Read More >>"> Memento Merapi (Bab 8: Topeng Ireng) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU 0
About Us  

Dua puluh orang berbaris membujur seraya bergerak rancak. Pendopo terbuka berlatarbelakangkan langit malam itu menjadi hidup oleh irama musik yang bergemuruh; sesekali nadanya meloncat naik atau menukik turun, tiap kali diikuti gerakan ala pencak silat.

Sekelompok orang lagi dalam jumlah yang kira-kira sama berbaris masuk dari sebelah kiri panggung, menyemarakkan suasana. Tepuk tangan penonton menyambut mereka. Kelompok kedua ini menggoyang-goyangkan kepala mereka yang berhias bulu seperti suku Indian, mengimbangi gerakan kelompok satunya yang menderap-derapkan sepatu boots masing-masing.

Kedua kelompok itu tiba-tiba melebur jadi satu dan terbagi kembali menjadi beberapa kelompok kecil. Dua kelompok yang terdepan, masing-masing tiga orang, melakukan gerakan silat lagi seolah saling bertarung.

“Wooohh ....”

Penonton terkagum-kagum menyaksikan ketangkasan para penari.

“Eh,” bisik Angga pada Evan di sisi kirinya, “mataku yang bermasalah, atau yang itu emang Mbak Helen?” Dia menunjuk ke salah satu penari pada kelompok terdepan.

“Matamu baik-baik aja. Itu memang dia,” sahut Evan bersemangat. “Dia salah satu penari terbaik.”

“Keren!” ujar Gita, smartphone dipegangnya sejajar dengan mata. Sementara Reni di sebelahnya juga sedang merekam pertunjukan itu dengan kamera digitalnya.

Di dekat mereka, Via dan Gilang juga menikmati pertunjukan. Mona dan kawan-kawan hiking-nya duduk juga di dekat situ. Tri sibuk menjepret dengan SLR-nya.

Fragmen itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah. Panggung kosong, namun musik dari gamelan asli tetap berkumandang.

Seorang pria berbicara melalui pengeras suara dalam bahasa Jawa kental, menjelaskan filosofi pertunjukan itu. Topeng Ireng—yang berarti “Topeng Hitam”—sebetulnya merupakan akronim dalam bahasa Jawa. Ia berasal dari kata toto—menata, lempeng—lurus, irama—nada, dan kenceng—keras. ‘Menata dengan lurus nada-nada yang bunyinya keras.’

Kelompok penari berikutnya memasuki panggung dan penonton kembali bertepuk tangan.

“Ngomong-ngomong,” ujar Angga lagi, “yang nonton di sini nggak cuma penduduk lokal, ya. Tuh, ada Masato di depan.”

Gita langsung memekik, “Mana?” Untuk sesaat, kedua netranya teralih dari layar smartphone. Reni juga ikut celingukan mencari-cari.

“Harusnya kamu nggak bilang, Ngga,” canda Pandu yang dari tadi diam saking terpesonanya dengan pertunjukan yang nostalgis itu.

“Aku suka caranya berpakaian,” seloroh Reni setelah menemukan sosok Masato di barisan depan penonton. “Dia orang luar negeri tapi pakai batik. Tadi siang juga, ‘kan?”

Yeah. Hidup produk Indonesia!” timpal Gita sembari tersenyum. “Aku suka lihat orang asing pakai batik. Artinya, ‘kan, batik betul-betul sudah mendunia.”

“Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu kalau dia orang Jepang, Ndu?” tanya Angga.

“Oh. Aku denger dia bergumam-gumam tentang bunga sakura. Kayaknya dia berharap pemandangan di gunung sini mirip kayak dari Gunung Fuji waktu musim semi. Itu lho, yang ada festival menonton bunga, hanami. Banyak bunga sakura di daerah itu, ‘kan?”

“Kamu bisa denger dan paham sebanyak itu, Ndu?” selidik Reni. Dia saja bahkan nggak sadar Masato bicara dalam bahasa Jepang meski cukup menguasainya. “Kamu nggak ngarang, ‘kan?”

Pandu hanya nyengir dan Reni menyikutnya. “Dasar!” gerutu cewek itu.

“Aku cuma membumbui faktanya sedikit,” kilah Pandu. “Intinya tentang bunga sakura, ini beneran, kok.”

