Read More >>"> Memento Merapi (Bab 7: Turis) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU 0
About Us  

Dengan penuh perjuangan dan bekal yang menipis, perjalanan menanjak yang kadang berbatu kadang berpasir, ditambah Angga yang sebentar-sebentar minta istirahat dan Gita yang lima menit sekali mengeluhkan betisnya, kelima remaja itu berhasil sampai di area terbuka. Di sana sudah banyak wisatawan yang berfoto-foto.

“Kamu belum berubah, ya, Me,” ujar Evan. “Kalau memang kakimu ditakdirkan sebesar itu, ya, terima saja sudah.”

“Diam, ah!” semprot Gita, tapi dia tak benar-benar marah.

Teman-temannya mencatat dalam hati bahwa Evan adalah satu-satunya cowok yang berani berkomentar tentang kaki Gita yang, meski tubuhnya juga nggak bisa dibilang langsing, cukup besar untuk dipakai sebagai gebuk maling[1]. Mungkin karena mereka benar-benar dekat sejak kecil. Topik mengenai anggota tubuh bagian bawah, ‘kan, sensitif untuk beberapa perempuan ....

Reni mengibas-ngibaskan tangan, terlihat terganggu dengan rambutnya yang sudah dikucir kuda namun tetap menempel di leher karena keringat. “Di tempat setinggi ini, dengan angin sedingin ini, kita masih keringetan. Heran.”

“Tuh! Kamu aja capek mendaki, ‘kan, Ren? Apa lagi aku!” rutuk Gita mengasihani diri sendiri. Dia juga mengibaskan rambutnya yang sehabis ujian sudah dipotong dengan model harajuku: poni rata yang tebal di depan dahi dan rambut yang membingkai pipi.

Angga meneguk air mineralnya dengan rakus. “Segarnya ....”

“Kalau airmu habis, jangan minta sama aku, lho,” ujar Pandu mengingatkan.

“Astaga. Kita belum makan siang, ya!” seru Angga. Ia memandangi air dalam botol minumnya yang tinggal separuh. “Semoga masih cukup.”

“Kalian lihat di sana,” Evan menunjuk ke satu arah di sebelah atas. “Itu puncak Merapi. Para pendaki yang pengin lihat kawah harus naik setinggi itu.”

“Ih, serem. Ngapain orang pengin lihat kawah?” celetuk Gita.

“Coba, kalau Merapi meletus waktu orang-orang ada di sekitar sana, gimana dong?” seloroh Angga.

“Tenang. Selalu ada yang mengawasi aktivitas vulkaniknya,” ujar Evan. “Kita akan langsung tahu kalau Merapi mau meletus. Kata Simbok, sejak tiga tahun yang lalu, larangan mendaki ke puncak diperketat.”

Di wajah Pandu tak hanya tampak rasa was-was. Ia merasa sedih, terkenang akan letusan gunung di bawah kaki mereka ini yang menyebabkan Bapak-Ibu Suwardi pindah tiga tahun silam.

Dahulu, Pandu tidak punya kesempatan menjelajahi puncak Merapi. Jadwal-jadwal yang diatur oleh sekolahnya sangat padat, dan dulu mereka tidak diperbolehkan meminjam kendaraan milik warga untuk pesiar pribadi di luar jadwal-jadwal itu—mendaki Merapi tentu saja bukan salah satu agenda dalam pembinaan kepribadian unggul!

“Yuk, ke sebelah sana aja,” ajak Evan. “Ada bagian tebing yang pemandangannya bagus dan aman dipakai duduk-duduk.”

Mereka pun menuju tempat yang disarankan Evan dan langsung terkagum-kagum.

Bukit-bukit, pepohonan, sawah, kebun. Semuanya melandai turun bermeter-meter dari puncak tempat mereka berdiri. Hembusan angin yang menerpa dedaunan dan bunyi gelegak dari mata air yang cukup besar untuk mengalir berkilo-kilometer jauhnya seolah menjadi instrumen alam.

Untuk alasan yang tak dapat dijelaskan, Pandu merasa kuat dan tak terkalahkan. Rasanya seperti kau sedang berada di puncak dunia; semua yang lain ada di bawah kakimu. Pandu menarik napas dalam-dalam, menghirup perasaan berkuasa itu dengan dada berdebar, membayangkan dirinya menyatu dengan alam gunung keramat ini ....

