Minggu, 21 April 2013.
.
“Naik, naik ke puncak gunung ... Tinggi, tinggi sekali ....”
“Yeey, Dhek Grego pinter,” puji Reni dengan nada melucu. Tangan seorang anak laki-laki yang lebih kecil berada dalam genggamannya.
“Lagi, nyanyi lagi dong,” timpal Gita. “Bareng-bareng, ya. Naik, naik ke puncak gunung ....”
Di belakang mereka, Angga, Evan, dan Pandu berjalan sambil saling lirik dengan geli. Cewek-cewek memang bisa diandalkan untuk mengasuh anak.
Anak laki-laki itu, Grego, adalah putra bungsu Ibu Djumali—ibu paruh baya yang kemarin mereka temui.
Evan, sahabat lama Gita yang anak seminari, ternyata sedang live in di rumah Bapak-Ibu Djumali. Pasangan itu juga mempunyai seorang putri yang bekerja di Pos Gunung Merapi Babadan, Helen namanya. Keluarga itu sudah puluhan tahun tinggal di rumah itu. Mereka sempat ikut mengungsi saat bencana tahun 2010, dan sudah kembali serta menata ulang ritme kehidupan di ladang dan kandang.
Pandu sebetulnya pernah bertemu Bu Djumali saat live in SMP-nya dulu, tapi cuma sekali, makanya dia tidak ingat. Kemampuan menghapalnya sudah terkuras untuk pelajaran sekolah, dalihnya ngawur ketika hal itu diungkit-ungkit teman-temannya. Dahulu, rangkaian kegiatan live in itu hampir selalu diadakan di balai desa yang lebih ke arah kota serta eksplorasi ke alam sekitar, dan pertemuan rutin warga tak banyak membantu karena—sekali lagi, ini dalih Pandu sendiri yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya—dia mudah sekali melupakan nama dan wajah orang baru seperti halnya lupa arah jalan.
Pagi itu, setelah puas menikmati riuhnya kicau burung dan sejuknya udara pagi yang sulit ditemukan di perkotaan—terutama bagi Gita, Reni, dan Angga yang belum pernah live in—mereka berempat berkunjung lagi ke rumah keluarga Djumali; untuk beramah-tamah dengan Ibu Djum dan bermain dengan Grego. Mulanya Gita jadi topik utama sehubungan dengan takjubnya ia melihat pemandangan jemuran butir padi yang sama sekali belum pernah diketahuinya. Bahkan Pandu berkomentar, “Itu bahasa Jermannya, meppe gabbach[1], tahu?” yang disahuti seruan takjub oleh Gita yang nggak paham pelesetan Pandu, “Serius? Apa ada hubungannya sama Johann Sebastian Bach yang musisi Jerman itu?” dan disambut derai tawa oleh yang lain. Lalu pembicaraan teralih ke keluarga masing-masing dan tiba pada giliran Pandu yang menceritakan kakaknya dan saudari sepupunya yang membawa serta tim pendaki gunung.
“Kalian nggak pengin naik Merapi juga e? Sekarang Merapi sedang aman untuk didaki, meski tetap tidak bisa sampai puncak,” ujar Evan, menyambung perihal pendakian gunung.
“Iya, aman, kok,” timpal Bu Djum. “Kalau mau, nanti kalian ke atas sama Dhek Evan dan Grego. Nanti di pos, Grego bisa ditinggal sama kakaknya.”
“Grego, nanti mau naik gunung dengan Kakak e?” tanya Evan dengan logatnya yang khas.
“Mau, mau! Hore, naik gunung!” celoteh Grego.
Usia anak itu sudah sepuluh tahun dan ia memiliki keterbelakangan mental. Meski begitu, keluarga Djumali sepertinya tetap mensyukuri keadaan Grego. Mereka hidup sederhana, dengan penghasilan bergantung pada panen cabai dan ternak sapi, namun wajah mereka senantiasa penuh kedamaian.
