaraka dan seterusnya itu?”
“Tahu. Legenda Aji Saka,” balas Reni.
“Betul. Dua orang abdi dari Raja Aji Saka, sama kuatnya, padha jayanya. Dan karena salah paham, data sawala, mereka saling bunuh, maga bathanga. Dua-duanya mati. End of the story.”
“Nggak usah dipikir berat-berat, deh ...,” Gita berujar malas.
“Iya nih. Kalian ini,” keluh Angga.
“Eh tapi, ceritanya yang sebelumnya, tentang arwah gentayangan para pekerja Bendungan Senowo yang meninggal karena kecelakaan? Itu kayak beneran,” ujar Reni lagi, yang melanjutkan dengan mengutip kalimat Mbah Parjo, “Dan kadang-kadang, di malam hari masih terdengar suara alat mereka yang beradu dengan batu, tetap bekerja tanpa sadar bahwa jiwanya sudah tak bersama raga ....”
“Eh, udah, lah,” Pandu berseru. “Yuk, kita tidur.” Cowok itu ngeloyor pergi sebelum Reni atau Gita sempat mengejeknya.
“Oh, ono sing jirih, to![1]” seru Reni, tapi Pandu sudah hilang di balik pintu.
Melihat sohibnya meninggalkan ruangan, Angga malah merebahkan diri di atas tikar. “Duh, aku juga pengin tidur, tapi males ke kamar.” Dia meregangkan tubuh sambil mengerang.
“Dasar Gendut! Bangun-bangun nanti, kamu beku kalau tidur di sini!” serang Gita, namun suaranya kalah keras dengan erangan nikmat Angga yang memang jarang stretching.
“Git, tinggalin aja Angga jadi nugget beku di sini. Yuk, kita tidur!” Reni berujar sambil melompat dari duduknya, meraih tangan Gita untuk menolongnya berdiri. “Kamu bawa krim malam dan masker timun yang pernah kita bahas? Aku bawa pembersih muka. Ayo jadi sleeping beauty.”
Gita ikut berdiri lalu cekikikan sementara Reni juga senyum-senyum. Angga mengeluh sambil mengambil posisi duduk.
“Jahat kalian ....”
“Buruan deh, si Pandu perlu kehangatan juga di kamar,” celetuk Gita jahil.
“Tapi hati-hati waktu masuk kamar. Siapa tahu Pandu lagi usil dan mengagetkanmu,” imbuh Reni.
Angga merengut dan berusaha bangun dari lantai sambil berpegangan ke kursi. Gita dan Reni sudah hampir keluar ruangan saat Angga bicara lagi,
“Oi, aku punya ide brilian. Gimana kalau kita tetep jalanin rencana awal?”
Dua hawa itu saling berpandangan, lalu menatap Angga keheranan.
Rencana awal ...?
“Besok pagi kita ke bendungan lagi,” ujar Angga sambil cengengesan. “Buat mastiin keadaan lapangan.”
***
[1] Bahasa Jawa: Oh, ada yang penakut, ya!