“Itu sumber Sungai Senowo dan beberapa sungai lain.” Evan menerangkan seraya menunjuk mata air itu, mengusik khayalan Pandu. Ia lalu menunjuk ke suatu deretan tembok tinggi di kejauhan. “Di sana ada bendungan, Bendungan Senowo.”

“Kita sekarang ada di jarak berapa kilometer dari puncak, Van?” tanya Pandu dengan nada setengah melamun.

“Sekitar tiga,” jawab yang ditanya.

“Ya ampun, jadi sejak dari pos itu kita cuma naik satu kilometer?” keluh Angga.

Evan tertawa. “Nanti turunnya tidak secapek naiknya.”

“Kamu penginnya kita lebih deket ke puncak atau ke bawah, Ngga?” sindir Reni.

Angga mengerang. “Ya bukan ‘gitu juga maksudku ....”

“Kalian tidak ingin foto-foto e?” Evan menengahi.

Sejurus kemudian, Gita mengabadikan pemandangan itu dengan kamera smartphone-nya dan Reni dengan kamera digitalnya. Angga ikut-ikutan memotret dengan kamera handphone jadulnya—hei, biarpun keluaran sepuluh tahun sebelumnya, Nokia 3200 miliknya ini dahsyat awetnya dan tajam kameranya, jangan salah!

Sementara itu, Evan menggelar koran yang dibawanya untuk alas duduk dibantu Pandu. Tak lama kemudian, yang lain membongkar muatan ransel masing-masing dan mulai makan siang.

Piknik di gunung menyenangkan rasanya. Anginnya tidak begitu kencang dan langit biru tampak menjadi lebih dekat, sampai-sampai Pandu nyaris merasa bisa melihat detail gurat awan yang bergulung-gulung serupa kapas di atas sana saat mendongak.

“Kata Kak Helen, di sini dahulu lebat ditumbuhi pohon pinus,” Evan memulai obrolan. Keempat kawannya mengamati sekeliling, ke deretan batang pohon yang telah jarang dan mengering. “Sebelum tahun 2010.”

“Jadi batang-batang meranggas ini dulunya pohon pinus?” celetuk Reni terkaget-kaget.

“Sayang banget, ya, jadi kayak gini ...,” gumam Pandu. Lagi-lagi, ia diingatkan dengan fakta bahwa letusan Merapi waktu itu telah membabat segalanya.

“Letusan tahun 2010 itu paling parah dalam sejarahnya, kata Simbok,” Evan meneruskan. “Waktu hujan abu mulai turun, para warga tetap tinggal di rumah. Mereka sering mengalami yang kayak begitu, tapi rupanya yang waktu itu berlanjut sampai betulan meletus.”

Wajah keempat remaja dari Solo itu memurung.

“Tapi kemudian, setelah bencana selesai dan Merapi aman untuk ditinggali lagi, tanah-tanah jadi semakin subur berkat abu vulkanik. Pemerintah juga turun tangan membangun kembali jalan-jalan yang rusak, biar suatu saat, kalau terjadi letusan lagi, evakuasi bisa cepat.”

Penuturan Evan yang belakangan membuat keempat teman barunya sedikit lebih ceria.

“Selalu ada berkat di balik tiap bencana,” ujar Reni bersimpati.

“Betul,” balas Evan.

“Kamu sudah di seminari waktu itu, Van?” tanya Gita.

“Iya, sa masih murid baru di seminari dan kami malah ikut jadi pengungsi. Tapi yang paling parah dan paling dulu kena dampaknya itu daerah selatan, Sleman dan Jogja. Seminari, ‘kan, di Muntilan. Banyak yang masih sempat mengungsi.”

Selama beberapa saat, keempatnya hanya memandangi gunung. Kalau tidak salah, waktu itu abunya juga sampai ke Solo ...?

“Oh, iya, Van. Kukira Mbak Helen itu kerjanya di Pos Pengamatan Gunung Merapi Babadan. Ternyata, tadi namanya Pos Pendakian Babadan. Bedanya apa, sih?” celetuk Pandu.

Evan menatapnya, kebingungan sejenak. “Sa juga kurang paham. Tapi kayaknya, yang pos pengamatan itu dari pemerintah ... Badan Vulkanologi itu, apa namanya ... sedangkan Pos Pendakian, isinya warga sekitar sini yang jadi pemandu turis untuk naik gunung. Jalurnya beda dengan yang untuk pendaki, lebih aman.”

