Pagi sekali Dewanti telah bangun dan segera turun ke bawah meskipun dengan sedikit susah. Dewanti bukan gadis manja yang selalu senang bergantung terhadap bantuan orang lain. Ia menghapiri orangtuanya yang sedang duduk berdampingan sambil menonton tv.
“Loh ... kenapa tidak manggil Mama, De. Bagaimana kalau kamu jatuh!” seru Bu Nining cemas.
“Tapi aku baik-baik saja kan Ma,” jawab Dewanti tenang setelah duduk di antara kedua orangtuanya. Pak Jovan langsung memeluk bahu Dewanti.
“Mama bawel ya, De!” seru Pak Jovan.
“Banget, Pa,” sahut Dewanti sambil memeluk ibunya.
“Hmm ... lagi-lagi Mama yang disalahin.” Bu Nining cemberut. Rupanya kemanjaan Dewanti memang diturunkan oleh ibunya. Sedang dalam fisik, Dewanti lebih cendrung ke Pak Jovan. Terutama kulit dan sepasang mata coklatnya.
“Mau Mama bikinin susu nggak?”tanya Bu Nining.
“Ish ... emangnya aku anak kecil apa pagi-pagi minum susu?”
Pak Jovan tersenyum. “Iya nih Mama, anak kita kan udah gede, masa minum susu.”
“Hadeeh … bapak sama anak paling kompak ya kalau sudah ngeledek Mama.”
Mereka tertawa bersama.
Pagi yang indah. Matahari bersinar terang. Seterang wajah Bu Nining dan Pak Jovan yang bahagia melihat senyum putri semata wayangnya. Usai sarapan mereka melanjutkan canda tawa di teras rumah sambil menikmati hangatnya mentari pagi. Dewanti sengaja duduk di teras menjemur kedua kakinya. Biar cepet sembuh katanya. Pak Jovan dan Bu Nining pun mengikutinya. Mereka menjelepok di lantai.
“O iya, Mama mau tanya, De,” ucap Bu Nining.
“Apa Ma?”
“Bagaimana pendapatmu tentang Dokter Bagas?”
Dewanti menatap wajah Mama dan Papanya sekilas. Kemudian kembali memandanginya kakinya.
“Kok diam, De?” tanya Pak Jovan.
“Aku sependapat sama Papa dan Mama,” jawab Dewanti.
“Tapi kan Papa dan Mama belum berpendapat!” sahut Pak Jovan sedikit heran.
“Iyaaa, tapi dari sorot mata Mama dan Papa aku bisa membaca bagaimana Dokter Bagas di mata Mama dan Papa.” Sungguh jawaban yang cerdas. Membuat Pak Jovan dan Bu Nining lagsung terdiam.
“Kok diam sih! Ngomong aja nggak usah sungkan begitu. Kita kan udah kenal lama,” kata Dewanti diikutin tawa kecil.
Pak Jovan dan Bu Nining pun tertawa. Hampir bersamaan mereka mengelus kepala Dewanti. “Kamu benar-benar cerdas, De.”
Dewanti mengangkat dagunya, matanya dikedip-kedipkan. “Jangan lupa, aku juga cantik loh …,” katanya membuat kedua orangtuanya semakin gemas.
“Iyaa ... kamu memang cantik, lucu dan cerdas, tak heran jika Dokter Bagas jatuh hati kepadamu,” sahut Bu Nining seolah mendapat jalan untuk membicarakan hal pokok.
“Itu juga aku tahu. Tapi aku malas pacaran. Aku kapok! Buat apa pacaran jika hanya untuk berpisah. Buat apa cinta jika akhirnya menderita,” jawab Dewanti.
Pak Jovan kembali mengelus kepala putrinya.” Tapi kan, nggak akan selamanya kita kecewa. Terkadang Tuhan memang memberikan kita suatu pelajaran agar kita mengetahui kebenaran. Begitu pun dengan cinta. Terkadang Tuhan memberikan kita orang yang salah agar kita bertemu dengan orang yang tepat.”
“Ciee. Papaku ternyata pintar merangkai kata juga,” ucap Dewanti meledek.
“Papa serius, De.”
“Jangan serius-serius ah, bete,” sahut Dewanti. “Atau Begini saja, bilang sama Dokter Bagas, jika dia benar-benar cinta dan sayang sama aku, dia berani nggak langsung nikah!” seru Dewanti.
“Kamu serius, De!” Bu Nining seolah tak percaya mendengar kata-kata putrinya.
“Menurut Mama aku serius atau becanda atau Mama mau lihat aku kecewa lagi!”