“Oh, iya. Ibu ternyata bisa bahasa Indonesia,” ujar Pandu malu-malu. “Tahu begitu, kemarin ngomongnya nggak usah pakai bahasa Jawa. Soalnya Kromo saya kemarin hancurnya bukan main.”
“Ya, ora apa-apa, kuwi tandane bocah sing apik budi pakertene,”[2] sahut Bu Djum, yang kemudian tertawa melihat ekspresi Evan yang kebingungan. “Dhek Evan nih, perlu diajari basa Jawa. Untung dia dapat di rumah Ibu. Kebanyakan orang sini nggak bisa ngomong bahasa lain selain Jawa, lho.”
Evan, yang ayahnya asli Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan ibunya asli Maluku, hanya nyengir salah tingkah.
Pandu bicara lagi, “Oh, iya Bu, biasanya kalau anak muda bicara ke yang lebih tua pakai bahasa Jawa Kromo, sedangkan balasan yang lebih tua ke orang muda pakai Jawa Ngoko[3] nggak masalah. Tapi kemarin Bu Djum mbalas pakai Kromo juga.”
Bu Djum tertawa lagi. “Kalau sama pendatang memang biasanya kami begitu. Kalau sudah akrab, nah, baru kembali ke Ngoko, atau sekalian bahasa Indonesia. Tuh, Dhek Evan bisa belajar bahasa Jawa sama temen-temen!”
Evan hanya mengangguk sambil meringis malu-malu.
Agenda live in dari seminari, sekolah para calon pastor Katolik, tidak sama seperti yang diadakan SMP Pandu dahulu. Evan harus berangkat sendiri—ia menumpang truk sayuran kemudian di tengah jalan berganti truk pengangkut ayam—lalu setiba di lokasi juga mencari sendiri rumah untuk ditumpangi dengan mengetuk pintu ke pintu. Dia akan tinggal di rumah itu selama sebulan, membaur dan memberi pelayanan terutama pada keluarga yang menerimanya.
Dua minggu di Dukuh Semen, wilayah Lor Senowo, Evan sudah hapal jalan menuju ladang cabai milik Pak Djum, tempat rumput tumbuh subur untuk pakan sapi, letak Sungai Senowo dan bendungannya, dan dia bahkan sudah dua kali pergi naik Gunung Merapi ditemani Helen, kakak Grego. Kali ini menjadi yang ketiga, dan dia kini beramai-ramai di perjalanan.
“Mbak Helen itu, orangnya kayak gimana?” tanya Pandu ingin tahu. Dia dan Angga berjalan bersama Evan di belakang kedua cewek yang masih bernyanyi bersama Grego. “Bu Djum kayaknya bangga banget terhadapnya.”
“Yaa, Kak Helen itu pernah belajar ke Yogyakarta. Dia bisa bahasa Prancis dan Belanda, lho,” sahut Evan.
“Wow,” komentar Angga. “Pasti orangnya selalu serius, kutu buku.”
“Atau malah supel dan humoris?” timpal Pandu.
“Kalian lihat saja nanti,” ujar Evan penuh misteri. Pandu menyerah untuk mengorek informasi. Akhirnya, ia dan Angga banyak bertanya tentang latar belakang Gita.
“Jadi, ternyata Gita pernah tinggal di Kupang?” selidik Pandu.
“Iya. Dia orang Jawa asli tapi orang tuanya sering pindah kerja ke pulau lain. Sa ingat, SMP-nya di Lampung,” ujar Evan.
“Terus waktu kecil, Gita dipanggil dengan nama baptisnya?” tanya Angga.
Evan mengangguk. “Ya. Awalnya sa malah heran kalian memanggilnya ‘Gita’. Dari dulu dia dipanggil Ame. Namanya, ‘kan, Amelia Gita.”
Angga mendengus menahan tawa. “Ada lagunya, ‘kan? ‘Oh, Amelia, gadis cilik lincah nian ….’ Sama sekali nggak cocok!”
“Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara … aa ….” Nyanyian di depan ketiga cowok itu berlanjut, tampaknya tidak mendengar yang merumpi di sebelah sini.