“Oh, gitu ...,” Pandu manggut-manggut. “Iya, setahuku kalau Pos Pengamatan Babadan nggak nyediain jasa ojek, hehehe ....”

“Pandu su pernah ke Merapi?” tanya Evan dengan keterkejutan nyata di matanya.

Yang ditanya cengar-cengir. “Pernah tinggal di dekat rumah Bu Djum, tapi nggak naik ke sini ....”

Sepanjang makan siang itu, Pandu menceritakan kisahnya selama live in, tak hanya pada Evan namun juga pada tiga yang lain. Biasanya hanya sekolah-sekolah swasta yang banyak mengadakan kegiatan live in. Pandu, yang dulu kebetulan bersekolah di SMP swasta, menjadi sumber wawasan buat teman-temannya, bahwa belajar dari kehidupan kelas bawah bisa juga jadi pengalaman yang menyenangkan. Meskipun, dia tentu saja menghindari menceritakan kejadian yang sempat disebut-sebut Mbak Via pada Mbak Mona kemarin. Semua terbahak-bahak ketika dia menceritakan pengalaman mandi di sebelah kandang sapi. Kamar mandi rumah Pak Wardi memang terpisah dari bangunan utama dan bersebelahan dengan kandang sapi itu. Saat Pandu mandi dengan berisik, sapi itu agaknya terganggu sehingga melenguh keras-keras. Ekspresi Pandu berupa campuran rasa geli dan takut sewaktu bercerita. Dia masih ingat betapa ketakutannya dia kalau si sapi mendorong atap atau dinding kamar mandi yang hanya berupa seng itu, selagi ia telanjang di dalamnya!

“Oh, iya,” seloroh Pandu, seolah baru teringat, “waktu dulu pertama kali kami datang ke sini, ada ritual penyucian di balai desa. Evan gimana, ada nggak?”

Evan menggeleng. “Sa datang-datang saja, langsung cari rumah yang bersedia ditinggali.”

Pandu manggut-manggut. “Barangkali karena kami rombongan besar dari kota.” Teman-temannya memandangi dengan bingung. “Itu semacam upacara adat gitu, pakai dupa dan ada kyai-kyai baca mantra.”

“Kalau sa dengar dari Simbok, lereng Merapi ini suci. Jadi, yang datang berkunjung juga mesti dibersihkan dulu.”

Angga pura-pura menggeletar ngeri. “Dibersihkan! Kayak kita ini ketempelan dedemit dari kota aja. Bukannya di sawah ya, yang banyak demit?”

“Di hutan, kali,” sergah Gita.

Pandu menimpali dengan tampang serius, “Orang kota, tuh, perlu disucikan dari ... kekhilafan belanja dan makan hedon di akhir bulan, kemalasan menjelang ujian—oi, aku serius!” Cowok itu menyingkir dari Reni yang hendak mencubitnya dengan main-main.

“Huu, garing!” cela Reni.

“Tapi ada benarnya, sih,” balas Evan sambil nyengir. “Di kota lebih banyak godaan duniawi.”

“Ini dia sang calon rohaniwan!” ujar Gita sambil menepuk Evan di punggungnya.

“Amin, semoga sa bisa jadi Pastor yang baik nantinya,” sahut Evan, tersenyum mantap.

“Berapa lama sih, sekolah jadi Pastor?” tanya Angga yang memang penasaran.

“Beda-beda, tergantung masuknya sejak tingkat berapa. Sa masuk di seminari menengah tingkat SMA. Lulusnya bisa sampai dua belas tahun, sa sudah jalani tiga tahun. Jadi, sembilan tahun lagi, tahun 2022.”

“Wow,” sahut yang menanyakan, sementara Pandu bersiul pelan.

“Memang lama,” ujar Evan tersipu-sipu. “Tapi kalau memang sudah panggilan hidup, ya harus dijalani semaksimal mungkin e?”

“Besok-besok kalau Evan ditahbiskan jadi Pastor, kita semua datang, ya!” usul Gita sambil menepuk punggung Evan sekali lagi. Yang lain mengiyakan.

“Semoga lancar terus studinya, Van,” ujar Pandu menyemangati.

“Amin. Terima kasih, teman-teman.”

