Hari beranjak senja. Langit Bandung sedikit mendung. Akhir-akhir ini, setiap sore hari Bandung memang selalu diguyur hujan. Namun, bagi sepasang pengantin baru seperti Yudis dan Ratri, hujan adalah sesuatu yang paling dinanti. Setiap rintiknya adalah kerinduan yang harus segera tersampaikan. Hujan adalah selimut kehangatan.
Seperti sore itu, Yudis dan Ratri duduk berdua di teras rumah. Menangkapi setiap rintik hujan dengan tatapan. Angin yang berembus menerpa wajahnya malah semakin membuat suasana menjadi hangat ketika tangan mereka mulai saling menggenggam erat.
“Aa ...,” lirih Ratri.
“Hmm ....”
“Jadi besok ke Jakarta?”
“Iya, Neng. Ada sesuatu yang harus Aa urus di sana,” jawab Yudis.
“Jangan lama-lama ya. Neng nggak mau sendirian,” ucap Ratri manja.
“Lah, kan ada ibu, Neng!”
“Tapi kan kalau malam tetap saja Neng sendirian. Neng takut, Aa …,” jawab Ratri manja.
Yudis tersenyum. “Iya deh. Doain saja biar urusannya cepat selesai. Biar Aa bisa segera pulang.”
“Emang nggak bisa melalui telepon saja, Aa?” tanya Ratri.
“Nggak bisa dong, Neng. Orang itu pengen lihat dulu galeri Aa. Semoga aja langsung cocok. Dan, ada beberapa barang yang harus Aa bawa pulang,” jawab Yudis.
“Iya deh. Neng doain semoga dia langsung cocok dengan harga yang Aa berikan,” sahut Ratri.
“Aamiin …,” lirih Yudis.
Dua hari yang lalu, Yudis memang memasang iklan di sebuah surat kabar bahwa galerinya dijual. Hari itu juga langsung ada yang merespon. Dan minta ketemu hari ini untuk melihat-lihat dulu. Jika cocok dia berjanji membelinya tanpa menawar. Tentu saja Yudis sangat senang. Dengan cepatnya galerinya terjual, maka ia dapat segera membeli sebuah tempat baru di Bandung. Rencananya juga, ia tetap akan membuka sebuah galeri seni.
“Iya Yudis, kamu harus cepat pulang. Berapa galerimu itu ditawar, kasih saja. Jika kamu kurang modal untuk membuka kembali galerimu di Bandung, Ibu akan membantumu.” Tiba-tiba Bu Farida menyahut dari belakang.
“Tuh denger apa kata Ibu. nggak nurut dosa loh,” timpal Ratri seolah mendapat dukungan.
“Iya ... iyaa deh …,” Seru Yudis mengalah. Dia tak ingin banyak berdebat dengan dua wanita di depannya karena yang satu adalah malaikatnya, sementara yang satu lagi adalah bidadarinya.
“O iya, tadi Om kamu telepon. Dia memintamu untuk memesankan kartu undangan untuk pernikahan Rio,” Kata Bu Farida.
“Loh, emangnya belum ada?”
“Itu dia, semula Rio menolak untuk mengadakan resepsi. Inginnya dia hanya akad biasa saja dengan disaksikan oleh seluruh keluarga. Tapi ternyata keluarga calon istrinya meminta untuk diadakan resepsi yang cukup meriah di gedung. Terpaksa Rio mengikutinya,” jawab Bu Farida.
“Lagian itu anak bandel banget sih! Pake hamilin anak orang segala,” sahut Yudis.
“Ibu juga nggak nyangka kalau Rio bisa berbuat seperti itu. Dia telah mencoreng nama baik keluarga. Tapi, yang Ibu salut adalah, Rio lebih memilih menikahi pacarnya itu, padahal sebelumnya si pacar hendak menggugurkan kandungannya.”
“Iya juga sih Bu,” singkat Yudis. “Rio memang laki-laki yang penuh tanggung jawab,” katanya lagi.
“Terus bagaimana rencana kalian?” tanya Bu Farida.
“Rencana apa?”
“Untuk punya anak! Apa mau langsung atau mau ikut KB dulu?”
“Langsunglah Bu. Bukankah itu keinginan ibu?”sahut Yudis.
“Neng sudah siap menjadi seorang ibu?” tanya Bu Farida kepada menantunya.
Ratri mengangguk.
“Siap dong, Bu. Bahkan lebih dari siap,” jawab Ratri tegas.
“Syukurlah. Yang rajin bikinnya yah!” Bu Farida tertawa kecil.
“Ibu apaan sih!” Ratri tersipu-sipu dicandai begitu oleh Bu Farida. Sementara Yudis hanya tersenyum menatap wajah istrinya yang merona. Namun, itu semakin membuat Ratri terlihat seksi bagi Yudis.
Dengan kecantikan, kemanjaan dan kelembutannya, Ratri mampu meluluhkan hati Yudis hanya dalam jangka waktu satu minggu. Yudis menghela napas. Ternyata ibunya benar-benar memilihkan istri terbaik untuk dirinya. Yudis sangat bersyukur mempunyai istri cantik dan sholehah seperti Ratri. Meskipun, ia terkadang teringat kepada Dewanti, tapi cuma ingat, tak lebih. Andai Yudis terkadang merindukan Dewanti, senyum dan tatapan Ratri segera membunuh rasa cinta dan rindunya kepada Dewanti. Ya, itulah bukti Kuasa Allah atas hati para hamba-Nya. Sehingga Tuhan dapat dengan sangat mudah menanamkan rasa cinta dan menghilangkan rasa cinta dalam hati manusia.
***