Bu Nining dan Pak Jovan langsung terdiam. Rasa bersalah kembali terasa. “Maafkan Papa dan Mama De. Karena Papa dan Mama kamu mengalami semua ini.”
“Apa aku pernah menyalahkan Papa dan Mama? Nggak kan! Lagi pula aku sudah ikhlas kok.”
“Tapi apa keputusanmu ini tidak terlalu tergesa-gesa, De?” Pak Jovan menatap dalam putrinya.
“Dewanti hanya ingin tahu, sampai di mana keseriusan Dokter Bagas, Pa. Jika dia tak bersedia, berarti dia itu cuma main-main. Buat apa juga? Lebih baik sendiri dulu, sambil menanti pria yang benar-benar tepat.” Lagi-lagi Dewanti menunjukan kecerdasan dan ketegasannya.
“Baiklah, Nanti Papa akan bilang sama dokter Bagas. Karena apa yang kamu katakan memang benar. Papa juga tak ingin kamu tersakiti lagi seperti yang telah Yudis perbuat sama kamu.”
“Papa lupa ya. kalau Yudis sebenarnya ingin segera menikah tapi Papa dan Mama melarang Dewanti. Jadi kejadian kemarin bukan semata kesalahan Yudis, Pa.”
Pak Jovan dibuat diam oleh Dewanti. Sementara matahari kian meninggi. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Dewanti langsung masuk kamar. Seperti biasa, setelah minum obat ia selalu tidur dan biasanya juga baru terbangun tengah hari. Sedang Pak Jovan pergi keluar karena harus ada yang diselesaikan. Sementara Bu Nining segera memasak untuk makan siang dibantu oleh pembatunya.
Sore hari, ketika Dewanti dan kedua orangtuanya sedang asik membahas tentang keluarganya di Bandung yang akan mengadakan acara syukuran empat bulanan, Dokter Bagas datang. Kedatangannya kali ini sambil membawa seikat bunga. Tentu saja disambut dengan ramah oleh Pak Jovan dan Bu Nining. Sedang Dewanti hanya tersenyum. Sebenarnya, hati Dewanti belum sedikit pun merasaan cinta kepada Dokter Bagas. Keputusannya lebih karena ia putus asa dan takut kecewa kembali dengan seorang pria. Makanya ia mengambil keputusan dalam hidupnya, siapa pun yang melamarnya untuk menikah akan ia terima.
Pak Jovan segara mengatakan apa yang tadi pagi dibicarakan dengan Dewanti. Dan, Sesuai dugaan Bu Nining sebelumnya, Dokter Bagas menyanggupinya. Tentu saja ini merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Bu Nining dan Pak Jovan karena putrinya akan menikah dengan seorang dokter. Tapi anehnya, Dewanti tak merasakan kebahagaian, meskipun ia tetap bersyukur karena sebentar lagi ia akan melepas masa lajangnya. Sedang untuk waktunya akan dibicarakan kemudian antara orangtua.
“O iya Nak Bagas, minggu depan ikut ya ke Bandung, sekalian kenalan sama Buliknya Dewanti,” seru Bu Nining setelah kesepakatan tentang Bagas dan Dewanti diambil.
“Memangnya ada acara apa? Kalau hari minggu saya bisa. Tapi selain hari minggu saya nggak tahu soalnya tahu sendirilah kerjaan saya.” Nada suara Bagas sedikit angkuh.
“Itu, Buliknya Dewanti ngadain acara syukuran empat bulanan kehamilan putrinya. Dan memang acaranya minggu malam,” Bu Nining yang menjawab.
“Iya Kak, ikut ya. Sekalian di sana nanti antar Dewanti keliling Bandung. Udah lama soalnya nggak main ke Bandung.”
“Jangankan kota Bandung. Keliling dunia juga Kak Bagas anterin.” Bagas tersenyum bangga.
“Kalau itu nanti saja, setelah nikah,” jawab Dewanti kalem.
Pak Jovan dan Bu Nining tersenyum mendengar kata-kata Dewanti yang terkesan tegas dan berani.
Hari itu, Bagas bertamu hingga malam hari. Dewanti pun mencoba lebih terbuka kepada Bagas. Karena tak lama lagi Bagas akan menjadi suaminya. Mereka berbincang di teras rumah. Sementara Pak Jovan dan Bu Nining di dalam. Mereka memberi kesempatan kepada Bagas dan Dewanti untuk saling mengenal lebih dalam. Memang benar, obrolan Dewanti dan Bagas malam itu pun telah mambahas kepribadian masing-masing. Tepat pukul sembilan malam barulah Bagas pulang. Ia berjanji akan secepatnya datang sambil mengajak kedua orangtuanya.
***