Sambil melanjutkan makan, topik pembicaraan bergeser menjadi pilihan jurusan untuk kuliah. Evan nantinya akan kuliah filsafat atau teologi sesuai yang diperlukan, sementara Gita memilih Sastra Jepang di UGM. Angga berencana sekolah bisnis di Jakarta, sedangkan Reni ingin masuk Fakultas Hukum di UGM. Ia dan Gita, juga Pandu yang sok-sokan merahasiakan pilihan jurusannya untuk SNMPTN, menanti sambil harap-harap cemas pengumuman seleksi berdasarkan nilai rapor itu bulan Mei nanti.

“Kalian malah tidak kuliah di Solo saja?” Evan keheranan.

“Biar greget, biar ngerasain jadi perantau, hehe,” sahut Pandu cengengesan.

“Huuu. Padahal ngerantaunya juga cuma ke Jogja,” gurau Angga. “Kayak gue, dong, ke Jakarta!”

“Gaya betul, belum pindah ke Jakarta aja udah pakai gue-lo!” sambar Gita.

“Gue-nya medhok banget lagi, orang Solo nyasar di Jakarta,” komentar Reni menahan tawa. Angga memang menyebutkan ‘gue’ dengan huruf ‘w’ yang kental akan logat Jawa sehingga terdengar menjadi ‘guwe’.

“Hati-hati, nanti kamu di Jakarta makin banyak godaan duniawinya,” imbuh Pandu sambil nyengir.

“Kalian, ah ... jahat.”

Semuanya tertawa lalu meneruskan makan yang tertunda-tunda oleh canda. Sesekali Evan pun menggoda Gita akan kebiasaannya yang masih awet, ketika dilihatnya Gita menyisihkan oseng daun pepaya di kotak bekal; rupanya sejak dulu cewek itu memang tak suka makan sayur.

Ko harusnya ambil kuliah jurusan Gizi, Ame, biar paham buat apa orang masak sayur.”

“Berisik, ah!”

Tak terasa bagi mereka bahwa kini masa kuliah sudah di depan mata. Adakah dunia kuliah memang sesantai yang dikatakan para kakak alumni? Atau sesungguhnya sangat horor oleh beban tugas dan ujian? Mungkin setelah nanti mengalami sendiri barulah mereka tahu mana yang benar. Pandu, sih, sudah dapat bocoran dari Mbak Via; tapi kabarnya, beda jurusan maka akan beda tantangannya, dan jurusan yang dipilih Pandu sangat beda dari kakaknya. Jadi, anggaplah wawasan Pandu tentang dunia kuliah sama dengan yang lain-lain.

“Eh, ada bule,” bisik Angga saat mereka semua hampir selesai makan. Teman-temannya menoleh ke arah yang ditunjuk.

Pria tinggi gemuk berambut pirang pucat itu berdiri tak jauh dari mereka dengan posisi membelakangi, di sampingnya ada seorang lelaki penduduk lokal yang sedang bicara padanya. Saat ia menghadap ke samping tampaklah hidungnya yang mancung. Kulitnya putih kemerahan, ia memakai T-shirt dan celana pendek.

“Belanda atau Jerman?” komentar Pandu.

“Bukan Amerika ya?” sahut Gita.

“Dari mana kamu bisa nebak dia orang Belanda atau Jerman?” selidik Reni.

“Kenapa nggak Australia?” tambah Angga.

Evan diam saja karena merasa tak berpengalaman menilai asal-usul turis.

“Kalian lihat sudut kiri tasnya,” Pandu mengedikkan ibu jarinya tanpa menoleh karena orang itu kebetulan melihat ke arah mereka. “Ada sulaman ‘G.v.H.’ dengan benang biru. Inisial namanya, mestinya.”

“Inisial nama? Oh, sa mengerti. Huruf ‘v’ kecil itu biasanya singkatan ‘van’ atau ‘von’ seperti nama orang Belanda atau Jerman. Begitu, e?” ujar Evan. Ia menyipitkan matanya, menajamkan penglihatan.

“Yup,” sahut Pandu.

Evan sepertinya akan mengatakan sesuatu, tapi tak jadi karena Reni melontarkan komentar sarkastik,

Sorry I forgot your massive intelect, Mr. Holmes.”

Apology accepted, Miss Reni,” jawab Pandu sok merendah.

“Pandu ...! Jangan bahasa Inggris lagi,” gerutu Angga.

 “Maaf, maaf,” sahut Pandu cengar-cengir.

Sejam kemudian, setelah kenyang dan puas akan pemandangan gunung, mereka memutuskan untuk pulang. Orang bule tadi, bersama si warga lokal yang sepertinya adalah pemandunya, belum berpindah dari dekat situ. Tampaknya si Bule tertarik pada tetumbuhan di sekitar gunung karena sedari tadi keduanya banyak membungkuk dekat semak.

