Read More >>"> Memento Merapi (Bab 5: Reuni) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memento Merapi
MENU 0
About Us  

Sabtu, 20 April 2013.

.

Lebih dekat lagi ke puncak Gunung Merapi, seorang pemuda sedang mengencangkan tali di pinggangnya lalu merayap turun dari tebing.

“Hati-hati, Han,” suara seseorang menggema memperingatkannya. “Ndak usah buru-buru.”

Seolah tak mendengarkan, pemuda itu menginjak bebatuan demi bebatuan di bawahnya dengan lincah. Ketika sudah tiba di jarak semeter dari tanah, ia melompat turun.

“Handi! Jangan gitu,” tegur seorang wanita muda.

“Lha, habisnya, kalian curang,” ujar pemuda bernama Handi itu seraya melepaskan peralatan hiking-nya dan memasukkannya ke daypack—tas untuk mendaki gunung yang kapasitasnya lebih kecil daripada carrier.

“Kami, ‘kan, turun duluan untuk ngasih kamu contoh,” ujar seorang wanita yang lain. Ia yang tadi berseru pada Handi untuk berhati-hati.

“Sudahlah. Cara dia mendaki aja sudah macam bukan rookie,” timpal seorang pemuda, membela Handi. Ia merangkul bahu Handi yang lebih pendek darinya. “Sebagai pemula, kamu cepat banget belajar!”

“Udah turun semua?” tanya seorang lagi wanita, yang sedang berjongkok agak jauh dari keempat orang itu. Ia tengah berkutat dengan sesuatu di tanah.

“Udah, Mbak Mona.” Handi yang bicara. “Dari sini, kita lewat jalan setapak ke desa, ‘kan?”

“Ya,” sahut wanita bernama Mona itu. Dia mengeluh pelan. “Lagi-lagi ada pendaki yang nggak bertanggung jawab terhadap alam.”

“Sisa api unggun lagi?” tanya wanita yang pertama. Ia membantu Mona menguruk sisa-sisa bara dan kayu itu dengan tanah. “Ada apa dengan petuah, ‘Pendaki sejati pulang meninggalkan alam seperti keadaannya semula’? Di atas tadi juga, banyak banget sampah bertumpuk.”

“Mendaki pagi-pagi menyenangkan, ya,” ujar Handi, mengabaikan keluh-kesah kedua perempuan itu. “Udara masih dingin tapi kita bisa nonton mentari terbit. Eh, tadi ada yang motret, nggak? Mas Tri?”

Tri, pemuda yang satu lagi, menggeleng. “SLR-ku ketinggalan di penginapan, semalam mindahin data habis dipakai lomba. Fatma? Kamu punya kamera digital, ‘kan?”

“Baterainya habis, belum sempat aku charge,” sahut Fatma. “Mbak Santi sama Mbak Mona juga kayaknya nggak motret pakai ponsel.”

“HP-ku kutinggal di bawah. Habis, di atas, ‘kan, nggak ada sinyal. Kupikir, buat apa bawa HP? Tapi Mona motret kok. Iya, ‘kan, Mon?” tanya Santika yang berjongkok di sebelah Mona. Yang ditanya bergumam mengiyakan.

“Tapi HP-ku keluaran lawas, kameranya nggak terlalu bagus,” ujar Mona.

“Paling nggak, kita nggak sia-sia mendaki pagi-pagi,” sahut Tri.

Mona dan Santika sudah selesai dengan urusan peninggalan-pendaki-gunung-yang-egois.

“Yuk, kita turun,” ujar Mona. “Kalau pada nggak capek, besok pagi kita naik lagi.”

“Dengan catatan: jangan lupa bawa kamera!” tambah Santika. “Tri juga payah, ah, bawa-bawa SLR tapi nggak pernah dipakai, terus buat apa?”

“Iya iya. Maaf, deh, Mbak,” sahut Tri.

“Tadi Mas Tri bilang kameranya habis dipakai lomba, ya? Yang kemarin di Monumen Pers itu bukan, sih?” celetuk Handi.