“Mungkin dia udah nggak mau dipanggil Ame. Kayak lagu anak-anak, ‘Pok ame-ame, belalang kupu-kupu …,’” celetuk Pandu dengan mimik lucu sambil menepuk-nepukkan tangan.
Baik Angga maupun Evan terbahak keras melihat ekspresi Pandu, membuat kedua cewek di depan mereka menoleh.
“Kalian ngetawain apa, sih?” selidik Reni.
Serempak, tanpa aba-aba, ketiga cowok itu sepakat menyembunyikan fakta yang barusan dibicarakan. Takut Gita tersinggung.
“Barusan, perutnya Angga udah mulai konser,” ujar Pandu asal.
“Iya nih, sa juga lapar, sebentar lagi kita berhenti untuk makan, ya,” Evan memperkuat.
“Dasar kalian para cowok, kerjanya hanya makan dan makan,” gerutu Gita.
Angga mendelik tak setuju ke arah Pandu, yang balas nyengir tanpa dosa, meminta si Gempal untuk ikhlas dijadikan alasan.
Bergaul dengan Evan terasa menyenangkan. Anak itu periang dan matanya hitam berkilat seperti manik mata kelinci jinak, cengiran selalu terpampang dan tangannya bergerak-gerak kalau bicara, seolah seluruh tubuhnya memancarkan radiasi kebahagiaan. Betapa beruntungnya Gita punya teman seperti Evan!
Mereka semua membawa bekal untuk camilan dan makan siang—tadi Pandu dan kawan-kawan sempat kembali ke rumah Mbah Parjo untuk meminta izin sekaligus menyiapkan bekal. Rumah Bu Djum yang ada di perbatasan Dukuh Semen, juga rumah-rumah keluarga besar Gilang yang ada di dusun sebelah, Dukuh Waluh, kurang lebih berjarak lima kilometer dari puncak Merapi.
Karena Pandu berombongan, tidak ada cukup kendaraan untuk dipakai. Lagipula, mereka tidak ingin merepotkan keluarga Djumali. Jadilah mereka berjalan kaki. Hanya satu kilometer berjalan dan mereka akan sampai ke Pos Babadan tempat Helen bekerja. Untungnya semua mengenakan sneakers, karena, menurut Evan, jalanan nanti akan lebih banyak berbatu-batu. Kaki Evan sendiri hanya beralas sandal jepit; ia sudah terlatih naik-turun dataran tinggi berbatu di kampung halamannya.
Belum ada setengah perjalanan menuju pos, Angga sudah terengah-engah. Ia mengeluh kakinya pendek sehingga tidak bisa dipakai berjalan lama-lama. Padahal sebetulnya staminanya rendah karena tak pernah berolahraga. Itu juga bertimbal balik dengan kebiasaannya mengurung diri di kamar, sambil nge-game dan nge-meal. Namun, karena tak ada yang tega menghinanya secara langsung, jadi mereka semua memutuskan untuk istirahat sebentar dan makan camilan.
Sambil makan roti, Pandu mengedarkan pandangannya ke sawah-sawah yang terhampar di sisi bawah mereka. Tampak pula seutas benang keperakan panjang di kejauhan yang mestinya adalah Sungai Senowo.
Daerah itu dinamai Lor Senowo karena terletak di sebelah utara sungai tersebut—‘lor’ dalam bahasa Jawa berarti utara.
“Sa jadi teringat lagu kanak-kanak,” gumam Evan di sebelahnya. Rupanya dia juga tengah memandangi sawah yang kehijauan.
“Yang mana?” tanya Pandu.
“Hmm ... yang ini lho, ‘Sungai tampak berliku, sawah hijau terbentang, bagai permadani di kaki langit.’ Lagunya Tasya.”
“Kayaknya pernah denger,” sahut Pandu sambil dalam hati memuji suara Evan yang ternyata bagus. Mungkin kapan-kapan Evan perlu diajak karaokean bareng.
“Judulnya ‘Pemandangan’, bukan?” celetuk Reni tiba-tiba.