Saat kelima remaja itu sedang beres-beres, terdengar bunyi ceklikan kamera SLR hampir tepat di belakang mereka. Reni yang pertama kali menoleh.

Seorang pemuda berambut hitam tengah membidik foto si Bule yang baru saja menurunkan tangannya sehabis menunjuk sesuatu di kejauhan. Meski jarak mereka cukup jauh, turis itu rupanya mendengar juga dan ia mendelik ke arah si pemuda, yang buru-buru membungkuk dengan gestur meminta maaf. Ia mengucapkan serentetan kalimat asing dengan cepat dan si Bule menanggapi dengan singkat. Tour guide-nya menggumamkan sesuatu, lalu mereka berdua berbalik menjauh. Pemuda yang mengenakan kemeja biru polos dan celana kain dari batik itu membungkuk sekali lagi.

“Bule itu kayaknya nggak ramah, ya,” celetuk Gita, cukup keras untuk didengar si pemuda yang membawa kamera.

Reni mengamati pemuda itu, yang kini memasukkan kamera SLR-nya ke dalam wadah. Pemuda itu tampaknya cuek dengan komentar Gita barusan, agaknya dia malah menggerundel sendiri. Meski begitu, ekspresinya tidak kelihatan gusar.

Anoo, sumimasen. Nihon-jin desu ka?”[2] ujar Pandu tiba-tiba, bicara dalam bahasa Jepang.

Pemuda itu menoleh, kelihatan agak terkejut. “Hai. Sou desu,”[3] sahutnya.

Baik Gita maupun Reni melongo.

Onamae wa?”[4]

Pemuda itu berdiri sambil mencangklong tas kameranya. Ia membungkuk sedikit sambil menyahut, “Kawasaki Masato desu[5]. Dan, eh, saya bisa berbahasa Indonesia, kok.”

*

Masato Kawasaki seorang fotografer. Tadinya ia merupakan peserta pertukaran mahasiswa Tokyo Daigaku alias Universitas Tokyo dengan Universitas Sebelas Maret. Di sini, ia sempat belajar sastra dan budaya Indonesia. Meski kini sudah menjadi sarjana strata satu, ia masih sering berlibur ke negara ini.

“Tadi itu, sebetulnya aku hanya memotret pemandangan, eh, ternyata di sebelahnya sudah ada orang,” ujarnya, menjelaskan kesalahpahaman si turis bule.

“Berarti, Mister Turis itu yang terlalu ge-er!” gerutu Angga.

Masato hanya tertawa.

Ia mengobrol sebentar dengan kelima remaja yang ingin tahu itu, sesekali mengayun-ayunkan tangannya dengan ekspresif. Tak lama ia mohon diri. Ia ingin melihat puncak Merapi lebih dekat lagi.

Karena hari sudah menjelang sore, Evan mengingatkan, kelima remaja itu berpisah dengan kenalan baru mereka dan menuruni lereng.

Gita terus saja cekikikan. Reni juga sama saja; meski tetap berusaha jaga image, wajahnya jadi lebih ceria dari biasanya. Selama bincang-bincang dengan si orang Jepang tadi, keduanya saling sikut sembunyi-sembunyi.

Pandu memutar bola matanya, tanpa menyadari bahwa tadi dia dan Angga juga melakukan hal yang serupa. Dasar cewek!

“Cakep banget orang Jepang yang tadi,” ujar Gita.

“Coba dia masih delapan atau sembilan belas, ya,” timpal Reni.

“Dia lebih tua tapi kawaii[6]!” balas Gita. “Nggak setiap hari, ‘kan, kita ketemu cowok seimut itu? Orang Jepang pula!”

Gita masih ribut bicara saat punggungnya disenggol seseorang dengan keras. Spontan ia berbalik sembari melangkah mundur.

Ternyata si Bule besar-gemuk yang menabraknya.

Detik itu juga, kaki kanan Gita terperosok pinggiran tebing yang licin. Ia terpeleset jatuh sambil terpekik kencang.

“Gita!”

“Ame!”

Teman-temannya buru-buru turun dari undakan setinggi semeter lebih itu.

Pandu masih sempat melirik ke arah turis yang menabrak Gita barusan. Orang itu cuek saja seolah tidak baru saja menabrak orang dengan tubuh besarnya. Ia tampak terburu-buru, berjalan cepat tanpa menoleh. Sendirian.