Tri menyahut, “Iya, yang itu. Sayang belum menang, nih. Event-nya gede banget, pesertanya sampai dua ratusan. Banyak yang dari luar kota.”

“Ya, ampun. Pantesan pas pengumumannya sampai bikin macet nggak keruan. Itu pas hari Rabu kemarin, ‘kan? Tanggal 17?” Mona menimpali.

Tri mengiyakan lagi dengan nada muram, barangkali masih kecewa tidak menang di lomba fotografi yang menghebohkan penduduk Kota Solo itu.

*

Kelima sekawan itu semuanya lulusan Universitas Sebelas Maret dari berbagai tingkat dan jurusan. Mereka dulunya anggota grup pecinta alam di universitas negeri yang dinamai sesuai tanggal didirikannya itu.

Handi Simanjuntak adalah yang paling muda dan paling junior dalam mendaki gunung; ia dari Fakultas MIPA dan baru di tahun ketiga masa kuliahnya bergabung dengan grup pecinta alam. Tri Sulistyo dan Fatma Atmaja sama-sama Fakultas Sastra, setahun lebih tua dari Handi. Mona Raharjo, sepupu Via dan Pandu, sarjana teknik jurusan arsitektur dan Santika Atmaja, kakak Fatma, adalah lulusan Fakultas MIPA. Keduanya menjadi pembimbing grup pecinta alam di kampus almamater mereka.

Pendakian Merapi adalah rencana pertama dalam tahun ini. Paruh tahun berikutnya mereka berencana mendaki Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Karena sudah ada dua expert pendaki gunung—Mona dan Santika—mereka tidak memerlukan bantuan tim pemandu dari lereng Merapi.

Yah, Merapi bukan gunung yang pendakiannya membutuhkan waktu lebih dari sehari. Lerengnya dimukimi penduduk pada jarak yang cukup dekat dari puncaknya, orang bisa mulai mendaki dari situ di pagi hari dan tak sampai setengah hari dia sudah akan tiba di atas. Atau, kalau ingin menikmati matahari terbit, lebih baik menginap di area berkemah sekitar setengah jalan menuju puncak dan naik lagi sedikit menjelang fajar. Namun, hal-hal ini kadang luput dari perhatian para pendaki: ada nuansa mistis di Gunung Merapi, dan biasanya orang luar yang tanpa pemandu lokal tak tahu maupun peduli. Ada larangan tak tertulis untuk mendaki sampai ke puncak demi melihat kawah, tapi kadang masih ada pendaki yang nekat meneruskan ke situ. Ada pula larangan untuk keluar dari jalur yang disarankan; seorang turis pernah dikabarkan meninggal tertimpa batu saat mencoba jalur baru.

*

“Makan yang banyak, ya ....”

Nggih, Mbah ...,” sahut keempat remaja di sekeliling meja itu serempak.

Pria tua itu terkekeh. Ia tak memakai gigi palsu meski nyaris ompong, rambutnya sudah putih semua.

“Maaf kalau kami merepotkan, Mbah,” ujar Reni.

“Nggak repot, kok. Mbah malah seneng kalau ada anak-anak. Rumah Mbah jadi nggak sepi,” sahut sang Kakek.

Sebetulnya Pandu merasa keberatan Mbah Parjo, kakeknya Mas Gilang, menyebut mereka “anak-anak”—mereka semua sudah tujuh belas tahun; ia dan Angga bahkan sudah punya kumis!—namun kebetulan pandangannya terarah ke luar jendela dan ia melihat sesuatu yang membuatnya melupakan hal itu.

*

“Katanya kamu ke Merapi tanggal dua puluhan,” ujar Via.

“Ya ... hari ini, ‘kan, pas tanggal dua puluh, Vi?” sahut Mona seraya tertawa. Mereka berdua duduk di teras sebuah rumah yang menghadap ladang cabai.

“Nggak gitu. Dulu Santika bilang, sekitar tanggal dua lima,” sanggah Via. “Perubahan rencana?”