“Mungkin. Sa malah lupa judulnya,” ujar Evan. “Gunung menjulang, berpayung awan, oh, indah pemandangan ...,” ia menyelesaikan liriknya. Lalu ia menoleh ke arah Angga, Grego, dan Gita.
Angga, yang sedang tiduran, memasang mp3 player dengan headset di telinganya. Grego tengah memainkan tali ransel milik Reni. Gita asyik dengan sebuah manga di tangan dan headset di indera pendengarannya juga.
Karena di area gunung sinyal ponsel selalu berada pada level terbawah, segala gadget milik Gita ditinggal di rumah. Dia cuma bawa satu smartphone yang ada aplikasi kamera dan pemutar musiknya.
“Bagi-bagi, dong, lagunya,” ujar Reni sambil menjawil lengan Gita. Cewek itu lalu melepas headset-nya yang sebelah kiri dan memberikannya ke Reni.
“Lagunya siapa?” tanya Pandu.
Reni menyebutkan nama sebuah boyband yang semua anggotanya baru awal belasan tahun tapi lagu-lagunya bertema cinta.
Pandu terkekeh. “Anak-anak zaman sekarang sudah nggak kenal sama lagu kanak-kanak. Mereka maunya nyanyi lagu orang dewasa.”
“Kayak kamu udah kakek-kakek aja, Ndu,” balas Evan yang ikut tertawa.
“Tapi serius, dibandingin zaman kita kecil aja deh, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak ya nyanyinya lagu-lagu yang sesuai umur mereka.” Pandu merenung atas kalimatnya sendiri.
Saat itu Grego berceloteh setengah bernyanyi, “Gunung menjulang, berpayung awan. Oh, indah pemandangan. Indah pemandangan.”
*
“Makasih banyak, ya, Evan. Kalian juga,” ujar seorang gadis berkacamata. Usianya dua puluh dua, kata Bu Djum, namun wajahnya masih tampak seperti anak SMA. Imut, batin Pandu. Kulit gadis itu sawo matang dan mata hitamnya bersinar-sinar lembut. Rambutnya sebahu dengan potongan simpel, membuatnya tampak energik.
Grego duduk di kursi teras di sebelah gadis itu, mencoret-coret kertas dengan bentuk-bentuk abstrak sesuka hati. Pos itu berupa bangunan semipermanen berwarna putih kusam dengan teras lebar. Hanya ada satu pintu di belakang teras, terbuka, memperlihatkan beberapa muda-mudi bersliweran di dalam ruangan yang sekilas terlihat berisi banyak lemari.
“Ini tadi Simbok titip bawakan untuk Kak Helen,” ujar Evan, menyodorkan sebuah kotak bekal. Simbok adalah panggilan untuk Ibu dalam bahasa Jawa, dan sepertinya hanya itu satu-satunya kata berbahasa Jawa yang ia kuasai.
“Singkong rebus, ya? Makasih lagi, Van.”
“Iya, Kakak, sama-sama.”
Helen meraih kotak bekal itu dan berseru ke dalam, “Ada tambahan logistik, nih!”
Dari dalam, salah satu rekan kerja Helen berseru heboh, “Hore!” dan ada yang menimpali, “Alhamdulillah!”
Seorang pemudi yang berdiri paling dekat dengan pintu mengambil kotak bekal itu dari tangan Helen yang terjulur. “Trims, yak.”
“Kembali.”
Saat itu terdengar bunyi musik yang riang dari dalam ruangan dan Grego langsung berlari ke sumber suara.
“Grego, hati-hati!” pekik Reni meski terlambat, pensil warna anak itu terjatuh ke lantai dengan keras karena larinya yang tiba-tiba tadi. Grego sendiri kelihatan baik-baik saja di dalam, sedang menari gembira di depan meja. Salah satu teman Helen yang lelaki memasang wajah lucu dan ikut menari dengannya. Rupa-rupanya musik itu berasal dari pesawat radio.