Dahi Pandu berkerut. Ke mana tour guide-nya tadi?

Gita terduduk di tanah sambil mencengkeram pergelangan kaki kanannya. Wajahnya keruh oleh kemarahan.

“Om-om Bule kurang a—”

Seketika Evan mencubit lengan Gita, yang langsung menjerit.

“Apaan, sih, Van?!” seru gadis itu.

“Jangan mengumpat di sini,” ujar Evan dengan nada amat sangat serius. “Tida baik.”

Kulit muka Gita memerah sampai ke lehernya; ia tampak seperti mau meledak. Tiba-tiba, ia terpekik karena Reni menyentuh kakinya.

“Aduh, sori,” gumam Reni sambil menggigit bibir, sesaat tampak gugup. Namun kecekatannya sebagai anggota Palang Merah Remaja amat membantu. Diperiksanya kaki Gita sejenak dan tidak didapati ada yang patah, mungkin hanya terkilir ototnya. Tak lama, Gita sudah berdiri lagi dengan Pandu dan Evan di kiri-kanannya, separuh memapahnya.

“Nanti pinjam motor Kak Helen saja,” usul Evan. “Mustahil Ame bisa jalan pulang.”

“Oh, Mbak Helen bawa sepeda motor ke pos?” sahut Pandu.

Evan mengangguk.

“Turis tadi keterlaluan, ah. Gimana pun, Gita jatuh, ‘kan, karena dia. Masa, dia nggak minta maaf?” seloroh Angga.

“Biasanya turis tu ramah-ramah, lho. Diajak foto bareng aja mau,” Reni menanggapi. “Tahu maksudku, ‘kan? Kayak bule-bule di Malioboro, gitu.” Sekolah mereka memang pernah melakukan karyawisata ke Yogyakarta serta singgah di pusat perbelanjaan dan kuliner kota itu, yang tumpah ruah dengan turis baik lokal maupun luar negeri.

“Memang orangnya lain dari yang lain, kali? Lihat aja sikapnya ke Masato tadi,” timpal Pandu.

Diiringi emosi yang campur aduk antara kegirangan bertemu orang Jepang yang ramah dan kekesalan terhadap turis Belanda atau Jerman yang main tabrak tanpa minta maaf, kelima remaja itu menuruni lereng lambat-lambat sementara matahari bergerak semakin ke barat.

***

[1] Sikil gebuk maling, ejekan dalam bahasa Jawa yang merujuk pada betis besar yang disamakan dengan ukuran pentungan untuk memukuli maling.

[2] Hm, maaf. Anda orang Jepang?

[3] Ya, saya orang Jepang.

[4] Nama Anda?

[5] Saya Masato Kawasaki.

[6] Bahasa Jepang: imut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gantung
646      425     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Are We Friends?
3307      1024     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Trick or Treat!
684      399     2     
Short Story
Malam Halloween ... saatnya untuk "Trick or Treat!"
U&I - Our World
367      255     1     
Short Story
Pertama. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu indah, manis, dan memuaskan. Kedua. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu menyakitkan, penuh dengan pengorbanan, serta hampa. Ketiga. Bagi sebagian orang, kisah cinta itu adalah suatu khayalan. Lalu. Apa kegunaan sang Penyihir dalam kisah cinta?
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
6040      2276     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Summer Whispering Steam
2896      1078     1     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...
Fix You
724      432     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Nina and The Rivanos
9577      2327     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Behind Friendship
4268      1217     9     
Romance
Lo harus siap kalau rasa sahabat ini bermetamorfosis jadi cinta. "Kalau gue cinta sama lo? Gue salah? Mencintai seseorang itu kan hak masing masing orang. Termasuk gue yang sekarang cinta sama lo," Tiga cowok most wanted dan dua cewek receh yang tergabung dalam sebuah squad bernama Squad Delight. Sudah menjadi hal biasa jika kakak kelas atau teman seangkatannya meminta nomor pon...
One hour with Nana
354      250     3     
Short Story
Perkelahiannya dengan Mandala sore itu, membuat Egi dalam masalah. Mandala tewas setelahnya dengan tubuh penuh luka tusukan. Semua orang, pasti akan menuduh Egi sebagai pelaku. Tapi tidak bagi seorang Nana. Bagaimana Gadis berwajah pucat itu menangkap pelaku sebenarnya? Bisakah Egi selamat dari semua kejadian ini?