“Bisa dibilang gitu,” jawab Mona seraya mengucir kembali rambutnya yang panjang melebihi bahu. “Kami tadi naik dari Boyolali, lalu turunnya ke sini. Denger-denger, ada satu jalur pendakian dari Magelang sini juga, tapi ditutup sejak erupsi tahun 2010 itu. Temennya Santi yang bilang, sih.”

Semasa kuliah, Santika, Via, dan Gilang sama-sama aktif dalam senat mahasiswa. Jadi mereka sering berkumpul bersama. Tambahan lagi, Santika juga satu grup pecinta alam dengan sepupu Via itu.

“Kamu baru dateng pagi ini?” tanya Mona.

Via mengangguk. “Lebih tepatnya, siang ini kami sampai di sini. Pandu juga ikut, malah berombongan sama temen-temennya. Mereka tinggalnya di rumah sebelah. He! Panjang umur, itu orangnya.”

“Hai!” seru Mona seraya melambaikan tangan pada remaja bertubuh bongsor yang berjalan ke arahnya itu. “Ini beneran Pandu?” bisiknya kaget.

“Hai, Mbak Mona,” sapa Pandu dengan cengiran khasnya.

“Kamu, kok, tinggi banget sekarang?” Mona sampai harus mendongak untuk menatap sepupunya itu, padahal teras rumah tempatnya duduk sudah cukup tinggi. “Kita terakhir ketemu, tuh ... Lebaran tahun kapan, ya? Bukan tahun lalu, apa tahun lalunya lagi?”

“Bukan, bukan tiga tahun terakhir, yang jelas,” sahut Via sambil berpikir-pikir, pandangannya mengawasi Pandu. “Waktu itu ....”

“Ng, waktu itu aku kelas dua SMP, Mbak,” ujar Pandu.

“Cowok itu kecepatan pertumbuhannya mengerikan, ya,” canda Mona pada Via, yang ikut tertawa. “Gimana ujiannya kemarin, Ndu?” tanya Mona lagi.

Pandu nyengir salah tingkah. “Yaa ... begitulah, Mbak,” jawabnya menghindar.

“Hayoo, kamu belajar atau main? Hahaha,” goda Mona.

Pandu hanya cengar-cengir. Sebetulnya dia merasa cukup bisa mengerjakan, tak seperti beberapa teman yang mengeluhkan bejibunnya jumlah variasi paket soal UN tahun ini—dua puluh paket! Empat kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya! Menurut Pandu sendiri, sih, kalau memang belajar dengan benar, maka perkara jumlah paket soal harusnya nggak jadi masalah, ‘kan? Namun, Pandu diam saja, tak mau dibilang sombong. Lagipula, selain kemampuan akademik, itu berhubungan dengan tingkat kejujuran masing-masing. Pandu, yang sekali lagi suka mengutip dari buku filsafat ayahnya, ingat ada pepatah memento mori: ingatlah akan kematian. Saat mati nanti, gimana dong kalau dia ditanya malaikat: pernah nyontek, nggak, waktu ujian? Pandu, sih, maunya nabung amal saja, bukan nabung dosa.

Mona melanjutkan, “Kata Via, kamu bawa pasukan ke sini?”

“Hehe, iya, Mbak. Mereka maksa ikut. Katanya, mau lihat rumahnya almarhum Mbah Maridjan. Mau uji nyali, tapi ternyata nggak jadi,” sahut Pandu.

“Hoo, mau ke situ. Itu, ‘kan, daerah Sleman. Sebetulnya dekat, lho. Kenapa nggak jadi?”

“Eh. Maksudku, kami jadi pergi ke sana, Mbak. Sudah tadi pagi.”

“Terus apanya yang ‘nggak jadi’? Uji nyalinya? Salah sendiri ke sana pagi-pagi. Uji nyali itu, ‘kan, serunya kalau malam.”

