Benar saja, sesuai janjinya, lima belas menit setelah azan zuhur berlalu, Dokter Bagas sudah kembali datang keruangan Dewanti dirawat. Arya sudah pulang ketika itu. Tapi Pak Jovan sudah ada bersama Bu Nining. Kali ini Dokter Bagas datang sendiri. Bahkan entah apa yang ada dalam pikiran sang dokter karena kali ini ia membawa seikat bunga. Bu Nining dan Pak Jovan sangat senang melihat perhatian sang dokter kepada putrinya.
Dokter Bagas langsung mendekati Dewanti yang masih saja memejam mata seolah ia tak ingin lagi melihat indahnya dunia. Diletakkannya seikat bunga itu pada bantal tepat di samping kepala Dewanti. Sehingga Dewanti dapat mencium wangi bunga itu. Terlihat beberapa kali Dewanti menarik napas dalam. Kemudian membuka mata. Bu Nining dan Pak Jovan tersenyum.
“Bagaimana kondisimu saat ini?” tanya Dokter Bagas.
Namun tetap saja Dewanti tak menjawab dan segera memejamkan matanya kembali. Pak Jovan dan Bu Nining menghela napas dalam.
“Bisa bangun sebentar, De. Aku mau ganti perbanmu?” Ucap Dokter Bagas lembut.
Dewanti membuka matanya. Ia menatap dokter Bagas yang saat itu sedang menatapnya juga. Rupanya meski Dewanti sedang sakit, tapi kepekaannya masih ada. Ia bisa melihat siratan lain dalam tatapan dokter itu. Namun lagi-lagi Dewanti tak bersuara. Ia hanya mencoba bangkit. Dokter Bagas segera membantunya.
“Nah … kamu sudah kuat kan! Apa aku bilang, kamu itu wanita yang tangguh,” ucap Dokter Bagas disertai senyum.
Dewanti membalas senyum sang dokter dengan senyuman yang sangat terlihat dipaksakan.
Pak Jovan dan Bu Nining segera duduk di sisi lain tempat tidur. Sedang Dokter Bagas segera mengambil peralatan untuk mengganti perban Dewanti. Setelah semua siap, barulah Dokter Bagas membuka satu persatu perban yang menutupi luka Dewanti dimulai dari luka pada kepalanya.
Dengan sangat pelan dan hati-hati Dokter Bagas membersihkan luka pada kepala Dewanti. Kemudian menggantinya dengan perban yang baru. Begitupada kaki dan tangannya. Meski sesekali Dewanti terlihat meringis kesakitan, namun ia tetap tak bersuara.
“Bagaimana lukanya, Dok?” tanya Pak Jovan.
“Lukanya hampir sembuh, Pak,” jawab Dokter Bagas.
“Patah tulangnya, Dok?” timpal Bu Nining.
“Untuk patah tulang, mungkin agak lama. Yah, sekitar tiga sampai empat bulan baru akan sembuh total. Tapi tetap belum boleh melakukan pekerjaan berat.” Dokter Bagas menerangkan. Kemudian ia membantu kembali Dewanti untuk berbaring.
Pak Jovan dan Bu Nining saling menatap.
“Apakah sebelum sembuh total Dewanti harus tetap dirawat, Dok?” tanya Bu Nining.
“Tidak, Bu. Dewanti boleh saja berobat jalan. Tapi nanti setelah kami yakin bahwa luka dan patah tulangnya membaik dan tak ada infeksi,” jawab Dokter Bagas.
“Syukurlah kalau begitu.” Bu Nining terlihat sedikit lega.
“Tapi ingat pesan saya, Dewanti tidak boleh melakukan pekerjaan berat!”
“Putri saya nggak pernah melakukan hal berat kok, Dok. ke mana-mana dia pakai mobil. Cuma ketika itu saja Dewanti pake motor sehingga terjadi kecelakaan,” ucap Pak Jovan dengan nada penyesalan.
“Hmm … sepertinya Dewanti butuh sopir pribadi, Pak,” sahut Dokter Bagas.
“Mana mau dia pakai sopir, Dok.” timpal Bu Nining.
“Kalau supirnya saya mungkin Dewanti mau, Bu,” jawab Dokter Bagas, “Iyakan!” serunya kepada Dewanti yang saat itu sedang menatap wajah sang dokter sambil mendengarkan obrolan mereka.
Dewanti lagi-lagi mencoba tersenyum kepada sang dokter. Pak Jovan dan Bu Nining terlihat senang karena Dewanti sudah mau tersenyum meski mereka tahu kalau senyumannya sangat-sangat dipaksakan.
“Nah begitu dong senyum. Kan cantik!” seru Dokter Bagas. “Perbannya sudah diganti. Jangan lupa minum obat dan makan yang banyak biar cepet pulih ya,” sambungnya.
“Tuh dengar apa kata Dokter, De. Kamu harus makan yang banyak. Masa putri Mama kalah sama keadaan. Bukankah kamu selalu bilang sama Mama kalau kesedihan itu adalah salah satu tanda sempurnanya kehidupan!” Bu Nining ikut bicara. Pak Jovan memegang tangan Dewanti.
“Iya Ma ...,” lirih Dewanti.
“Ya sudah kalau kamu butuh apa-apa, kamu bilang saja yah. Bisa sama perawat atau langsung sama saya,” ucap Dokter Bagas.
Dewati mengangguk. Dokter Bagas tersenyum.
“Ya sudah. Saya pamit dulu. Ingan pesan saya ya!” Seru Dokter Bagas.
“Iya Dok, terima kasih,” ucap Pak Jovan.
Dokter Bagas terseyum dan menatap Dewanti sekali lagi kemudian keluar dari ruangan tempat Dewanti dirawat diringi tatapan kagum Pak Jovan dan Bu Nining.
***