“Ya ampun, Grego, Grego,” ujar Helen sambil meraih pensil warna yang terjatuh.
“Di situ ada radio, Mbak?” tanya Gita takjub.
“Iya, ada.”
“Apa gelombang radio dari kota bisa sampai ke sini?” lanjut Pandu.
“Di sini ada radio komunitas.”
“Wow,” komentar Pandu. “Apa artinya?”
Helen menjelaskan, “Sejak letusan 2010, dirasa perlu sarana komunikasi yang terjangkau di tempat susah sinyal begini, tapi yang disiarkan nggak melulu berita. Di hari Minggu—ini ‘kan hari Minggu, nih—biasanya mereka nyiarin lagu-lagu anak. Grego paling suka ke sini kalau hari Minggu karena bisa dengerin radio.”
Para remaja itu bisa mendengar penggalan lagu, “Pada hari Minggu, ‘ku turut Ayah ke kota ... naik delman istimewa, ‘ku duduk di muka ....”
“Kalau malam Kamis, biasanya ada siaran wayang kulit,” tambah Helen. “Setiap hari ada hasil pemantauan status Merapi juga, jadi bisa lebih siap kalau ada apa-apa.”
Pandu bersiul. “Keren banget. Jadi, orang bisa saling tahu kabar yang lain meski nggak ada sinyal. Siapa yang memulai, Mbak?”
“Pelopornya, ya, orang-orang muda. Tuh, beberapa relawannya ada di dalam, kok. Mau kenalan?”
“Ng ...” Pandu mengerling ke teman-temannya. Dilihatnya Reni memberi kode tak kentara dengan menggerakkan pergelangannya yang dilingkari jam tangan.
“... lain kali aja, Mbak. Nanti terlalu siang naik gunungnya,” ujar Pandu akhirnya.
“Oke, deh. Oya, kalian yakin nggak mau pakai jasa ojek?” tanya Helen, pandangannya jatuh pada Angga yang kelihatan kepayahan hanya untuk berjalan sampai pos. “Di sini banyak, kok, pendatang yang diantar ke atas, paling nggak cuma sampai batas jalan.”
“Nggak,” para remaja itu menyahut. Angga membetulkan posisi ransel di punggungnya. “Aku kuat, kok, lebih kuat daripada kelihatannya,” ujarnya sembari membusungkan dada.
“Mending uangnya ditabung, Mbak, ‘kan, lumayan,” timpal Pandu.
Evan terbatuk pelan, hampir gagal menyamarkan kikik.
Helen tersenyum kecil. “Habis ini, kalian bisa naik lewat jalan setapak, ada tandanya di situ. Evan udah pernah naik, kok. Kamu jadi pemandu jalan, ya, Van.”
“Siap, Kakak Helen,” ujar Evan. Ia mengerling geli ke arah Angga dan Pandu.
“Hati-hati, ya, kalian semua,” sahut Helen sembari tersenyum, yang dibalas dengan “Siap, Mbak,” dari Gita dan Reni serta senyum semanis madu oleh kedua cowok dari Solo itu.
Angga dan Pandu masih nyengir seperti orang sedang sakit gigi ketika mereka tiba di jalan setapak yang dimaksud. Evan menyikut keduanya sambil berujar,
“Kak Helen sudah ada yang punya, tahu!”
“Yaaah,” keduanya berseru kecewa dengan kompak, cengiran mereka lenyap seketika.
***
[1] Yang dimaksud Pandu adalah istilah berbahasa Jawa: mepe gabah (menjemur gabah/padi), hanya dibuat kedengaran seolah bahasa Jerman.
[2] Bahasa Jawa: Ya, tidak apa-apa, itu tandanya anak yang baik budi pekertinya.
[3] Istilah Ngoko dan Kromo dalam bahasa Jawa adalah untuk membedakan kepantasan dalam bertutur. Ngoko atau bahasa Jawa ‘kasar’ sering digunakan pada orang yang seusia, sementara Jawa Kromo adalah bahasa yang ‘halus’ atau lebih sopan.