Sebetulnya Pandu mendengar Masato membicarakan sebuah keyakinan aliran Zen Buddhist, dan bahwa dia bisa paham adalah karena pernah membaca tentang hal serupa di buku milik ayahnya. Persisnya Masato menyebut, “Aku pengin ada hanami di sini, seperti di Gunung Fuji. Menikmati bunga sakura di fase mereka yang paling indah, yaitu di masa sebelum akhirnya gugur.” Daripada dicela karena bacaan yang filosofis, Pandu memilih menyimpan bagian itu untuk dirinya sendiri sambil mencatat satu kesamaan antara dirinya dan Masato.

Gita mengamati sekeliling dan mendadak ekspresinya berubah. “Huuh. Si Bule juga ada di sini,” gerutunya. Tentu saja Gita masih kesal akibat kejadian siang tadi. “Dasar penjajah!”

“Husy, jangan ngomong kayak gitu,” tegur Pandu. “Kita belum tahu pasti dia orang Jerman atau Belanda. Lagian, Masato ‘kan, dari Jepang? Jepang dan Belanda ‘kan, sama-sama pernah ....”

“Iya, iya. Maaf, deh,” tangkis Gita. “Aku tahu, nggak baik menganggap orang buruk hanya karena sejarah bangsanya. Tapi, aku sentimen aja sama Om Bule yang satu itu.”

“Eh,” seloroh Reni, “Aku ngerasa pernah lihat orang itu.” Ia menunjuk ke sebelah kanan; beberapa penonton yang tidak kebagian tempat duduk berdiri di sana.

“Yang mana?” tanya Angga, celingukan.

“Yang ketiga dari kanan,” sahut Reni.

“Mas-mas yang pakai kacamata itu?” tanya Gita, ikut celingak-celinguk.

“Mas-mas? Itu bukannya guru, ya? Dia pernah jadi pengawas waktu UN,” ujar Reni.

“Oh, iya. Aku inget. Dia pengawas di ruangan kita di hari terakhir UN,” Pandu menyahut.

Angga dan Gita tentu saja tidak tahu—jurusan saja beda, apalagi ruang ujian!

“Kenapa banyak orang Solo berkumpul di sini e?” keluh Evan seolah hal itu mengganggunya.

“Memangnya nggak boleh, Van?” tantang Pandu dengan nada bercanda.

“Hahaha, kebetulan …,” seloroh Angga. “Kebetulan aja mereka pilih tanggal yang sama dengan kita untuk wisata ke Merapi.”

*

“Mbak Helen tadi keren banget!” puji Gita. “Gerakan-gerakan silatnya itu, lho.”

“Semua penari bisa gerakannya kok … tapi, makasih, ya,” sahut Helen merendah. Wajahnya sudah bersih dari riasan dan ia sedang mengemasi barang bawaannya.

Seusai pertunjukan Topeng Ireng, kelima remaja itu menunggu untuk bertemu kakak Grego itu. Evan, karena memang ia akan berjalan pulang dari pendopo Gereja Gubug Selo Merapi, tempat pertunjukan itu, bersama Helen. Sedangkan yang lain-lain ingin beramah-tamah saja, apalagi karena tadi mereka mengganggu gadis itu sewaktu bertugas gara-gara kecelakaan yang dialami Gita.

“Gimana kakimu, Me?” tanya Helen. Ia ikut memanggil Gita dengan cara yang sama dengan Evan.

“Udah mendingan, Mbak,” sahut yang ditanya. Agak keseleo, tapi sepertinya akan cepat pulih. Ini berkat obat oles tradisional Mbah Parjo yang ampuh namun baunya minta ampun. Kata beliau, itu obat racikan dari tetumbuhan di lereng Merapi. Gita terpaksa betah dengan baunya sepanjang sore tadi, namun hasilnya cukup memuaskan.

“Baguslah,” ujar Helen. “Oh iya, kalian kalau ada masalah apa-apa di sini, jangan sampai misuh ya.”

“Kenapa, Mbak?” tanya Angga.

“Penduduk lereng Merapi percaya daerah ini keramat,” Pandu yang menjelaskan. “Banyak hal-hal mistis.”

