Matahari terus berjalan dari timur ke barat dan akan terus begitu hingga datang hari kiamat. Jarum jam dinding terus berputar tiada lelah menemani Ratri mengolah derita menjadi air mata.
Hari-harinya terasa sangat berat. Beban derita seolah tak pernah klimaks. Sementara Yudis semakin tak acuh padanya. Tak heran jika ada yang berubah dalam diri Ratri, kini ia terlihat lebih kurus. Betapa tidak, hari-harinya hanya diisi dengan airmata derita. Ratri sudah kehilangan nafsu makan juga tak pernah tidur lelap. Masalah yang kini menimpanya benar-benar menguras pikiran dan air mata.
Sedang Yudis berlari dari masalah dengan menuangkannya melalui lukisan. Porsi rokoknya pun sangat tak biasa, ia bisa menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam sehari semalam. Belum lagi minuman berenergi dan minuman bersoda. Bibirnya semakin gelap. Matanya yang dulu tajam kini selalu terlihat lelah. Namun selalu beringas, ketika menatap Ratri.
Sore itu, keluarga Yudis telah berkumpul hendak menghadiri acara syukuran empat bulanan kehamilan istri Rio. Tante Diana dan Om Syam sepertinya mulai bisa menerima Rio karena ternyata Rio yang disangkanya begundal, kini menjadi seorang pria dewasa yang penuh tanggung jawab dan mandiri. Masa lalunya yang penuh pertentangan dengan jalan kehidupan, ia jadikan pelajaran.
Bu Farida terlihat segar. Dengan gaun muslimahnya, ia terlihat anggun sebagai seorang wanita dewasa yang bijaksana. Ratri pun ada di antara mereka. Mungkin karena Ratri selalu memakai baju yang serba longgar, mereka tak melihat perubahan tubuh Ratri yang makin kurus. Perutnya pun terlihat normal. Andai Ratri memakai baju sedikit ketat, pastilah semua tahu kalau tubuh Ratri kini sangat kurus dengan perut sedikt buncit. Tapi andai semua memperhatikan mata Ratri, garis hitam di bawah kelopak matanya itu bukanlah celak, melainkan garis kesedihan dan kelelahan.
“Yudis lagi ngapain sih, Neng. Lama banget dandannya kaya perempuan aja,” seru Bu Farida.
“Tadi sih, sedang mandi, Bu,” jawab Ratri.
“Coba Neng lihat, takutnya dia malah tidur lagi,” sahut Bu Farida.
“Iya Bu,” singkat Ratri.
Ratri segera masuk dan langsung menuju ke kamar. Pintu kamar tertutup. Namun, Ratri dapat menendengar Yudis sedang terbatuk-batuk. Setelah beberapa kali mengucap salam namun tak dijawab, Ratri pun memutuskan untuk masuk. Dalam kamar, Yudis sedang duduk di tepian tempat tidur sambil terbatuk-batuk. Ratri pun mendekatinya.
“Ditunggu sama ibu, Aa …,” ucap Ratri pelan. Namun Yudis tak menjawab. Kedua tangannya menutupi mulut sambil terbatuk-batuk. Ratri pun semakin mendekatinya.
“Aa Yudis sakit?” tanya Ratri lagi, tetap lembut. Biar bagaimanapun Yudis adalah suaminya. Namun baru saja Ratri mencoba duduk di sampingnya.
“Pergi sana perempuan pendusta!” Bentak Yudis sambil mendorong Ratri sangat kuat tepat di bagian perutnya. Tak ayal lagi, Ratri langsung terjungkal hampir saja telentang andai ia tak menahan dengan kedua tangannya. Namun, anehnya Ratri tak sedikit pun mengeluarkan suara, apalagi berteriak. Sambil meringis memegangi perut, Ratri pun mencoba bangkit.
“Terima kasih Aa, Neng akan sangat senang jika Aa Yudis membunuh Neng karena hanya kematian yang dapat membebaskan beban derita ini. Namun, temuilah ibu. Beliau sangat menyayangi Aa.” Kata-kata Ratri terdengar putus asa. Namun amarah dalam dada Yudis terlalu panas hingga tak mampu untuk didinginkan.
Yudis pun berdiri. Melempar sapun tangan yang dipegangnya ke atas bantal. Lalu keluar dari kamar setelah menyambar syal yang tersampir dan segera dibelitkan di lehernya tanpa peduli kepada Ratri yang sedang meringis kesakitan memegangi perutnya.
Ratri menarik napas dalam. Ia pun mendekati cermin dan membetulkan kerudungnya yang sedikit kusut. Dia pun duduk di tepian tempat tidur. Memandangi wajahnya pada cermin. Kemudian tersenyum getir. Namun, seketika mata Ratri menatap noda merah dilantai kamar.
“Darah!” desahnya. Tanpa diminta matanya pun menoleh kepada sapu tangan yang dilemparkan tadi oleh Yudis, ia pun mengambilnya.
“Aa Yudis!” Ratri berseru ketika melihat noda darah pada saputangan itu.
“Aa Yudis kenapa?” tanyanya dalam hati. Sebelum tanya hatinya terjawab, di luar terdengar suara mobil dinyalakan. Ratri pun segera keluar dari kamar. Sapu tangan itu, ia simpan di pojok kamar.
“Ayo Neng!” seru Bu Farida ketika melihat Ratri datang.
Ratri hanya mengangguk. Pikirannya terus dilanda kecemasan kepada Yudis. Ia takut terjadi apa-apa pada suaminya itu. Sebab jika sampai Yudis kenapa-kenapa, Ratrilah yang patut disalahkan.
Om Syam dan Tante Diana sudah melajukan mobilnya keluar dari halaman. Ratri pun di gandeng Bu Farida menuju mobil. Yudis telah duduk di belakang setir. Ratri dan Bu Farida duduk di belakang. Yudis berpesan kepada Bi Nengsih dan Mang Dadang agar mengunci pintu pagar setelah dia keluar dari rumah. Bi Nengsih hanya mengangguk. Yudis pun mulai menginjak pedal gas. Mercy hitam mengkilat itu pun melaju tenang keluar dari halaman. Bi Nengsih pun segara menutup kembali pintu pagar dan menguncinya.
***