“Nah, itu dia, Mbak. Rumahnya Mbah Maridjan sekarang sudah jadi objek wisata, ada petugas yang jaga, dan setelah jam enam sore ditutup untuk umum ....”

Berkata seperti itu pun, Pandu nggak tampak kecewa. Jelas, ‘kan, yang ingin uji nyali ke rumah itu bukan dirinya!

“Oh, gitu ... puk-puk,” gurau Mona sambil menepuk lengan Pandu seolah menghibur. Dia tahu Pandu pasti punya alasan lain untuk berlibur ke Merapi. Anak itu nggak pernah meminta sesuatu yang tak perlu. Itulah satu hal yang disukainya dari sepupunya yang lebih muda itu.

“Jadi, kamu ikut Mbak Via ke sini untuk ...?” tanyanya dengan nada menggantung.

“Ketemu Bapak sama Ibu,” jawab Pandu.

Mona mengerutkan dahi keheranan. Setahunya, baik Via maupun Pandu memanggil orang tua mereka dengan sebutan “Papa-Mama”, dan bukankah mereka tinggal serumah dengan orang tua?

Via segera menjelaskan, “Keluarganya Pandu waktu live in dulu, Mon.”

“Oh ... yang waktu kamu kelas tiga SMP itu ya?” gumam Mona.

“Iya, Mbak.”

Mona mengangguk-angguk. “Bagus, tuh. Kamu masih inget sama mereka.”

Via menimpali, “Pandu nggak mungkin lupa. Mereka baik banget, Mon. Waktu itu Pandu—”

“Ah, Mbak Via seneng banget cerita tentang itu,” potong Pandu, pura-pura kesal. “Aku ke dalem dulu ya, Mbak. Sebentar lagi mau jalan-jalan sama temen-temen.”

“Oke.”

“Ya, sana.”

*

“Tahu gini, ‘kan, tadi kita minta dianter aja,” keluh Gita. Untuk yang kesekian kalinya ia berhenti dan mengurut betisnya yang pegal. “Haaah, capek banget! Mana sendalku kemasukan pasir terus dari tadi! Emang rumahnya yang sebelah mana, sih?”

“Seingatku daerah sini,” sahut Pandu sambil mengayunkan tangan kirinya dengan asal. Tangan satunya membawa kresek berisi serabi khas Solo.

“Pulang aja, yuk,” ajak Angga. Remaja bertubuh gempal itu terengah-engah, wajahnya mandi keringat. “Besok pagi aja kita cari lagi.”

“Terus, sia-sia dong, aku beli serabi. ‘Kan, nggak awet sampai besok,” ujar Pandu.

“Habis, gimana lagi? Nanti malam kita makan sendiri aja, biar nggak mubazir,” sahut Angga sambil meregangkan tubuh sementara Gita berjongkok lalu melepas sebelah alas kakinya dan mengetuk-ngetuk agar pasirnya keluar.

“Kayaknya kamu nggak yakin kamu inget rumahnya, Ndu?” Reni berujar dengan tangan dilipat di depan dada.

“Yaa, ‘kan, udah tiga setengah tahun berlalu,” sahut Pandu membela diri. Ia menunjuk. “Seingetku di deket rumah ada taman kecil kayak gini.”

Saat itu, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah terdekat. “Nggoleki apa, Dhek?”[1] serunya kepada keempat remaja itu. Mereka semua menoleh ke sumber suara.

Pandu menjawab dengan sopan, “Nuwun sewu, dalemipun Pak Suwardi pundi, Bu?”[2]

Oo, griyanipun Pak Wardi tho. Ingkang punika,” [3] sahut ibu itu sambil menunjuk rumah kedua dari ujung pertigaan. Posisinya agak serong ke arah berlawanan dari rumah sang ibu.

