Bersamaan dengan itu masuk Dokter Ariny yang sejak dulu memang selalu menangani penyakit Bu Farida. Yudis dan Ratri mundur memberi keleluasaan kepada Dokter Ariny.
“Sudah Bangun, Bu. Apa yang ibu rasakan sekarang?” tanya Dokter Ariny segera sambil memeriksa detak jantung Bu Farida.
“Alhamdulillah lebih baik, Dok,” jawab Bu Farida.
“Berapa lama ibu tidak minum obat?”tanya Dokter Ariny
“Dua minggu, Dok,” jawab Bu Farida.
“Kalau Ibu mau sehat sepenuhnya, jangan berhenti minum obat sebelum saya suruh berhenti ya, juga jaga pola makan.” Dokter Ariny mengingatkan
“Iya, Dok,” jawab Bu Farida.
Dokter Ariny menoleh kepada Yudis. “Pak Yudis juga sebaiknya berperan aktif untuk mengingatkan Bu Farida ya.”
“Iya Dok. Akhir-akhir ini saya memang agak sibuk,” jawab Yudis. Sementara Ratri hanya menunduk.
“Untuk beberapa hari ini, biar Bu Farida dirawat dulu. Jika hingga dua hari jantung Bu Farida tak kambuh lagi, baru saya izinkan pulang.”
“Terserah Dokter saja. Saya percayakan semua yang terbaik kepada Dokter.” Yudis menyerahkan semua urusan ibunya pada Dokter Ariny.
“Ya sudah. Saya pamit dulu.” Dokter Ariny pamit dan segera keluar dari ruangan .
Berselang beberapa menit, seorang perawat masuk membawa sarapan untuk Bu Farida. Ratri segera menyuapi Bu Farida. Setelah sarapan, Ratri pun menyeka tubuh Bu Farida dengan kain halus yang dicelupkan air hangat. Sementara itu Yudis hanya diam melihat semua itu. Semua kebaikan Ratri tak ada artinya di mata Yudis kini. Usai minum obat, Bu Farida pun kembali tertidur.
Pukul sepuluh pagi, Tante Diana dan Om Syam pun datang menengok. Begitu pun dengan Ustad Suhada dan Umi Siti. Mereka semua sama-sama mencemaskan Bu Farida. Tapi setelah Yudis mengatakan bahwa ibunya tidak apa-apa, mereka semua pun kembali bernapas lega. Di depan orang lain, Yudis dan Ratri tidak menandakan hubungan mereka sedang digoncang masalah besar.
“O iya. Kamu sudah tahu belum kalau kehamilan istrinya si Rio sudah mau empat bulan, Yudis?” tanya Om Syam.
“Hebat banget si Rio, kawin baru satu bulan udah hamil empat bulan.” Yudis terdengar ketus.
“Yah, mau gimana lagi, Yudis. Yang penting sekarang Rio menjadi lebih baik. Ia rajin bekerja. Bahkan mau menjadi seorang kuli hanya untuk menafkahi anak dan istrinya. Padahal sudah tante bilang kalau butuh apa-apa tinggal ngomong saja sama Tante.” Tante Diana menimpal.
“Benar, Tante Diana. Semua orang pasti punya masa lalu dan pernah berbuat salah. yang penting, apakah orang itu semakin baik dan tidak setelah melakukan kesalahan itu,” ucap Umi Siti menimpal.
Yudis terdiam. Ratri menunduk.
“Lalu kapan syukuran empat bulananya, Dian?” tanya Bu Farida.
“Satu mingguan lagi, kita ke sana ya, Teh. Neng Ratri dan kamu juga harus ikut, Yudis!” seru Tante Diana.
“Tentu dong, Dian. Anakmu adalah anakku. Cucumu juga cucuku,” sahut Bu Farida.
“Tapi ini bukan cucumu, Bu,” lirih Ratri dalam hati. Hampir saja airmatanya tumpah.
Semua tersenyum bahagia mendengar penuturan Bu Farida yang penuh kebijakan. Kecuali Yudis. Ia tersenyum getir. Dalam hatinya ia menyumpahi Ratri yang telah menipu dia dan ibunya. Ingin sekali dia berteriak bahwa janin dalam rahim Ratri bukan anaknya. “Ratri seorang pezina.” Namun, sekuat tenaga ia menahan gejolak amarahnya.
Hari beranjak siang. Di kota apapun matahari tetaplah matahari. Yang membedakan panasnya adalah kondisi alam kota tersebut. Seperti musibah atau ujian yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Semua sama, menyakitkan. Yang membedakan adalah kondisi keimanan dalam dada setiap manusia.
Ratri dengan setia menunggui Bu Farida. Sedang Yudis hanya sesekali saja. Ia terus menghindar untuk bersama dengan Ratri. Ia tak mau berbuat kasar kepada Ratri di depan ibunya. Bu Farida mulai bertanya-tanya dalam hatinya melihat Ratri dan Yudis yang tak semesra biasanya.
Setelah dua hari menginap di Rumah Sakit, Bu Farida diizinkan pulang. Kondisinya terlihat semakin membaik. Meski harus terus mengkonsumsi obat-obatan. Pukul dua belas siang, mereka sudah kembali berada di rumah di jalan Cihanjuang. Tante Diana pun terlihat datang beberapa menit kemudian.
***