Suasana hening. Malam mempunyai cara sendiri untuk menentramkan hati manusia dengan kegelapannya. Namun deru kendaraan merusak keheningan. Dari kejauhan terdengar deru knalpot anak-anak motor yang mungkin sedang ngetrek di jembatan layang Pasupati pukul dua belas malam tepat.
Operasi kuretase telah selesai. Ratri telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Namun, masih belum sadar. Sedangkan Bu Farida masih berada di ruang ICU. Yudis semakin cemas dengan kondisi ibu dan istrinya. Dia terus bolak balik antara Ruang ICU dan ruangan tempat Ratri tergolek lemas. Berkali-kali juga ia mengutuk kebodohannya sendiri.
“Aku! Akulah yang paling bersalah atas semua ini!” gerutunya.
Dipandanginya wajah pucat Ratri yang terpejam tenang. Selang infus tersambung dari tangan pada sebuah tabung, tetesanya bagai air mata Yudis yang terus menetes membasahi pipi, mengalir dan bermuara pada sepasang bibir coklat yang tak henti berzikir kepada Ilahi Robbi.
Sementara itu Bu Farida sudah sadar. Namun, masih belum dapat bicara. Kondisinya masih sangat lemah. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak seperti tengah mencari seseorang. Mulutnya bergerak seperti hendak berkata-kata. Tante Diana segera memegang tangannya.
“Yudis sedang menunggui Ratri, Teh,” lirih Tante Diana. Bu Nining duduk di sampingnya.
Bu Farida menatap lelah. Dari sudut matanya mengalir air mata.
“Jangan berpikir apa-apa dulu, Teh. Sebaiknya Teteh zikir aja biar hatinya tenang. Kita pasrahkan semua yang terjadi hanya kepada-Nya Sang pemilik segala rahasia.” Tante Diana berusaha menguatkan.
“Apa tidak sebaiknya Yudis dikasih tahu dulu, Bu,” ujar Bu Nining.
Bu Farida mengangguk pelan tanda setuju dengan apa yang dikatakan Bu Nining.
“Kalau begitu biar saya yang panggil Yudis,” sahut Tante Dian.
Tanpa menunggu jawaban, Tante Diana segera keluar dari dalam ruangan menuju ke tempat di mana Ratri dirawat.
Yudis yang sedang duduk di samping Ratri bersama Dewanti dan kedua orang tua Ratri sangat senang mendengar bahwa Bu Farida telah sadar. Setelah minta izin kepada Ustad Suhada dan Umi Siti, ia segera menemui ibunya. Namun, sebelum keluar ia sempat mengusap kening Ratri terlebih dahulu dan itu membuat hati Dewanti panas.
Yudis langsung menciumi tangan Bu Farida. Air mata seolah tiada pernah kering membasahi tangan Bu Farida. Hatinya menjerit memohon kepada Allah agar ibunya diberikan umur yang panjang untuk sekadar mengecap kebahagiaan setelah apa yang dialami.
“Maafkan Yudis, Bu. Hingga detik ini Yudis belum bisa bahagiakan ibu. Bahkan malah semakin membuat ibu semakin bersedih,” ucapnya lirih.
Tangan Bu Farida yang masih lemah terlihat bergerak pelan mengusap kepala putranya itu. Namun, belum mampu berkata-kata. Hanya air mata yang bicara tentang semua. Mungkin ada juga rasa bersalah dalam hati Bu Farida karena dialah yang menjodohkan Yudis dengan Ratri.
Suasana dalam ruangan begitu hening. Hanya isak Yudis yang terdengar bersama deru kendaraan dari kejauhan. Dewanti memegang bahu Yudis. Mencoba memberi kekuatan. Biar bagaimana pun, cintanya kepada Yudis masih tersimpan rapi dalam sanubari tersunyi.
Seorang perawat masuk. Ia minta izin untuk memeriksa keadaan Bu Farida sekaligus memberi obat. Selang beberapa saat, Bu Farida kembali terpejam tenang. Yudis menghela napas dalam. Ia memandang Dewanti dengan tatapan luka. Lagi-lagi Dewanti hanya mampu berkata melalui tatapan. Tak tahu harus berkata apa.
Malam meremang ketika secarik fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Azan subuh berkumadang seperti sebuah simfoni pertanda dimulainya opera akbar kehidupan. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan. Bunyi klakson terdengar ramai ketika kendaraan sedikit tersendat. Bandung mulai menyibukan diri.
Ustad Suhada dan Umi Siti salat bergiliran. Wajah Umi Siti sangat sendu. Airmatanya kembali berderai ketika mengangkat dua telapak tangan. Berdoa kepada Sang Pemilik Jagat untuk kesehatan putrinya. Seperti mimpi rasanya jika mengingat semua yang dialami putrinya. Namun, demikianlah fakta mengatakan. Umi Siti hanya bisa bertawakal apa pun yang akan terjadi kepada putrinya.
Ia sangat yakin, Allah Maha Adil dan Bijaksana. Di balik semua musibah, pastilah ada hikmah yang tersimpan di dalamnya bagi orang-orang yang bertakwa. Bahkan andai Yudis menceraikan putrinya pun ia akan menerima dengan lapang dada dan akan meyakinkan Ratri bahwa suatu hari, kebahagiaan hakiki akan datang menghampiri.
Usai salat Ustad Suhada keluar membeli sarapan untuk istrinya. Umi Siti menunggui Ratri. Tangannya tak pernah lepas dari jemari Ratri. Berharap kehangatan kasihnya dapat dirasakan oleh Ratri. Lalu dikecupnya kening Ratri dengan lembut. Suaranya yang sedingin embusan angin pagi ini berkali-kali menyebut Asma Allah. Tak henti-henti hatinya berdoa. Sebab hanya itulah yang bisa dilakukannya.
***