“Itu dia,” sahut Helen membenarkan. “Dulu pernah ada anak yang misuh—ya, anak kota yang live in di sini—dan setelahnya dia terpaksa dipulangkan gara-gara diare parah. Padahal teman serumahnya, yang makan-minum makanan dan minuman yang sama dengannya, nggak kenapa-kenapa.”

“Waktu aku live in juga pernah ada kejadian begitu,” sela Pandu.

“Beneran, Mbak?” seloroh Gita sambil melirik Pandu, agak merasa takut.

Helen mengangguk. “Jadi, hati-hati, ya.” Dia melihat jam tangannya. “Udah makin malem, nih. Yuk, pada pulang.”

“Apa Kak Niko pulang bareng kita, Kak?” tanya Evan. Ia menoleh ke sana ke mari, mencari seseorang.

“Nggak, dia masih ada job.”

“Berarti kita pulang sekarang, Kakak?”

“Yaps. Kalian juga, pulang sana! Tadi kamu bareng sama kakakmu, ‘kan?” Helen bertanya pada Pandu.

“Iya, tapi tadi aku udah bilang duluan aja …,” sahut Pandu. “Lagian, katanya dia mau ketemu temen-temen kuliahnya tadi.” Dia celingukan mencari sosok Via dan menemukannya di sudut pendopo bersama beberapa orang. “Tuh, Mbak Via masih di sana.”

“Tapi Mbak Helen bener, udah malem. Ayo kita hampiri Mbak Via,” ujar Reni. “Besok kita juga mau pergi bareng Mbak Mona, ‘kan? Istirahat dulu, lah.”

Dan setelah pamitan singkat dengan Helen serta Evan lalu pamitan yang lebih panjang antara Via dengan kawan lamanya, Santika, rombongan dari Solo pun pulang. Liburan di Merapi baru berjalan dua hari; apa lagi hal menarik yang menanti mereka esok hari?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lalu, Bagaimana Caraku Percaya?
116      87     0     
Inspirational
Luluk, si paling alpha women mengalami syndrome trust issue semenjak kecil, kini harus di hadapkan pada kenyataan sistem kehidupaan. Usia dan celaan tentangga dan saudara makin memaksanya untuk segera percaya bahwa kehidupannya segera dimulai. "Lalu, bagaiamana caraku percaya masa depanku kepada manusia baru ini, andai saja jika pilihan untuk tak berkomitmen itu hal wajar?" kata luluk Masal...
Premium
Secret Love Story (Complete)
11270      1592     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
Viva La Diva
593      382     0     
Short Story
Bayang mega dalam hujan
Dapit Bacem and the Untold Story of MU
6713      2009     0     
Humor
David Bastion remaja blasteran bule Betawi siswa SMK di Jakarta pinggiran David pengin ikut turnamen sepak bola U18 Dia masuk SSB Marunda United MU Pemain MU antara lain ada Christiano Michiels dari Kp Tugu To Ming Se yang berjiwa bisnis Zidan yang anak seorang Habib Strikernya adalah Maryadi alias May pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola antar waria Pelatih Tim MU adalah Coach ...
THE YOUTH CRIME
3897      1172     0     
Action
Remaja, fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa dengan dua ciri khusus, agresif dan kompetitif. Seperti halnya musim peralihan yang kerap menghantui bumi dengan cuaca buruk tak menentu, remaja juga demikian. Semakin majunya teknologi dan informasi, semakin terbelakang pula logika manusia jika tak mampu mengambil langkah tegas, 'berubah.' Aksi kenakalan telah menjadi magnet ketertarika...
A & O
1512      707     2     
Romance
Kehilangan seseorang secara tiba-tiba, tak terduga, atau perlahan terkikis hingga tidak ada bagian yang tersisa itu sangat menyakitkan. Namun, hari esok tetap menjadi hari yang baru. Dunia belum berakhir. Bumi masih akan terus berputar pada porosnya dan matahari akan terus bersinar. Tidak apa-apa untuk merasakan sakit hati sebanyak apa pun, karena rasa sakit itu membuat manusia menjadi lebih ma...
Salon & Me
3649      1167     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Trip
860      434     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Sweet Equivalent [18+]
3594      1022     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Snow White Reborn
580      328     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...