“Lah. Yang itu, toh,” gumam Reni. “Tadi kita lewat-lewat aja.” Rumah yang dimaksud ada di sebelah kanan jalan dari arah kedatangan mereka. Tempat itu merupakan dusun yang berbeda dengan tempat tinggal keluarga Gilang di mana mereka menginap dan mereka tadi berangkat ke sini hanya mengandalkan ingatan Pandu—yang perlu dipertanyakan akurasinya—tapi tanggapan si ibu-ibu yang agaknya warga setempat itu menunjukkan bahwa setidaknya Pandu ada benarnya.

Matur nuwun nggih, Bu,”[4] ujar Pandu cepat. Ia sudah hampir beranjak, namun kalimat si ibu berikutnya membuat Pandu terkejut.

Pak Wardi ‘pun pindah, Dhek.”[5]

“Pindah?”

*

Rumah yang ditunjuk itu memang sedang kosong, tapi tampak dihuni, karena dari jendela tanpa kacanya dapat terlihat bagian dalam ruangan yang setengah penuh oleh perabot. Apalagi di atas sebuah meja kecil terdapat beberapa kaleng biskuit dan sebungkus roti yang sudah terbuka.

“Memang ini rumahnya,” gumam Pandu, pandangannya menerawang pada selasar rumah. “Ada yang tinggal di sini setelah keluarga Pak Wardi pindah.”

“Satu orang, kali?” kata Reni. “Mebelnya cuma dikit.” Diamatinya halaman rumah itu. “Orang ini juga nggak telaten dengan rumahnya. Lihat, tuh. Ilalangnya tumbuh subur.”

“Yah, bener,” sahut Pandu. Ia menghela napas, kali ini benar-benar tampak kecewa.

“Gagal total semua rencana liburan kita!” keluh Angga. “Rumah Mbah Maridjan ternyata bikin kecewa, dan sekarang nggak ada reuni kayak yang diharapkan.”

Menurut Bu Djumali, ibu yang menanggapi mereka tadi, keluarga Pak Wardi pindah ke Semarang saat Merapi meletus tahun 2010. Salah satu putra mereka yang sudah berkeluarga tinggal di sana. Bu Djumali tidak tahu persis di Semarang bagian mana rumah putra Pak Wardi itu, dan dahulu mereka belum memiliki telepon seluler seperti kebanyakan penduduk lereng Merapi sekarang.

Mendengarkan penuturan Bu Djumali, bahu Pandu merosot, wajahnya memurung. Dia benar-benar tidak bisa bertemu dengan keluarga itu lagi. Setelah pamit, keempat sekawan itu kembali ke jalan setapak. Pandu berjalan paling belakang dengan langkah gontai.

“Besok, kita naik gunung aja,” usul Reni, berusaha mengalihkan pikiran Pandu karena kasihan. Pemandangan cowok yang biasanya bersemangat itu lesu begini sangat tidak biasa. “Tadi sepupumu itu nawarin, ‘kan, Ndu?”

“Haah,” keluh Gita. “Jangan besok, please! Kakiku pegel banget!”

“Aku juga nggak mau kalau besok,” timpal Angga tanpa mengakui dirinya keberatan badan.

Reni yang gemas karena dua kawannya tidak mendukung niatnya melontarkan komentar pedas,

“Kalian ini ... sekali-kali olahraga, Git! Jangan duduk terus mainan HP! Kamu juga, Ngga, naik gunung, lah, biar kamu agak kurusan!”

Angga dan Gita, seolah melupakan perseteruan perkara anime yang sudah-sudah, mengeluh dengan kompak.

Tiba-tiba, ada suara yang berseru-seru dengan logat khas,

“Ame ... benar Ame, ya?”

Hampir serempak, keempatnya menoleh ke sumber suara saking lantangnya.

Seorang remaja laki-laki seusia mereka, berambut keriting dan berkulit hitam, berdiri beberapa meter di belakang mereka.

“Ame?” ulangnya, pandangan tertambat pada Gita.

“Evan?” celetuk yang merasa dipanggil, tak yakin.

Remaja asing itu mengangguk dengan semangat. Ekspresi Gita berubah dan ia berlari mendekat.

“... Ame?” bisik Angga terheran-heran, alisnya berkerut sambil bertukar pandang dengan Pandu yang tak kalah herannya. Ekspresi Reni juga tak jauh berbeda.

Gita dan cowok itu berpelukan sambil tertawa lepas. Keduanya saling menepuk punggung dengan girang.

“Tambah hitam aja, kamu,” gurau Gita.

“Kamu tambah gendut,” balas si remaja laki-laki.

“Dasar!” Gita mendorong lawan bicaranya sambil terkekeh. “Sekarang kamu sekolah di mana?”

Sa[6] masuk Seminari Mertoyudan Magelang, Me.”

“Wah, seminari? Cocok, cocok. Dulu, kamu, ‘kan, murid kesayangannya Romo Yohanes.”

“Hahaha, bisa jadi.”

Su bisa ngomong Jawa ko?”[7]

Sonde.”[8]

Keduanya tertawa lagi. Saat itu, Gita menyadari bahwa ketiga temannya berdiri canggung seperti patung di belakangnya.

“Ehm ... temen-temen, ini Evan, sahabatku waktu SD.” Gita memperkenalkan anak laki-laki itu. Evan tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapi yang putih berseri.

“Van, ini teman-temanku di SMA,” lanjut Gita, menunjuk kawannya satu per satu, “Pandu, Angga, dan Reni.”

“Hai.”

“Halo.”

“Salam kenal.”

Sepertinya ada reuni dadakan yang tak diduga namun sama manisnya.

***

[1] Bahasa Jawa: Mencari apa, Dik?

[2] Bahasa Jawa Kromo: Maaf, rumahnya Pak Suwardi (ada di) mana, Bu? – yang disebutkan Pandu kurang lengkap.

[3] Bahasa Jawa Kromo: Oo, rumahnya Pak Wardi. Yang itu (rumahnya).

[4] Bahasa Jawa Kromo: Terima kasih ya, Bu.

[5] Bahasa Jawa Kromo: Pak Wardi (su-)dah pindah, Dik.

[6] Bahasa NTT khas Sumba: Saya.

[7] Bahasa NTT: Sudah bisa ngomong (bahasa) Jawa, kamu?

[8] Bahasa NTT: Tidak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
SHADOW
4809      1582     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.
Zona Elegi
374      253     0     
Inspirational
Tertimpa rumor tak sedap soal pekerjaannya, Hans terpaksa berhenti mengabadikan momen-momen pernikahan dan banting setir jadi fotografer di rumah duka. Hans kemudian berjumpa dengan Ellie, gadis yang menurutnya menyebalkan dan super idealis. Janji pada sang nenek mengantar Ellie menekuni pekerjaan sebagai perias jenazah, profesi yang ditakuti banyak orang. Sama-sama bekerja di rumah duka, Hans...
Bloody Autumn: Genocide in Thames
8793      2006     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Trick or Treat!
685      400     2     
Short Story
Malam Halloween ... saatnya untuk "Trick or Treat!"
Memories About Him
3407      1608     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Love Like Lemonade
3633      1351     3     
Romance
Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa kampus! Jadilah mereka musuh bebuyutan. Di mana ada Alvin, itulah saat paling buruk untuk Vanta. Neraka bagi cewek itu. Bagaimana tidak? Cowok bernama Alvin Geraldy selalu melakukan segala cara untuk membalas Vanta. Tidak pernah kehabisan akal...
Snazzy Girl O Mine
516      323     1     
Romance
Seorang gadis tampak berseri-seri tetapi seperti siput, merangkak perlahan, bertemu dengan seorang pria yang cekatan, seperti singa. Di dunia ini, ada cinta yang indah dimana dua orang saling memahami, ketika dipertemukan kembali setelah beberapa tahun. Hari itu, mereka berdiam diri di alun-alun kota. Vino berkata, Aku mempunyai harapan saat kita melihat pesta kembang api bersama di kota. ...
Mysterious Call
460      302     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
F I R D A U S
650      430     0     
Fantasy
Of Girls and Glory
3270      1432     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...